RI Tak Boleh Sembarangan Pilih Sumber Energi, Bisa Fatal

Menteri ESDM mengungkapkan tantangan besar dalam transisi energi di Indonesia, khususnya terkait perbedaan biaya antara batu bara dan gas untuk pembangkit listrik.

oleh Tira Santia diperbarui 30 Jan 2025, 17:45 WIB
Diterbitkan 30 Jan 2025, 17:45 WIB
Tambang Batu Bara Adaro
Tambang batu bara Adaro. (Liputan6.com/Istimewa)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan tantangan besar dalam transisi energi di Indonesia, khususnya terkait perbedaan biaya antara batu bara dan gas untuk pembangkit listrik.

Bahlil menjelaskan bahwa penggunaan gas sebagai sumber energi utama untuk pembangkit listrik jauh lebih mahal dibandingkan dengan batu bara.

Berdasarkan contoh perhitungannya, jika pembangkit listrik sebesar 1 gigawatt menggunakan gas, maka biaya yang diperlukan mencapai sekitar Rp 6 triliun. Sementara itu, pembangkit berbasis batu bara hanya membutuhkan biaya yang jauh lebih rendah, sekitar 4,9 hingga 5 sen per kWh.

"Tau gak kemahalannya Kalau batubara batu bara itu hanya 4,9 sampai 5 sen. Ini saya kasih pertimbangan ya, kalau gas 1 gigawatt gas dengan asumsi 10 dolar Per MBBTU itu sama dengan tingkat kemahalannya kurang lebih sekitar Rp 6 triliun 1 gigawat," kata Bahlil dalam Diskusi Ekonomi Outlook 2025, di Jakarta, Kamis (30/1/2025).

Menurut Bahlil, dalam jangka panjang, penggunaan gas bisa memicu biaya yang sangat besar, yang diperkirakan akan mencapai sekitar Rp 2.600 triliun lebih mahal jika dibandingkan dengan batu bara hingga tahun 2040.

"Kalau kali 25 tahun Itu kurang lebih sekitar Rp 120 sampai Rp 140 triliun tingkat kemahalan selisih antara batubara dan gas. 1 gigawatt Itu kita membutuhkan 25 kargo. Jadi, kalau 20 gigawatt yang kita akan rencanakan sampai 2040, itu sama dengan kita membutuhkan 500 kargo dan Rp 130 triliun x 20 Berarti berapa itu? Sekitar Rp 2.600 triliun lebih mahal ketimbang Batubara," jelasnya.

Menteri ESDM Sarankan RI Tak Hanya Andalkan Energi Terbarukan

Menteri ESDM juga menyarankan pentingnya pendekatan seimbang dalam transisi energi, dengan tidak hanya mengandalkan energi terbarukan.

Negara-negara seperti India dan China, menurutnya, telah mengadopsi strategi campuran antara batu bara dan energi terbarukan seperti matahari dan angin untuk mengurangi polusi sambil menjaga kestabilan pasokan energi.

"Jadi, mereka (India) blending antara batu bara, matahari dan angin. Cina pun melakukan hal yang sama," ujarnya.

Disisi lain, Bahlil juga menyinggung pentingnya teknologi penangkapan karbon (carbon capture) yang dapat mengurangi dampak polusi dari batu bara.

Teknologi ini, menurutnya, perlu diperhitungkan dalam kebijakan energi ke depan agar tetap ramah lingkungan sekaligus terjangkau.

"Ini lagi ide-ide aja ini belum keputusan ya. Ini baru ide aja sekarang kan sudah ada teknologi Untuk menangkap carbon capture CO2. Jadi, kami lagi menghitung antara kalau pakai Batubara dengan menangkap carbon capture nya itu berapa biayanya," ujar Menteri ESDM.

 

Indonesia Perlu Pertimbangkan Paris Agreement

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia. (Foto: Liputan6.com/Tira Santia)
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia. (Foto: Liputan6.com/Tira Santia)... Selengkapnya

Kata Bahlil, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mencapai target penggunaan energi baru terbarukan.

Pada 2025, Indonesia menargetkan 23% dari total bauran energi nasional berasal dari energi terbarukan, namun saat ini baru tercapai sekitar 13-14%, dengan defisit sekitar 8.000 gigawatt.

"Target kita kan di tahun 2025 itu harus mencapai berapa persen? 23 persen dari total Listrik existing. Tapi yang baru terealisasikan baru 13-14 persen. Masih 8 ribu Gigawatt untuk defisit Implementasi energi baru terbarukan," ujarnya.

 

Minta Perhitungan Matang

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia. (Foto: Liputan6.com/Tira Santia)
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia. (Foto: Liputan6.com/Tira Santia)... Selengkapnya

Menteri ESDM pun menekankan perlunya perhitungan yang lebih matang dalam memilih sumber energi yang tepat.

Hal ini dilakukan agar Indonesia tidak terjebak dalam ketergantungan pada energi mahal, sambil tetap memenuhi komitmen terhadap perubahan iklim global dalam kerangka Paris Agreement.

"Beberapa negara sudah mulai mundur, bahkan lembaga pembayaan sudah mulai tidak ada. Kita jangan sampai terjebak Kita jangan sampai terjebak. Paris Agreement ini kan merupakan konsensus global, kita dipaksa untuk mengikuti itu, padahal kita punya baseline menurut saya tidak sebaik mereka, mereka negara-negara G7," pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya