Penipuan Keuangan Digital Makin Berkembang, Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah?

Teknologi telah menjadi alat pendukung berkembangnya modus penipuan, lalu apa yang perlu dilakukan pemerintah?

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 18 Jun 2024, 17:00 WIB
Diterbitkan 18 Jun 2024, 17:00 WIB
Awas, Penipuan Mengatasnamakan Bank
Ilustrasi kejahatan siber

Liputan6.com, Jakarta- Pemerintah perlu menyikapi penipuan pada keuangan digital yang terjadi belakangan ini, dengan membuat kebijakan yang adaptif dengan perkembangan teknologi.

Senior Fellow Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Kartina Sury mengatakan, AI dan Emerging Technologies terus berkembang dan memiliki kemampuan baru, sehingga akan ada ancaman siber lainnya, maka perlu menghindari juga penyalahgunaan teknologi AI.

"Kebijakan-kebijakan yang adaptif dengan perkembangan teknologi dapat meminimalkan dampak negatif dari penyalahgunaan teknologi," kata Kartina, Selasa (18/6/2024).

Kartina mengungkapkan, untuk pemerintah dan OJK, sangat penting untuk terus menerus mengembangkan dan memperkuat keamanan siber, serta mengawasi dan mengembangkan kebijakan-kebijakan yang dapat melindungi konsumen dan data pribadi, mengingat secara global terus terjadi berbagai insiden yang ditimbulkan dari AI dan Emerging Technologies.

Bagi masyarakat untuk mencegah penipuan digital, sangat penting untuk memahami prinsip Pahami, Perhatikan, Pastikan untuk lebih waspada. Selain itu, bisa juga terus mengikuti perkembangan siber yang terjadi dan memperhatikan petunjuk yang diberikan oleh pelaku industri keuangan terkait tata cara menjaga keamanan dan kerahasiaan.

Baru-baru ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkap beberapa modus penipuan baru di sektor keuangan. Salah satu modusnya adalah memanfaatkan pinjaman online (pinjol) ilegal. Masyarakat perlu berhati-hati ketika rekening mendapatkan transferan uang pinjaman padahal tidak pernah melakukan permohonan pinjol.

Menurut Kartina, modus penipuan yang dilakukan oleh pinjol ilegal ini dikategorikan sebagai kejahatan siber yang telah mengangkat permasalahan terkait keamanan data dan pentingnya menjaga keamanan data pribadi menjadi permasalahan utama.

 

 

Teknologi Dimanfaatkan Sebagai Alat Pendukung Penipuan

Teknologi telah menjadi alat pendukung berkembangnya modus penipuan dan memungkinkan terjadinya social engineering atau rekayasa sosial melalui phising dan impersonation serta juga Loan Apps Masking.

Phising adalah kejahatan digital yang menargetkan informasi atau data sensitif korban melalui e-mail, unggahan media sosial, atau pesan teks.

Sementara impersonation adalah modus penipuan digital berkedok meniru menjadi sebuah pihak resmi untuk mengelabui korban supaya merespons dan membocorkan informasi pribadi.

Menurutnya, kita juga perlu melihat lagi kondisi literasi digital dan literasi keuangan masyarakat Indonesia. Di sisi literasi keuangan, data OJK 2022 menunjukkan, data tertinggi terkait literasi produk keuangan masih bertumpu di produk perbankan sebesar 49,93 persen.

Jadi, ketika berbicara tentang literasi keuangan, masih ada kesenjangan literasi antara produk perbankan dan produk keuangan lainnya, seperti asuransi 31,72 persen, dana pensiun 30,46 persen, pasar modal 4,11 persen, lembaga pembiayaan 25,09 persen, pegadaian 40,75 persen, fintech 10,90 persen, dan lembaga keuangan mikro 14.44 persen.

Pada sisi literasi digital, berdasarkan data Kominfo 2022, Indonesia berada pada tingkatan kategori sedang. Untuk terus terus memacu literasi digital, pemerintah telah menjalankan Program Literasi Digital yang ditujukan untuk meningkatkan kecakapan pada empat pilar literasi digital yaitu digital skills, digital safety, digital culture dan digital ethics.

"Bersamaan dengan pesatnya perkembangan AI dan Emerging Technologies, maka kecakapan pemanfaatan teknologi digital perlu terus dilakukan secara kontinu dan menjangkau target usia serta masyarakat yang luas sehingga dapat terus memacu proses critical thinking pengguna," tutup Kartina.

 

 

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya