Vonis Joko Susilo dan Keadilan Masyarakat

Sejak reformasi bergulir, masyarakat banyak berharap adanya penegakan hukum yang berimbang.

oleh Liputan6 diperbarui 09 Sep 2013, 09:12 WIB
Diterbitkan 09 Sep 2013, 09:12 WIB
vonis-irjen-djoko-130904b.jpg
Citizen6, Jakarta: Sejak reformasi bergulir, masyarakat banyak berharap akan adanya penegakan hukum yang berimbang bagi setiap anggota masyarakat. Tanpa “pandang bulu” mengenal pangkat dan jabatan yang melekat diseragam mereka. Namun, faktanya penegakan hukum khususnya pada kasus korupsi harus berjuang untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat. Setelah Vonis bebas yang berikan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Bandung, terhadap terdakwa korupsi Mochtar Mohammad, yang merupakan Walikota Bekasi nonaktif, tahun 2011 lalu. Kini publik kembali mempertanyakan kredibilitas para aparat penegak hukum di Indonesia. Hal itu, terkait kasus Korupsi yang dilakukan oleh Irjen. Joko Susilo.

Djoko Susilo terbukti memperkaya diri sendiri sebesar Rp32 miliar dan memperkaya orang lain atau korporasi dari proyek pengadaan driving simulator SIM pada tahun 2011. Kerugian keuangan negara dalam proyek ini ditaksir sekitar Rp121,830 miliar. Namun, sangat disayangkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) hanya memvonis Joko Susilo dengan Hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan. Tentu hal ini sangat disayangkan oleh publik yang mendamba-dambakan adanya penegakan hukum yang baik dan profesional. Proses hukum ”berbelit-belit” yang digambarkan dengan lamanya waktu penyelidikan hingga ringannya hukuman vonis penjara kepada Irjen. Joko Susilo semakin membuktikan masih tumpul dan lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono telah berkomitmen kepada masyarakat untuk terus memberantas korupsi.

Akan tetapi, hal berbeda terjadi ketika proses hukum sedang berjalan.  Para penegak hukum serasa tidak mampu bersikap adil. Tajam ke bawah tumpul di atas. Ringannya hukuman yang dijatuhkan kepada Joko Susilo jelas tidak sesuai dengan kerugian yang harus ditanggung oleh negara, apalagi memenuhi rasa keadilan pada masyarakat. Tidak hanya dari sisi materil,namun juga dari sisi moral dan kepercayaan rakyat terhadap aparat penegak hukum yang bersih dan adil bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebagai orang awam yang tidak mengenal hukum, masyarakat sangat berharap aparat penegak hukum dapat bersikap profesional dalam menegakkan hukum di Indonesia.

Selain itu, vonis hukum yang diberikan kepada Joko Susilo juga menjadi cermin yang menggambarkan bahwa seolah-olah ada permainan dalam penegakan hukum. Akan ada asumsi yang berkembang dimasyarakat bahwa hukum dapat dibeli. Namun, dikemas secara apik sehingga tidak tampak secara gamblang bahwa hukum itu sebuah permainan, yang dapat diperjual belikan. Masyarakat semakin memahami bahwa Indonesia adalah negara yang  dari sisi Pelayanan Publik maupun terhadap proses Penegakan Hukum masih jauh dari harapan masyarakat. Ketika di negara tetangga telah berani menghukum mati bagi para koruptor, di Indonesia justru terkesan melindungi para koruptor. Memberikan hukuman seringan-ringannya bahkan vonis bebas kepada para pengeruk uang rakyat tersebut.

Menurut Soerjono Soejono bahwa tujuan hukum adalah untuk menciptakan kedamaian, ketertiban dan ketentraman. Masyarakat sangat mengharapkan negara mampu memberikan kepastian hukum (Teori Positivisme) atas permasalahan-permasalahan yang terjadi. Sehingga apabila hukum tidak mampu memberikan rasa aman dan kenyamanan yang dijabarkan dalam bentuk Perintah, kewajiban, kedaulatan dan sanksi tegas (John Austin),maka, secara perlahan dan pasti akan terjadi kesemrawutan dan ketidak adilan dalam penyelenggaraan suatu negara yang berdaulat. Dengan demikian, maka tidak diherankan ketika Indonesia kerap mengalami konflik-konflik sosial budaya yang mengganggu kestabilan negara.

Untuk itu,  masyarakat  sangat mengharapkan pemerintah mampu memberikan stabilitas negara dalam bentuk kepastian hukum. Lembaga negara harus mampu berlaku adil atas proses penegakan hukum. Salah satunya adalah dengan memberikan vonis tepat bagi Joko Susilo yang telah mengeruk uang rakyat. Kiranya aparatur penegak hukum perlu memahami benar amanat Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 secara bijak. Di dalam butir-butir Pancasila dijelaskan bahwa Indonesia merupakan negara berdaulat yang mampu memberikan rasa aman dan keadilan bagi seluruh rakyat, tanpa memandang unsur SARA. Pancasila butir kedua (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab) dan kelima (Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia).

Tidak dapat dipungkiri bahwa hukum sebagai media kontrol sosial (Social Control) perilaku masyarakat. Masyarakat saling mengawasi setiap prilaku yang dilakukan oleh sekitarnya. Masyarakat selalu mengawasi apakah hukum ditegakkan sesuai dengan kenyataannya, tidak ada yang ditutup-tutupi. Apalagi dipermainkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu.

Keinginan KPK mengajukan banding merupakan langkah tepat dalam upaya penegakan hukum di Indonesia. Hal ini wajib di apresiasi tinggi. Bagaimana pun juga MK merupakan lembaga tertinggi yang memiliki hak menyelesaikan berbagai persoalan hukum di Indonesia. KPK harus mampu mengembalikan kepercayaan masyarakat bahwa di negerinya hukum tidak lah tumpul. KPK harus mampu membuktikan bahwa tidak ada ampun bagi para koruptor, tanpa pandang bulu. Harus ada efek jera bagi oknum-oknum yang ingin mengeruk uang rakyat. Dengan demikian, stabilitas negara menjadi terjamin. Namun juga perlu diingatkan, KPK harus tetap pada rel penegakan hukum bukan atas pertimbangan yang lain apalagi politik.

Masyarakat hari ini menumpahkan seluruh harapan mereka ke KPK. Masyarakat berharap, KPK mampu menjadi jembatan yang mampu menyelesaikan berbagai tindak korupsi di negeri ini, dengan memberikan hukuman yang setimpal bagi setiap orang yang coba-coba bermain dengan uang rakyat. Apabila hal ini terus dibiarkan tanpa ada solusi konkrit dari seluuh stake holder penegakan hukum untuk memberikan efek jera, maka, dalam waktu dekat bisa dipastikan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap hukum di Indonesia menjadi hilang. Di sisi lain, jumlah para koruptor akan semakin meningkat sesuai dengan perkembangan teknologi. Bahkan korupsi akan dilakukan dengan cara selingkuh dengan berbagai kelembagaan dan dilakukan secara terang-terangan didepan publik. (Arman Ndupa/kw)

*Arman Ndupa adalah Alumni Pascasarjana KSI UI dan Analis Kajian Strategis Nusantara Bersatu

Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.



POPULER

Berita Terkini Selengkapnya