Liputan6.com, Jakarta - Pemungutan suara Pilkada 2024 telah digelar pada Rabu 27 November 2024. Ada sejumlah hal yang menjadi perhatian usai berlangsungnya pemungutan suara, satu di antaranya yaitu meningkatnya angka golput.
Di Jakarta misalnya, angka golput pada Pilkada 2024 mencapai 42 persen. Dilansir dari Antara, Selasa (3/12/2024) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) angkat suara mengenai angka golput yang tinggi Pilkada Jakarta.
Advertisement
Baca Juga
"Orang DKI kan kelompok terpelajar, sebab itu angka golputnya pasti akan tinggi karena kandidat yang ada tidak diminati oleh warga DKI," ujar Wakil Ketua Umum PKB Jazilul Fawaid dilansir Antara.
Berdasarkan temuan dari lembaga survei Charta Politika, terjadi penurunan partisipasi pemilih di Pilkada DKI Jakarta 2024 menjadi hanya 58 persen, sementara Pilkada DKI 2017 berada di atas 70 persen. Dengan demikian, angka golput dalam Pilkada DKI Jakarta tahun ini mencapai 42 persen, meningkat dari 30 persen pada 2017.
Lalu, apa itu Golput?
Golongan putih yang disingkat menjadi golput adalah istilah politik ketika seorang pemilih dalam proses pemungutan suara tidak memberikan suara atau tidak memilih satu pun calon pemimpin atau bisa juga peserta datang ke bilik suara, tetapi tidak ikut memberikan suara hingga prosesi pemungutan suara berakhir.
Awal munculnya golput berasal dari protes mahasiswa dan pemuda yang menentang Pemilu 1971, saat itu merupakan pemilu pertama di era Orde Baru. Hanya ada 10 partai politik yang berpartisipasi, jauh lebih sedikit dibandingkan dengan pemilu 1955 yang melibatkan 172 partai politik.
Arief Budiman dikenal sebagai salah satu tokoh utama yang memimpin gerakan ini, tetapi pencetus istilah “golput” adalah Imam Waluyo.
Gerakan ini disebut “putih” karena mereka mendorong orang yang pergi ke bilik suara untuk memilih bagian putih di surat suara, tepatnya di luar gambar partai politik. Meskipun demikian, pada saat itu hampir tidak ada yang berani untuk tidak datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) karena akan dicatat.
Penyebab Golput
Dilansir dari situs aclc.kpk.go.id, Selasa (3/12/2024), ada beberapa hal yang menyebabkan seseorang memilih golput atau menjadi tidak bisa mencobolos, antara lain:
Apatis terhadap politik
Sikap masyarakat yang tidak peduli terhadap politik menjadi salah satu faktor utama tingginya angka golput. Mereka cenderung tidak tertarik untuk memahami isu politik, termasuk apa itu golput dan risiko yang ditimbulkan jika tidak menggunakan hak pilih pada setiap pemilu.
Tidak tahu adanya pemilu
Meski pemilu sering diberitakan melalui media massa dan media sosial, tidak semua orang mengetahui secara pasti tanggal pelaksanaannya. Survei LSI pada Pemilu 2019, yang dilakukan sebulan sebelum hari pencoblosan, menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat belum mengetahui jadwal pemilu dengan jelas.
Dari 1.200 responden, sekitar 29,5 persen tidak tahu bahwa pemilu akan dilaksanakan pada bulan April, sedangkan 24,2 persen lainnya tahu bulannya tetapi tidak mengetahui tanggalnya.
Dalam penyelenggaraan pemilu, KPK turut berperan menyosialisasikan pentingnya menjadi pemilih yang cerdas. Kampanye seperti menolak praktik politik uang atau "serangan fajar" dan memilih pemimpin berintegritas adalah upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas pemilu.
Tidak terfasilitasi
Penyandang disabilitas memiliki hak yang sama dengan warga negara lain untuk memberikan suara pada hari pemilu. Namun, keterbatasan fisik sering kali menjadi hambatan bagi mereka untuk mencoblos. Masalah ini meliputi kurangnya bantuan menuju TPS hingga tidak tersedianya surat suara khusus bagi penyandang disabilitas.
Dampak dan Kerugian Golput
Program Officer Perludem, Heroik M Pratama menyebut, pemungutan suara merupakan salah satu ruang aktualisasi sebagai warga negara untuk menjaga amanah demokrasi ke depan. Meskipun ia sendiri menjelaskan adanya fenomena golput disebabkan oleh beberapa faktor termasuk dari pihak penyelenggara pemilu maupun dari keinginan individu.
"Golput sebenarnya bukan hal baru, bahkan sudah ada sejak era orde baru. Dulu golput ada sebagai bentuk protes pemilu yang kurang demokratis. Namun untuk sekarang ada beberapa alasan lain sehingga timbul fenomena golput," ujar Heroik dalam Virtual Class Liputan6.com yang digelar Senin (18/11/2024).
"Salah satunya alasan golput timbul adalah masyarakat yang tidak terdaftar dalam Pemilu karena data pemilih yang tidak akurat. Selain itu sistem pemilu di sini bersifat sukarela berbeda dengan Australia yang memberikan denda jika ada pemilih yang tidak datang memberikan suaranya," ujarnya menambahkan.
Ia juga menjelaskan sejumlah kerugian jika banyak yang memilih golput dalam pemilu maupun pilkada.
"Golput menjadi tidak relevan di Indonesia karena masyarakatlah yang paling dirugikan. Ini merupakan kesempatan bagi masyarakat menentukan masa depan daerahnya dalam konteks Pilkada misalnya, atau masa depan negara dalam konteks Pilpres," ujar Heroik.
"Selain itu jangan sampai pilihan kita untuk golput, surat suara kita tidak digunakan justru malah digunakan untuk manipulasi pasangan tertentu. Menggunakan hak pilih merupakan bentuk tanggung jawab dalam menjaga janji2 pada yang terpilih dan juga menjaga esensi demokrasi."
Penulis: Aqmarina Aulia Jami
Tentang Cek Fakta Liputan6.com
Melawan hoaks sama saja melawan pembodohan. Itu yang mendasari kami membuat Kanal Cek Fakta Liputan6.com pada 2018 dan hingga kini aktif memberikan literasi media pada masyarakat luas.
Sejak 2 Juli 2018, Cek Fakta Liputan6.com bergabung dalam International Fact Checking Network (IFCN) dan menjadi patner Facebook. Kami juga bagian dari inisiatif cekfakta.com. Kerja sama dengan pihak manapun, tak akan mempengaruhi independensi kami.
Jika Anda memiliki informasi seputar hoaks yang ingin kami telusuri dan verifikasi, silahkan menyampaikan di email cekfakta.liputan6@kly.id.
Ingin lebih cepat mendapat jawaban? Hubungi Chatbot WhatsApp Liputan6 Cek Fakta di 0811-9787-670 atau klik tautan berikut ini.
Advertisement