Kualitas Hidup Disabilitas Semakin Membaik dan Bahagia, Benarkah?

Sebuah survei mengungkapkan bahwa penyandang disabilitas secara konsisten melaporkan kualitas hidup yang semakin membaik

oleh Fitri Syarifah diperbarui 08 Okt 2020, 10:00 WIB
Diterbitkan 08 Okt 2020, 10:00 WIB
Kebahagiaan Warga Disabilitas Terima e-KTP Dari Wawali Bengkulu
Pemkot Bengkulu berkomitmen memberikan pelayanan terbaik untuk seluruh warga termasuk penyandang disabilitas. (Liputan6.com/Yuliardi Hardjo)

Liputan6.com, Jakarta Sebuah survei mengungkapkan bahwa penyandang disabilitas secara konsisten melaporkan kualitas hidup yang semakin membaik, kata Tom Shakespeare, seorang penulis, sosiolog dan broadcaster di Inggris. Jadi mengapa mereka sering diasumsikan tidak bahagia?

"Pernahkah Anda berpikir, 'Saya lebih suka mati daripada cacat?'. Pemikiran kalau penyandang disabilitas dikaitkan dengan kegagalan, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk melakukan sesuatu sudah menjadi terlalu umum. Padahal pemikiran itu belum tentu benar, sehingga terkadang disebut dengan 'paradoks disabilitas'," katanya, seperti dikutip BBC.

Kenyataannya, hasil survei yang ia temukan mengungkapkan, para penyandang disabilitas secara konsisten melaporkan kualitas hidup yang sebaik, atau terkadang bahkan lebih baik daripada non-disabilitas.

Disabilitas biasanya hanya membuat sedikit perbedaan pada kualitas hidup. Misalnya, menurut penelitian, secara keseluruhan tingkat kepuasan hidup orang yang mengalami cedera tulang belakang tidak dipengaruhi oleh kemampuan fisik mereka. Bahkan fakta klinis tentang apakah lesi tulang belakang mereka tinggi atau rendah, lengkap atau tidak lengkap (semua aspek yang memengaruhi fungsi anggota tubuh) tampaknya tidak membuat banyak perbedaan.

Perkembangan manusia masih bisa berjalan bahkan jika Anda tidak memiliki indra utama, seperti penglihatan, atau Anda tidak dapat berjalan, atau Anda benar-benar bergantung secara fisik pada orang lain.

 

Simak Video Berikut Ini:

Lantas kenapa pemikiran disabilitas tidak bahagia masih ada?

Menurut pandangan Tom, jika dipikirkan, Anda akan menyadari bahwa orang yang terlahir difabel tidak membandingkan kehidupan mereka. Mereka terbiasa apa adanya. Meskipun seorang tunarungu tidak pernah mendengar musik, kicauan burung, atau seorang tunanetra yang tidak pernah mengalami seni visual atau pemandangan yang indah. Mungkin sudah terbiasa dengan keadaannya dan tidak menganggap dirinya berbeda. Meskipun hidup terkadang sulit, mereka sudah terbiasa apa adanya.

Sedangkan bagi orang yang sebelumnya mengalami hidup seperti biasa, tiba-tiba suatu hari cedera atau karena penyakit, seseorang dapat merasa sangat tertekan, dan bahkan berpikir untuk bunuh diri. Namun setelah beberapa waktu, orang beradaptasi dengan situasi baru mereka, mengevaluasi kembali sikap mereka terhadap disabilitas, dan mulai memanfaatkannya sebaik mungkin. Terkadang, mereka didorong untuk mencapai prestasi yang lebih besar dari sebelumnya. Ingat atlet Paralimpiade yang luar biasa itu…

Mungkin Anda skeptis tentang sifat subjektif dari data kualitas hidup. Ahli bioetika terkadang menggambarkan laporan diri ini dalam istilah konsep "happy slave", dengan kata lain, orang mengira mereka bahagia karena mereka tidak tahu yang lebih baik. Mungkin para penyandang disabilitas yang ceria ini menipu diri sendiri. Atau, mungkin mereka membodohi orang lain. Mungkin secara pribadi mereka mengaku menderita, sementara di depan umum mereka memasang wajah pemberani. Apapun itu, dikatakan bahwa orang-orang ini pasti dalam semacam penyangkalan.

"Tapi penjelasan ini menggurui, bukan menghina. Lebih penting lagi, mereka salah. Penelitian di bidang psikologi hedonis telah mendukung laporan diri penyandang disabilitas tentang kualitas hidup yang baik. Ilmuwan seperti Daniel Gilbert telah melakukan pengujian yang sangat menyeluruh tentang apa yang orang katakan dan bagaimana mereka berpikir. Konsep berpikir mereka yang mengadaptasi hedonis (mengacu pada cara kualitas hidup setelah trauma, kembali kepada seperti sebelum trauma). Rasanya mungkin seperti tiba-tiba menang undian, namun setelahnya akan kembali seperti sebelumnya," terangnya.

Jadi jika laporan diri ini benar, masih perlu menemukan cara yang lebih baik untuk memahami paradoks disabilitas.

"Adapun penjelasan tentang proses psikologis yang terjadi dalam pikiran penyandang disabilitas misalnya adaptasi, coping, dan akomodasi. Adaptasi berarti menemukan cara lain untuk melakukan sesuatu. Misalnya, orang lumpuh mungkin akan menggunakan kursi roda, bukan berjalan kaki. Coping adalah ketika orang secara bertahap menerima tentang fungsi anggota tubuh mereka. Misalnya mereka memutuskan bahwa berjalan kaki setengah kilometer akan baik-baik saja, meskipun sebelumnya baru merasa puas jika berjalan lebih jauh lagi. Akomodasi adalah ketika seseorang belajar menghargai hal-hal lain. Manusia mampu beradaptasi dengan hampir semua situasi, menemukan kepuasan dalam hal-hal kecil yang dapat mereka capai, dan memperoleh kebahagiaan dari hubungan mereka dengan keluarga dan teman, bahkan tanpa adanya suatu kemenangan lain," katanya.

Tom mengatakan, penilaian kita tentang kehidupan dengan disabilitas mungkin tidak ada hubungannya dengan kenyataan dibandingkan dengan ketakutan dan ketidaktahuan dan prasangka. Kita salah berasumsi bahwa kesulitan untuk orang mengakibatkan kesengsaraan bagi orang.

"Bahkan sejauh gangguan memang memerlukan penderitaan dan keterbatasan, faktor-faktor lain dalam hidup dapat lebih dari sekadar mengimbanginya. Ambil contoh sensasi box office Prancis baru-baru ini, Les Intouchables, di mana protagonisnya, Philippe mengidap tetraplegia, tetapi meskipun demikian, dia mampu memiliki kualitas hidup yang baik karena dia punya uang. Bahkan orang-orang yang tidak cukup beruntung menjadi bangsawan Paris yang kaya dapat menikmati manfaat dari persahabatan atau budaya, terlepas dari pembatasan yang diberlakukan pada mereka. Sebaliknya, jelas terlihat bahwa seseorang dapat memiliki tubuh atau pikiran yang berfungsi penuh namun tidak memiliki jaringan sosial atau kepribadian yang diperlukan untuk menjalani kehidupan yang bahagia dan terpenuhi," ungkapnya.

Ini menyoroti pentingnya lingkungan dalam menentukan kebahagiaan para penyandang disabilitas, lanjut Tom. Seperti di sebagian besar bidang kehidupan, faktor struktural yang membuat perbedaan nyata. Partisipasi, bukan gangguan kuncinya. Apakah hambatan akses menghalangi Anda pergi ke sekolah dengan teman-teman Anda? Apakah Anda memiliki pekerjaan? Apakah masyarakat menanggung biaya tambahan karena mengalami gangguan melalui sistem kesejahteraan yang adil dan tidak menstigmatisasi? Apakah Anda menghadapi permusuhan dan kejahatan rasial?

Sayangnya, dalam banyak hal, situasi penyandang disabilitas semakin buruk, bukan lebih baik, dalam beberapa tahun terakhir. Menurut Center for Welfare Reform, pemotongan belanja pemerintah ini berdampak sangat tidak proporsional terhadap kehidupan penyandang disabilitas dalam kemiskinan.

"Argumen tersebut mencerminkan bahwa hambatan sosial lebih merupakan masalah daripada kerusakan itu sendiri. Sebagai permulaan, disabilitas sangat beragam yang berarti kita harus mengubah persepsi bahwa disabilitas adalah tragedi. Beberapa penyakit dan kecacatan tidak diragukan lagi melibatkan tingkat kesengsaraan atau penderitaan yang lebih besar daripada yang seharusnya dialami oleh manusia pada umumnya. Misalnya dalam kasus depresi, yang oleh ahli biologi Lewis Wolpert disebut sebagai "kesedihan yang ganas". Ada beberapa penyakit degeneratif yang menyakitkan. Gangguan yang melibatkan rasa sakit yang berat, baik fisik maupun mental, jelas kurang sesuai dengan kualitas hidup yang baik," kata Tom.

Memang benar pula jika secara umum, penyandang disabilitas biasanya memiliki lebih sedikit pilihan dibandingkan dengan non-disabilitas. Sebagian besar masyarakat masih memiliki akses yang terbatas. Bahkan di dunia yang bebas hambatan, penyandang disabilitas lebih cenderung mengandalkan perangkat mekanis yang secara berkala mengalami malfungsi, membuat individu dikecualikan atau bergantung. Entah itu ban kursi roda yang kempes atau pecah, lift rusak, atau akses yang sulit terhadap apapun itu membuat penyandang disabilitas menjadi terbiasa dengan rasa frustrasi akan kesulitan akses tersebut. Hal itu tentu juga membuat hidup menjadi disabilitas terasa kurang dapat diprediksi dan kurang bebas daripada bagi mereka yang bukan penyandang disabilitas.

Namun Tom mengingatkan bahwa keberadaan saja menjadi masalah. Dilahirkan berarti menjadi rentan, menjadi mangsa penyakit dan penderitaan, dan akhirnya mati. "Terkadang, bagian hidup yang justru kesulitan mengambil manfaat lain, seperti perspektif atau nilai sebenarnya yang bisa terlewatkan oleh orang non-disabilitas. Jika kita selalu mengingat hal ini, mungkin kita akan menjadi lebih menerima disabilitas dan tidak terlalu berprasangka buruk terhadap penyandang disabilitas."

Infografis Hindari Penularan Covid-19, Ayo Jaga Jarak!

Infografis Hindari Penularan Covid-19, Ayo Jaga Jarak! (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Hindari Penularan Covid-19, Ayo Jaga Jarak! (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya