Liputan6.com, Jakarta Riset Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) yang bertajuk "Kajian Dampak Hilirisasi Industri Tambang terhadap Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan: Tembaga, Bauksit, dan Pasir Silika" membuktikan bahwa hilirisasi menjadi prasyarat sektor industri pengolahan untuk mendukung pencapaian Indonesia Emas 2045.
Wakil Kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (PEBS FEB UI), Nur Kholis, mengungkapkan, penggunaan produk hasil dari pengolahan smelter untuk dihilirisasi kembali akan menciptakan nilai tambah lebih menjadi prasyarat mencapai Indonesia Emas 2045.
Advertisement
Baca Juga
"Hilirisasi memungkinkan Indonesia untuk tidak lagi sekedar mengekspor bahan mentah, produk bernilai tambah seperti katoda tembaga, alumina, dan produk berbasis pasir silika seperti kaca dan keramik, hingga ke depan adalah panel surya dan semikonduktor, kini mulai dihasilkan di dalam negeri," ungkapnya.
Advertisement
Nur Kholis menyebut, Indonesia tidak bisa terus bergantung pada ekspor bahan mentah dan impor barang dari luar negeri. Ia pun menegaskan bahwa hilirisasi menjadi jalan menuju kemandirian ekonomi.
"Dengan peningkatan investasi yang menghasilkan produk bernilai tambah di dalam negeri, kita menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan memastikan sumber daya alam kita benar-benar memberikan manfaat maksimal untuk bangsa,” sebutnya.
Dampak Positif Sudah Dirasakan
Nur Kholis menjelaskan, dampak dari hilirisasi tembaga, bauksit, dan pasir silika mulai dirasakan di daerah-daerah seperti Kabupaten Gresik (Jawa Timur), Kabupaten Mempawah (Kalimantan Barat), dan Kabupaten Batang (Jawa Tengah), di mana pembangunan smelter menjadi motor penggerak ekonomi lokal.
"Selain meningkatkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan pendapatan daerah, kebijakan ini juga menciptakan ribuan lapangan kerja, baik langsung maupun tidak langsung," jelasnya.
Nur Kholis juga mengatakan, selain pendapatan negara, pendapatan daerah provinsi dan kabupaten/kota yang terkait juga meningkat melalui Dana Bagi Hasil (DBH) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
"Sebagai contoh, pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan, dan pajak penerangan jalan di daerah hilirisasi menunjukkan tren pertumbuhan yang signifikan," katanya.
"Pendapatan daerah ini dapat dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur publik yang langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat," imbuh Nur Kholis.
Advertisement
Tantangan Hilirisasi
Nur Kholis membeberkan, terdapat beberapa tantangan yang dihadapi ketika menjalankan hilirisasi. Ia menyebut, keterbatasan infrastuktur dan teknologi, terbatasnya tenaga kerja yang terampil, permintaan pasar yang fluktuatif, dan dampak negatif terhadap lingkungan menjadi tantangan.
"Pemerintah perlu melakukan sejumlah langkah strategis dalam menghadapi tantangan tersebut, misalnya pengembangan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan teknologi, penerapan teknologi ramah lingkungan, diversivikasi produk, dan penguatan kerja sama internasional," bebernya.
"Hilirisasi industri tambang, khususnya tembaga, bauksit, dan pasir silika juga perlu terus untuk didorong untuk menerapkan teknologi yang ramah lingkungan di seluruh fasilitas pengolahan mineral tambang," jelas Nur Kholis.
Tak luput, ia pun mengatakan, pengelolaan limbah yang efektif harus menjadi bagian yang terintegrasi dari pelaksanaan hilirisasi.
(*)