Patin menjadi satu komoditas andalan untuk menggenjot perekonomian dari perikanan budidaya. Pembudidayaan ikan patin ini cukup mudah, karena lahan yang tersedia banyak dan pasar yang siap menampung produk patin dan olahannya juga ada.
Satu-satunya yang menjadi kendala budidaya ikan patin yakni pakan. Pakan mengambil 80% dari seluruh biaya produksi atau budidaya ikan patin.
"Pasar patin luar biasa. Ini menjadi komoditas yang akan kita genjot untuk memenuhi bahan baku. Kendalanya, khususnya adalah masih kepada pakan, 80% biaya produksi itu pakan. Pelan-pelan akan kita atasi, bekerjasama dengan BUMD," ungkap Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Slamet Soebjakto, di Bandung, Senin (3/6/2013) malam.
Kebutuhan dalam negeri mendominasi serapan patin dan olahannya. Pada 2013 produksi patin mencapai 300.300 ton (angka sementara), 95% diantaranya diserap pasar domestik.
Menurut Slamet, jenis daging patin Indonesia tidak ada masalah dan menunjukkan performance yang bagus. "Ini yang saya kira menjadi kesempatan ke depan untuk diekspor. Kabar baiknya Amerika Serikat saat ini menerima daging putih, dengan distopnya impor Vietnam," lanjut dia.
Namun, meski ditargetkan untuk bisa diekspor, nyatanya kebutuhan pasar dalam negeri masih mendominasi. Slamet mengakui, seiring dengan ditutupnya keran impor dari Vietnam, konsumsi dalam negeri meningkat, meski tipis. Pada 2011 serapan produksi patin mencapai 299 ribu ton.
"Dari Vietnam ternyata bisa digantikan dari produksi dalam negeri untuk kebutuhan horeka (hotel, restoran dan kafe). Ini peluang besar," imbuhnya.
Sementara itu, terkait dengan masih rendahnya serapan pasar dunia akan patin dan produk olahan Indonesia, ia mengakui masih kurang ada industrialisasi atau hilirisasi patin.
Produksi patin tahun-tahun lalu masih menemui kendala pegolahan dan pemasaran. Kurang bervariasinya produk olahan patin inilah yang menyebabkan serapan luar negeri lesu. Sementara banyak komoditas unggulan lain yang lebih cocok dengan selera pasar.
"Budidaya produksi bahan tidak diimbangi dengan penyerapan pasar," kata dia.
Untuk menggenjot produktivitas patin, pemerintah akan membangun percontohan komoditas ini dalam konsep demonstration farming (demfarm) sama seperti udang. Selain patin, komoditas lain juga kan mencontoh model budidaya udang dengan kluster dan kemitraan.
"(Demfarm udang) ini akan kita jadikan model untuk ke depannya patin, lele, bandeng, karena keberhasilannya sangat tinggi," pungkas dia. (Est/Igw)
Satu-satunya yang menjadi kendala budidaya ikan patin yakni pakan. Pakan mengambil 80% dari seluruh biaya produksi atau budidaya ikan patin.
"Pasar patin luar biasa. Ini menjadi komoditas yang akan kita genjot untuk memenuhi bahan baku. Kendalanya, khususnya adalah masih kepada pakan, 80% biaya produksi itu pakan. Pelan-pelan akan kita atasi, bekerjasama dengan BUMD," ungkap Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Slamet Soebjakto, di Bandung, Senin (3/6/2013) malam.
Kebutuhan dalam negeri mendominasi serapan patin dan olahannya. Pada 2013 produksi patin mencapai 300.300 ton (angka sementara), 95% diantaranya diserap pasar domestik.
Menurut Slamet, jenis daging patin Indonesia tidak ada masalah dan menunjukkan performance yang bagus. "Ini yang saya kira menjadi kesempatan ke depan untuk diekspor. Kabar baiknya Amerika Serikat saat ini menerima daging putih, dengan distopnya impor Vietnam," lanjut dia.
Namun, meski ditargetkan untuk bisa diekspor, nyatanya kebutuhan pasar dalam negeri masih mendominasi. Slamet mengakui, seiring dengan ditutupnya keran impor dari Vietnam, konsumsi dalam negeri meningkat, meski tipis. Pada 2011 serapan produksi patin mencapai 299 ribu ton.
"Dari Vietnam ternyata bisa digantikan dari produksi dalam negeri untuk kebutuhan horeka (hotel, restoran dan kafe). Ini peluang besar," imbuhnya.
Sementara itu, terkait dengan masih rendahnya serapan pasar dunia akan patin dan produk olahan Indonesia, ia mengakui masih kurang ada industrialisasi atau hilirisasi patin.
Produksi patin tahun-tahun lalu masih menemui kendala pegolahan dan pemasaran. Kurang bervariasinya produk olahan patin inilah yang menyebabkan serapan luar negeri lesu. Sementara banyak komoditas unggulan lain yang lebih cocok dengan selera pasar.
"Budidaya produksi bahan tidak diimbangi dengan penyerapan pasar," kata dia.
Untuk menggenjot produktivitas patin, pemerintah akan membangun percontohan komoditas ini dalam konsep demonstration farming (demfarm) sama seperti udang. Selain patin, komoditas lain juga kan mencontoh model budidaya udang dengan kluster dan kemitraan.
"(Demfarm udang) ini akan kita jadikan model untuk ke depannya patin, lele, bandeng, karena keberhasilannya sangat tinggi," pungkas dia. (Est/Igw)