Liputan6.com, Jakarta - Layanan Buy Now, Pay Later (BNPL) atau “Beli Sekarang, Bayar Nanti” menjadi tren yang kian diminati. BNPL menawarkan kemudahan bagi konsumen untuk membeli produk atau jasa tanpa harus membayar langsung secara penuh, melainkan melalui cicilan ringan yang sering kali tanpa bunga.
Layanan buy now pay later semakin populer, terutama di kalangan generasi muda yang mencari fleksibilitas dalam berbelanja. Platform e-commerce besar hingga fintech lokal berlomba-lomba menyediakan fitur BNPL untuk menarik pelanggan.
Baca Juga
Direktur Utama PEFINDO Biro Kredit (IdScore), Tan Glant Saputrahadi mengungkapkan, kondisi tersebut mengindikasikan perilaku konsumtif masyarakat masih tinggi.
Advertisement
Pertumbuhan BNPL diproyeksikan akan mencapai 30% pada Desember 2025, sejalan dengan prediksi pertumbuhan portofolio kredit nasional yang juga diperkirakan mencapai dua digit. "Berdasarkan data yang dihimpun oleh PEFINDO Biro Kredit (IdScore) hingga November 2024, pertumbuhan fasilitas BNPL tercatat sebesar 24,53% secara tahunan (year-on-year/yoy), dengan total nilai portofolio kredit mencapai Rp 35,14 triliun," ungkap Glant, dikutip Jumat (24/1/2025).
Meskipun penetrasi BNPL masih terkonsentrasi di pulau Jawa, terutama wilayah Jabodetabek dengan share mencapai 31,71%, potensi pertumbuhan di wilayah lain masih sangat besar.
Dari sisi pengguna, generasi muda (Gen Z dan Milenial) masih dominan sebagai debitur BNPL. Rinciannya, milenial dengan rentang kelahiran 1981-1996 mendominasi sebesar 48,27 persen. Kemudian gen-Z yang lahir antara 1997-2012 tercatat 39,94 persen. Sisanya generasi X yang lahir pada 1965-1980 andil 11,35 persen.
"Tujuan penggunaan fasilitas BNPL pun beragam, seperti belanja e-commerce sebanyak 33%, pembelian tiket (termasuk travel) 21,1% dan transaksi lainnya seperti pembayaran via QRIS yang tercatat sebanyak 41,9%," papar Glant.
Di sisi lain, tren non-performing loan (NPL) atau kredit bermasalah pada BNPL yang terus menunjukkan penurunan cukup signifikan.
Dari titik tertinggi 6,66% pada September 2023, NPL BNPL pada November 2024 berada di angka 3,21%. Penurunan signifikan ini didorong oleh perbaikan kualitas portofolio kredit dan akuisisi kredit, terutama di sektor fintech dan dengan semakin banyaknya Bank Buku IV yang terjun ke industri ini.
Faktor yang Pengaruhi Permintaan Kredit BNPL Tinggi
Beberapa faktor utama yang mempengaruhi portofolio kredit BNPL antara lain adalah BI Rate, inflasi, indeks konsumsi rumah tangga, dan NPL.
"Dengan pengelolaan yang baik terhadap faktor-faktor tersebut, pertumbuhan industri BNPL diharapkan dapat terus berkelanjutan dan memberikan kontribusi positif bagi perekonomian nasional” kata Glant.
IdScore mencatat penyaluran BNPL dari bank digital mencapai Rp 11,66 triliun, atau tumbuh 8,24%. Dari Bank Umum Rp 8,48 triliun atau tumbuh 67,24%, dari LPBBTI tumbuh 13,78% mencapai Rp 7,35 triliun. Kemudian dari perusahaan pembiayaan mencapai 4. Rp7,08T dari atau tumbuh 36,17%.
BNPL Lampaui Kartu Kredit Jumlah pengguna fasilitas BNPL tumbuh signifikan hingga mencapai 48,4 juta pada Oktober 2024. Ini menunjukkan pertumbuhan sebesar 28,64%, jauh melampaui kartu kredit. Adapun pengguna kartu kredit hanya mencapai 13,9 juta pada periode yang sama, dengan pertumbuhan relatif kecil sebesar 3,22%.
BNPL lebih cepat bertumbuh dibandingkan kartu kredit karena fleksibilitas dan kenyamanan dalam penggunaannya. Promo menarik yang ditawarkan, seperti diskon atau cashback. Kemudahan persetujuan (instant approval) tanpa proses pengajuan yang rumit seperti kartu kredit.
Menjadi pertimbangan juga, yakni desain UI/UX yang lebih sesuai dengan gaya hidup kalangan muda. Serta integrasi dengan merchant online atau e-commerce yang memudahkan transaksi. Fasilitas BNPL menjadi pilihan utama bagi konsumen, terutama generasi muda, karena kemudahan dan fleksibilitas yang ditawarkan. Hal ini menjadikan BNPL sebagai kompetitor kuat bagi kartu kredit dalam menyediakan layanan kredit berbasis digital.
Advertisement
Paylater dan BNPL Solusi atau Ancaman Bagi Warga RI? Ini Kata OJK
Sebelumnya, maraknya fenomena bunuh diri karena terjerat Paylater dan Buy Now Pay Later (BNPL) menjadi perhatian Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar semakin gencar melakukan sosialisasi kepada masyarakat.
Kepala Departemen Pengaturan dan Pengembangan Lembaga Pembiayaan, Ahmad Nasrullah, mengungkapkan bahwa meskipun ada kejadian-kejadian bunuh diri terkait dengan utang Paylater, hal tersebut tidak bisa serta-merta dikaitkan dengan seluruh layanan Paylater, baik yang legal maupun ilegal.
Oleh karena itu, kata Ahmad, OJK berusaha mengawasi industri ini agar tidak membebani masyarakat, melainkan menjadi solusi pembiayaan yang bermanfaat.
"Banyak kejadian bunuh diri yang memakai sistem membayar Paylater ya kita asumsikan lah ya. Itu kalau banyak-banyak kejadian kan, meskipun ada yang legal juga. Sebagai regulator, OJK juga menaruh concern," kata Ahmad dama media briefing OJK, Selasa (21/1/2025).
Lebih lanjut Ahmad menjelaskan bahwa layanan seperti Paylater dan Peer-to-Peer Lending (P2P lending) sebenarnya sudah memiliki dasar hukum yang sah berdasarkan Undang-Undang P2SK, dan oleh karena itu perlu diawasi dengan ketat.
Menurut dia, walaupun industri ini banyak menimbulkan masalah, tetap dapat memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam mendapatkan akses pembiayaan, terutama untuk keperluan produktif, seperti usaha UMKM atau ojek online.
"Industri ini sudah ada payung hukumnya lah kira-kira ya, di Undang-Undang P2SK bahkan itu menempatkan pindar ini, peer lending ini sebagai salah satu industri yang harus diawasi oleh OJK," ujarnya.
Peran OJK dalam Mengawasi Industri Peer Lending
Menurut Nasrullah, diskusi mengenai apakah industri ini perlu ada di Indonesia sudah tidak relevan lagi, karena sudah ada payung hukum yang jelas, yaitu Undang-Undang P2SK (Peraturan Pengawasan Sektor Keuangan) yang mengatur dan mengakui P2P lending sebagai industri yang sah.
"Emang perlu ada nggak sih di Indonesia ini begitu? Saya rasanya diskusi itu sekarang menurut saya sudah nggak pas lagi ya. Karena industri ini sudah ada payung hukumnya lah kira-kira ya, di Undang-Undang P2SK," jelasnya.
Dalam konteks ini, OJK berperan sebagai regulator yang memiliki kewajiban untuk mengawasi jalannya industri ini. Meski beberapa pihak mungkin masih meragukan keberadaan P2P lending di Indonesia, ia menegaskan bahwa di beberapa negara seperti Cina, meskipun terdapat penutupan terhadap sejumlah platform, regulasi terhadap P2P lending sudah diterapkan dengan ketat.
Oleh karena itu, bagi OJK, yang terpenting adalah memastikan bahwa industri ini beroperasi sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Pengawasan oleh OJK tidak hanya untuk memastikan legalitas, tetapi juga untuk melindungi konsumen dan mendorong pertumbuhan industri yang sehat.
Dengan adanya regulasi yang jelas, diharapkan industri P2P lending dapat berkembang dengan cara yang lebih terstruktur dan dapat diandalkan, memberikan manfaat bagi perekonomian digital Indonesia tanpa menimbulkan risiko yang berlebihan bagi masyarakat.
Advertisement