Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah tengah mempersiapkan perguruan tinggi atau universitas untuk bisa mendapat izin kelola tambang. Menyusul izin serupa yang telah diberikan kepada organisasi masyarakat (ormas) keagamaan seperti Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Namun, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) masih mengkaji, apakah izin kelola tambang untuk perguruan tinggi nantinya sama dengan apa yang diberikan kepada ormas keagamaan. Sekaligus menyeleksi kampus mana saja yang secara kriteria berhak mengurusi pertambangan.Â
Baca Juga
"Ini masih pembahasan, termasuk kriteria juga," ujar Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana kepada Liputan6.com, Selasa (28/1/2025).
Advertisement
Kementerian ESDM berencana membahas kriteria universitas yang bisa mendapat izin kelola tambang dengan DPR RI. Ada beberapa aspek yang bakal diperhatikan.
Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung mengatakan, kriteria perguruan tinggi bisa kelola tambang itu belum dibahas dengan DPR RI. Dia bilang, kriteria itu akan merujuk pada kebutuhan perguruan tingginya.
"Ini kita belum bahas dengan DPR, jadi kalau ini sudah dibahas dengan DPR, bagaimana kriteria yang ditetapkan oleh DPR, ya tentu itu nanti akan kita lihat bagaimana kebutuhan perguruan tinggi, ya termasuk dalam rangka kampus merdeka," kata Yuliot di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, beberapa waktu lalu.Â
Menurut dia, hal itu juga akan disesuaikan dengan program studi (prodi) yang ada di kampus calon pengelola tambang. Hanya saja, hal itu bakal dibahas nanti antara Kementerian ESDM dan DPR RI.
"Jadi, kita akan lihat, apakah ada prodinya, ya kemudian dekat dengan tambang, ya mungkin kriterianya itu akan kita bahas dengan DPR," ucap dia.
Yuliot menyampaikan, Kementerian ESDM belum membahas secara internal. Pasalnya, usulan perguruan tinggi bisa kelola tambang datang dari DPR RI.
"Enggak, karena inisiasi dari DPR, ya nanti kami akan bicara dulu dengan DPR," ujar Yuliot.
Syarat Kampus Bisa Kelola Tambang
Badan Legislasi (Baleg) DPR RI tengah merevisi Undang Undang tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba).
Dalam revisi ini, terdapat pasal perguruan tinggi dan usaha kecil dan menengah (UKM) untuk mendapatkan wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK).
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Ahmad Doli Kurnia menuturkan, perguruan tinggi yang bisa mengelola lahan tambang adalah perguruan tinggi yang memiliki badan usaha. Aturan ini sama juga yang berlaku pada ormas keagamaan.
"Ya, tentu (punya badan usaha), makanya sekarang sedang kami bahas," kata Doli dikutip dari Antara.
Sama Syarat dengan Ormas
Pola antara pemberian wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) kepada perguruan tinggi dan ormas keagamaan akan memiliki pola yang hampir sama.
Ke depan, akan dibahas mengenai siapa yang akan dikedepankan antara pemberian prioritas pengelolaan lahan tambang kepada ormas keagamaan atau perguruan tinggi.
"Nanti misalnya pemberian prioritas siapa yang dikedepankan, apakah institusi ormas atau perguruan tingginya langsung, atau harus dengan berbadan hukum, itu yang sekarang kami bahas," ucap Doli.
Hal ini karena penyusunan revisi UU Minerba tersebut baru di tahap usulan inisiatif DPR, Doli menyampaikan bahwa pihak pemerintah dan perguruan tinggi belum dilibatkan dalam rapat.
"Besok kami undang, mana pihak yang bisa memberikan masukan, saran dan pertimbangan," kata Doli.
Advertisement
Ekonom: Biaya Mahal hingga Faktor Lingkungan jadi Hambatan Perguruan Tinggi Kelola Tambang
Sebelumnya, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI memberikan sinyal positif bagi perguruan tinggi dan usaha kecil dan menengah (UKM) untuk mendapatkan wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK).Â
Adapun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang tengah mengkaji kriteria perguruan tinggi atau universitas yang bisa mendapat izin kelola tambang.Wakil Menteri ESDM, Yuliot Tanjung mengatakan kriteria perguruan tinggi bisa kelola tambang itu belum dibahas dengan DPR RI.Â
"Ini kita belum bahas dengan DPR, jadi kalau ini sudah dibahas dengan DPR, bagaimana kriteria yang ditetapkan oleh DPR, ya tentu itu nanti akan kita lihat bagaimana kebutuhan perguruan tinggi, ya termasuk dalam rangka kampus merdeka," kata Yuliot di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat, 24 Januari 2025.
Namun, Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistra menilai terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk memberikan izin kelola tambang pada perguruan tinggi.
Â
Â
Perlu Modal Besar
"Mengelola tambang menyimpang jauh dari tridarma perguruan tinggi yakni pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan dan pengabdian kepada masyarakat. Artinya sejak berdiri core business kampus bukan mengelola tambang karena sama sekali berbeda dengan tujuannya," ungkap Bhima kepada Liputan6.com, Selasa (28/1/2025).
Ia menyoroti tidak semua perguruan tinggi memiliki jurusan, di mana hanya 30 termasuk di dalamnya sekolah tinggi. Sementara PTN hanya 8 yang punya jurusan teknik pertambangan.
"Kebijakan membungkam suara akademik termasuk dosen dan mahasiswa dalam mengkritisi tata kelola tambang yang merusak lingkungan hidup. Ketika terjadi konflik dengan masyarakat sekitar kampus akan jadi petugas keamanan yang siap membela eksistensi tambang," jelas Bhima.Â
Selain itu, suatu perguruan tinggi juga memerlukan biaya modal yang sangat besar bahkan untuk skala kecil dengan luas 500 ha, kebutuhan biaya upfront minimal Rp.500 miliar yang meliputi biaya uji kelayakan, biaya eksplorasi, biaya mine development, biaya transportasi, reklamasi lahan paska tambang, pajak dan royalti, serta biaya CSR.Â
"Kampus itu begitu disuruh buat uji lab dan uji kelayakan sudah jebol keuangannya. Khawatir banyak kampus jadi broker tambang karena secara finansial tidak mampu. Pengelolaan tambangnya diserahkan ke perusahaan lain atau kontraktor dengan bagi hasil yang minim ke kampus," papar Bhima.Â
Advertisement
Studi Celios Soroti Dampak Berat Kehadiran Tambang bagi Masyarakat Lokal
Bhima juga mengutip studi Celios dan Greenpeace yang menunjukkan desa dengan lokasi yang ada di area tambang dan berdekatan dengan tambang memiliki akses pendidikan yang rendah, akses kesehatan lebih jauh, konflik masyarakat yang lebih tinggi dibanding desa non-tambang.
"Sudah jelas bahwa biaya eksternalitas negatif tambang menyebabkan kerusakan lingkungan, kualitas SDM lokal, hingga kerugian kesehatan dalam jumlah cukup besar," bebernya.
Studi lain dari Celios dan CREA 2024 juga menunjukkan risiko kematian dini dari tambang dan smelter nikel menembus 3.800 orang per tahunnya, dengan kerugian biaya kesehatan yang diperkirakan mencapai Rp 40 triliun pada 2025.Â
Â