Liputan6.com, Jakarta Tarim, Hadhramaut, Yaman. Seperti baru kemarin sore kota ini mendapatkan penghargaan sebagai kota ilmu dan budaya dari ISESCO (Islamic Education Scientific And Cultural Organization). Padahal penghargaan itu terjadi hampir tujuh tahun yang lalu. Jalanan tidak banyak berubah. Suasana dan karakter penduduknya –yang sering disebut Hadhorim juga masih sama seperti dulu. Entah apa yang menghalangi perhargaan tersebut mampir lagi ke sini sampai saat ini.
Perkenalkan, saya adalah mahasiswa tingkat tiga universitas Al-Ahqaff. Ada sebuah perasaan yang tidak bisa saya gambarkan melihat fakta bahwa gedung jurusan saya bertepatan sekali berada di kota Tarim. Seperti seekor ayam lapar yang berada di lumbung berisi tumpukan padi, saya yang sedang belajar adab, akhlak dan fikih Syafi’i merasa benar-benar tepat sekali berada di sumber dari ketiganya.
Sebatas cerita. Dahulu kala, saya sebenarnya tidak memiliki banyak keinginan untuk melanjutkan studi di republik Yaman. Apa yang akan saya cari di sebuah negara yang begitu miskin. Apa yang saya cari dari sebuah negara yang rawan konflik. Dan masih banyak lagi fakta dari pertanyaan-pertanyaan yang terus menerus menghantui pikiran saya.
Advertisement
Cairo, offcourse selalu menjadi idola bagi pelajar muslim yang ingin berfikir moderat di manapun –termasuk saya. Saya tidak bisa hipokrit soal itu. Tapi merasakan keteduhan Tarim, membuat saya yakin selalu ada alasan kenapa saya sampai terdampar di sini.
Kota adab. Kota budaya. Kota ilmu. Atmosfer ketiganya benar-benar terasa berdesak-desakan memenuhi langit kota ini. Di sepanjang jalan, orang-orang Hadhorim begitu antusias duduk melingkar membicarakan hal-hal yang mayoritas soal ukhrowi. Membicarakan syekh A, Syeh B, perkataan dan petuah-petuah beliau saat memberikan nasihat dalam acara haul dan sejenisnya. Masyarakat-masyarakatnya juga begitu ramah dan selalu memberikan tumpangan kepada para pejalan kaki.Apa yang mereka lakukan benar-benar merepresentasikan sebuah kalimat mutiara yang begitu terkenal di kota ini. “Jalanan Tarim adalah guru bagi orang yang tidak memiliki guru.”
Sementara itu, atmosfer kebudayaan luar biasa kental dapat kita rasakan secara sepintas saja dari bangunan-bangun penduduk yang dibangun. Tidak ada bangunan megah dan mewah. Hampir semua penduduk membangun tempat tinggalnya dari tanah liat semata yang akan mudah roboh saat hujan turun. Jangan bayangkan penduduk kota ini serba hedonis seperti Qatar, Kuwait dan negara-negara timur tengah lainnya. Jauh, jauh sekali. Mereka sederhana dan apa adanya dalam taraf hidup yang relatif begitu rendah.
Rabu, 25 Januari 2017. Saya yang mulai merasakan bosan berminggu-minggu hanya hidup di atas kasur karena sedang menikmati sisa-sisa liburan musim dingin, mendapatkan inisiatif untuk keluar dari zona senyaman ini. Ada sebuah tempat yang begitu saya idam-idamkan sejak saya menginjakkan kaki di Yaman tahun 2014. Bagi saya, tidak ada surga yang lebih surga selain perpustakaan. Lebih-lebih perpustakaan itu adalah perpustakaan manuskrip terbesar di Yaman.
Kunjungan saya ke perpustakaan Ahqaff lil mahtutot (for manuscripct) yang pertama kali ini ditemani oleh kawan saya, Hammam Ali mustafa–salah seorang pelajar teladan dari kota Tegal. Menggunakan sepeda motor kesayangannya, kami berangkat dari asrama pelajar Indonesia di kawasan Aidid pukul 10.00 KSA.
Tidak butuh waktu lama. Hanya perlu waktu dua puluh menit bagi kami untuk sampai ke perpustakaan manuskrip Ahqaff. Terletak di tengah-tengah jantung kota, di depan Rubath Tarim, di samping pasar dan di belakang kastil Reynard, perpustakaan manuskrip tersebut begitu mudahnya ditemukan bagi orang yang ingin melakukan penelitian atau hanya sekedar ingin berkunjung.
Dari jalan,bangunan yang merupakan lantai atas dari masjid Jami’ Tarim ini tidak tampak seperti sebuah perpustakaan. Hanya plat kecil berwarna hitam memberikan tanda bahwa bangunan tersebut adalah benar dengan apa yang kami maksudkan.
Di pintu depan, dua orang penjaga dengan ramah menyambut kami dan meminta kami mengisi buku identitas seperti perpustakaan pada umumnya. Namun menariknya, di sini kita harus menerangkan apakah tujuan datang untuk sekedar berkunjung atau ingin mengadakan penelitian. Karena keduanya akan menentukan perbedaan pelayanan yang akan diberikan pada kita.
Bagi yang ingin melakukan penelitian, ia harus sudah memiliki gambaran manuskrip apa yang ingin ia teliti. Dengan begitu, ia tidak perlu lagi repot-repot mencari dan lebih menjaga manuskrip-manuskrip lain agar tidak mudah rusak disebabkan oleh hal-hal yang tidak diperlukan. Penjaga akan dengan senang hati membantu kita. Sementara itu, jika kita datang hanya sekedar berkunjung, penjaga akan langsung mempersilahkan kita masuk ke perpustakan tanpa banyak basa-basi.
Konon, perpustakan ini dirintis pada tahun 1972. Ia menyimpan lebih dari 6200 manuskrip-manuskrip kuno yang sampai saat ini belum dicetak oleh penerbit-penerbit modern di seluruh dunia.
Di sepanjang rak, kita dapat mengetahui ragam klasifikasi disiplin ilmu yang dikembangkan oleh ulama-ulama Hadramaut. Di mulai dari adab, akhlaq, tarikh, tarjamah, hingga yang fikih paling banyak, menjadi pemandangan yang luar biasa membuat saya terkagum-kagum dan merasakan sensasi kembali pada abad pertengahan. Bagaimana tidak? Membayangkan bagaimana perjuangan mereka melakukan kodifikasi keilmuan yang telah mereka capai sekali lagi membuat saya merinding dan tidak bisa mengungkapkannya lagi dengan kata-kata. Catatan-catatan itu, naskah-naskah kuno, robekan-robekan kertas. Coretan-coretan tinta seperti sebuah aurora yang indah nian diperlihatkan.
Di ujung lorong, saya secara tidak sengaja menemukan sebuah lukisan yang sangat indah. Lukisan alam yang digambar oleh Umar bin Madzfar bin Wardi merupakan sebuah eksistensi yang real bahwa ulama Islam pada zaman dahulu telah mampu berfikir kritis dan tidak berfikiran kolot. Karena tentunya, melukis memerlukan imajinasi. Lukisan tersebut sekaligus menjadi salam perpisahan saya. Dengan ramah saya pamit dan mengucapkan terimakasih kepada dua penjaga gerbang yang telah mengizinkan saya sekedar melihat-lihat perpustakaan manuskrip kuno terbesar di Yaman.
Penulis :
Munandar Harits Wicaksono, anggota dept. Infokom PPI Hadhramaut. Mahasiswa semester 6 Universitas Al-ahqaff Yaman.
*Foto Ilustrasi dari mashable.com
**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini
**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6