Pertamina Diminta Fokus pada Minyak

Persaingan antara Perusahaan Gas Negara (PGN) dengan Pertamina dalam pengelolaan gas sudah mengarah pada perseteruan sengit.

oleh Liputan6 diperbarui 25 Nov 2013, 18:00 WIB
Diterbitkan 25 Nov 2013, 18:00 WIB
131125cpertamina.jpg
Citizen6, Jakarta: Persaingan antara Perusahaan Gas Negara (PGN) dengan Pertamina dalam pengelolaan gas sudah mengarah pada perseteruan sengit. Karena perseteruan dua BUMN tersebut, maka terjadi masalah dalam persinggungan pipa pada 11 titik di area Jawa Barat dan Jawa Timur yang menimbulkan keberatan dari PT Pertamina Gas (Pertagas), sehingga menghambat pengembangan jaringan pipa yang sedang dibangun PGN.

Sebelumnya pernah terjadi perseteruan antara keduanya, yaitu perebutan pembangunan pipa gas Trans-Jawa pada 2006 yang hingga kini masih mangkrak. Juga bersitegang skema penyaluran gas di Sumatera Utara, yang berujung pada pipanisasi gas Arun–Belawan menggusur FSRU Belawan ke Lampung.

Berlarutnya perseteruan itu salah satunya berakibat pada krisis listrik dan gas di Sumatera Utara, serta terhambatnya konversi BBM ke gas pada pembangkit listrik Tambak Lorok dan Industri di Jawa Tengah. Dan yang menanggung kerugian semuanya itu tentu saja rakyat. Sangat disayangkan, kondisi perseteruan tersebut justru menguntungkan bagi trader non-infrastruktur (broker) yang mendompleng salah satu pihak, yaitu dengan menghembuskan wacana open access. Dengan open acces, para broker dapat leluasa menjual gas dengan memanfaatkan infrastruktur negara. Sebagai informasi, harga jual gas PGN ke konsumen, berkisar antara 8 – 10 USD/mmBTU. Sementara di Jawa Barat, para broker menjual gas sampai dengan 14 USD/mmBTU.

Untuk mencegah berlarutnya perseteruan kedua BUMN tersebut, pemerintah berupaya mengkonsolidasikan kedua BUMN. Vice President Corporate Communication Pertamina Ali Mundakir mengatakan pihaknya telah menuntaskan kajian merger PGN dan Pertagas, selaku anak perusahaan Pertamina. Yaitu dengan menempatkan perusahaan hasil merger sebagai anak perusahaan Pertamina. Sebagai gantinya, dijanjikan seluruh pipa akan di-open access. Dengan demikian seluruh broker gas dapat memanfaatkan fasilitas negara, tanpa campur tangan Pemerintah dalam penetapan margin dan keuntunggannya.

Namun, Peneliti dari Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi berpendapat, upaya itu sesungguhnya bukanlah merger melainkan pengambilalihan alias akuisisi PGN oleh Pertagas. Menurutnya akuisisi biasanya dilakukan oleh perusahaan yang lebih besar terhadap perusahaan yang lebih kecil.

"Menjadi anomali jika Pertagas yang asetnya lebih kecil 'mencaplok' PGN yang memiliki aset jauh lebih besar. Apalagi kiprah PGN di perniagaan Gas Bumi jauh lebih  lama ketimbang Pertagas," ujarnya, Minggu 24 November 2013. Kondisi ini, sambung Fahmy, mirip ketika Kalimantan Prima Coal (KPC) diakuisisi Bumi Resources.

Selain itu, kata Fahmy, Pertamina harus menyediakan dana segar dalam jumlah besar untuk membeli saham PGN, utamanya saham yang sudah dimiliki oleh publik. Merujuk data Bursa Efek Indonesia (BEI), saat ini kapitalisasi saham PGN di pasar bursa mencapai Rp 115 triliun. Pemerintah memiliki 56,97% saham dan 43,03% milik publik. Artinya, jika Pertamina akan membeli saham pemerintah yang ada di PGN, maka Pertamina mesti menyiapkan dana minimal Rp 70 triliun atau setara dengan 56,97% saham. Belum lagi ditambah dengan kewajiban untuk melaksanakan tender offer (membeli saham di investor publik) saham PGN sesuai dengan peraturan otoritas pasar modal.

"Dana Pertamina akan jauh lebih produktif jika digunakan untuk membiayai usaha pengeboran dan pembangunan kilang minyak, sehingga tidak perlu membebani APBN," tutur Fahmy.

Direktur Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Ucok Sky Khadafi, mengatakan jika Pertamina mengakuisisi PGN, maka bisa terjadi kemunduran dalam tata kelola migas. Pasalnya, kata dia, pola bisnis Pertamina tidak ubahnya seperti dahulu.

"Ini ancaman. Pertamina ingin menjadi trader kembali, membuat GCG yang selama ini dibangun menjadi mundur. Pertamina ingin seperti dulu lagi, menguasai sumber migas, namun ketika itu yang terjadi bukan memberi kontribusi kepada negara melainkan terjadi korupsi secara besar-besaran," kata Ucok, Jumat 22 November 2013. (Team PR/mar)

Team PR adalah pewarta warga.

Mulai 18 November-29 November ini, Citizen6 mengadakan program menulis bertopik "Guruku Idolaku". Dapatkan merchandise menarik dari Liputan6.com bagi 6 artikel terpilih. Syarat dan ketentuan bisa disimak di sini.

Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya