Liputan6.com, Jakarta - Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nusron Wahid mengungkapkan bahwa dirinya sempat terlibat perdebatan dengan Kepala Desa Kohod, Arsin, terkait legalitas Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) pagar laut milik PT Intan Agung Makmur (IAM).
Perdebatan ini terjadi saat membahas lahan di Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Banten.
Baca Juga
Nusron menjelaskan, Kepala Desa Kohod bersikeras bahwa area pagar laut yang terletak di pesisir pantai Alar Jimab dulunya merupakan kolam atau empang yang berubah menjadi hamparan laut akibat abrasi.
Advertisement
"Saya berdebat dengan Pak Kades. Dia ngotot bahwa itu dulunya empang. Katanya ada abrasi, dan kemudian diberikan batu-batu sejak tahun 2004 untuk melindungi permukiman," ujar Nusron dikutip dari Antara, Sabtu (25/1/2025).
Nusron menjelaskan hal tersebut usai meninjau lokasi SHGB dan SHM di Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang.
Status Tanah Musnah
Namun, Nusron menegaskan bahwa perdebatan mengenai sejarah lahan tersebut tidak relevan. Berdasarkan hasil investigasi, lahan yang kini tidak lagi memiliki fisik karena abrasi laut masuk ke dalam kategori tanah musnah.
"Karena fisiknya sudah tidak ada, maka itu masuk kategori tanah musnah. Kalau sudah masuk kategori tanah musnah, otomatis semua hak di atasnya, baik itu Hak Milik maupun Hak Guna Bangunan, hilang," jelasnya.
Kementerian ATR/BPN pun berkomitmen menyelesaikan permasalahan penerbitan SHGB dan SHM di wilayah tersebut secara transparan. Nusron menyebutkan bahwa pihaknya telah mencabut status penerbitan SHGB dan SHM pagar laut milik PT Intan Agung Makmur.
"Hari ini kami bersama tim melakukan proses pembatalan sertifikat, baik itu SHM maupun SHGB yang diterbitkan atas nama PT IAM," kata Nusron.
Penerbitan Sertifikat Dinyatakan Cacat Prosedur
Berdasarkan penelitian dan evaluasi, penerbitan SHGB dan SHM pagar laut di pesisir pantai utara (Pantura), khususnya di Desa Kohod, dinyatakan cacat prosedur dan materil. Dengan demikian, sertifikat tersebut batal demi hukum.
"Peninjauan terhadap batas daratan atau garis pantai yang sebelumnya tercantum dalam SHGB dan SHM itu melanggar ketentuan yuridis. Maka, sertifikat tersebut secara otomatis dicabut dan dibatalkan," tegasnya.
Nusron juga menyoroti fakta bahwa tanah yang dimaksud sudah tidak lagi ada secara fisik. "Secara faktual dan material, tadi kita lihat bersama, tanahnya sudah tidak ada. Itu jelas," ungkapnya.
Advertisement
Proses Pembatalan Sertifikat
Dari 263 sertifikat SHGB dan SHM yang berada di bawah laut, sebagian sudah dibatalkan dan dicabut penerbitannya. Hal ini dilakukan karena lokasi tanah yang dimaksud berada di luar garis pantai dan melanggar aturan hukum.
Kementerian ATR/BPN berkomitmen menyelesaikan kasus ini secara tuntas dan tepat waktu. Nusron menyadari bahwa jumlah sertifikat yang cacat prosedur dan materil cukup banyak, sehingga membutuhkan proses yang tidak singkat.
"Insya Allah, kami akan selesaikan secepatnya. Prosesnya memang tidak bisa satu per satu, tetapi kami pastikan semua yang cacat hukum dan material akan dibatalkan," pungkas Nusron.