Liputan6.com, Jakarta Disabilitas terbagi dalam beberapa jenis salah satunya sensorik. Selain tunanetra, tuli juga termasuk disabilitas sensorik tepatnya pada indera pendengaran.
Kondisi tuli mengindikasikan bahwa seseorang tidak mampu memproses sinyal audio. Pada dasarnya, seseorang yang dikatakan tuli dapat mendengar suara dalam frekuensi desibel tertentu namun tidak selamanya gangguan pendengaran diakibatkan masalah desibel saja.
Menurut peneliti dari Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD), Universitas Brawijaya, Malang, Alies Poetri Lintangsari, dalam hal definisi, ketulian dapat dipandang dari dua sudut pandang, yaitu sudut pandang klinis atau patologis dan sudut pandang sosial budaya.
Advertisement
Sebagaimana perbedaan kedua sudut pandang tersebut maka perlakuan yang diberikan pada mahasiswa tuli pun akan berbeda.
Berikut adalah penjelasan definisi ketulian berdasarkan kedua sudut pandang tersebut:
Ketulian dalam definisi klinis/patologis
Secara umum ketika disabilitas dipandang secara klinis/patologis maka disabilitas akan dianggap sebagai sebuah penyakit dan kecacatan sehingga dibutuhkan usaha penyembuhan. Begitu pula dengan ketulian, dalam definisi klinis/patologis ketulian merupakan kondisi di mana seseorang tidak bisa mendengar dikarenakan mengalami gangguan dalam organ pendengarannya.
“Samuel Kirk dalam bukunya yang berjudul Educating Exceptional Children 12th Ed (2009) menjelaskan bahwa istilah Tuli (Deaf) merujuk pada kondisi di mana seseorang mengalami ketidakmampuan untuk mendengar, sedangkan istilah kurang dengar (hard of hearing) merujuk pada semua istilah kehilangan pendengaran,” tulis Alies dalam penelitianya dikutip pada Rabu (28/10/2020).
Ketulian didefinisikan dalam tiga kategori, yang pertama adalah tingkat ketulian, jenis ketulian dan usia ketika ketulian terjadi.
Tingkat ketulian diukur dari kemampuan seseorang menerima suara yang diukur dalam desibel. Kehilangan pendengaran antara 15-20 desibel masih dianggap ringan, kehilangan pendengaran tingkat ringan (20-40 desibel) sampai sedang (40-60 desibel) dan kehilangan pendengaran tingkat sedang hingga berat (60-80 desibel) atau bahkan parah (lebih dari 80 desibel).
Simak Video Berikut Ini:
Ketulian dalam Definisi Sosial Budaya
Ketulian sebagaimana dipandang dari sudut pandang sosial budaya merupakan sebuah kondisi sosiokultural di mana terdapat pembatasan pengembangan kultur dan bahasa yang merupakan identitas masyarakat tuli.
Menurut Alies, ketulian dalam sudut pandang sosial dan budaya merupakan sebuah entitas yang lahir dari pengelompokkan maysarakat berdasarkan kekayaan linguistik yang mana hal ini di dominasi oleh maysarakat dengar (non-tuli).
“Definisi ketulian dalam sudut pandang sosial budaya tidak menitik beratkan pada kondisi fisik yang mengalami hambatan dalam menangkap sinyal audio melainkan sebuah kondisi sosiokultural yang menempatkan masyarakat tuli secara ekslusif.”
Penempatan secara ekslusif tersebut terjadi dikarenakan belum adanya kesadaran untuk memaksimalkan media maupun sarana (dalam hal ini adalah bahasa) yang memberikan kesempatan kepada masyrakat tuli untuk terlibat dalam aktivitas masyarakat dengar.
“Dengan memandang ketulian dari sudut pandang budaya maka akan memberikan pemahaman bahwa ketulian bukanlah sebuah kondisi kerusakan fisik melainkan kondisi sosiokultural yang selama ini mengabaikan identitas sosiokultural maysarakat tuli terutama dalam hal bahasa.”
Perubahan permaknaan budaya tuli (patologis) menjadi tuli (sosiokultur) mengindikasi bahwa ketulian merupakan sebuah identitas budaya yang memiliki karakteristik tertentu, karena itu pula masyarakat tuli memilih istilah tuli daripada tunarungu, karena tunarungu mengindikasi adanya kekurangan atau kerusakan, kata Alies.
Advertisement