Mendidik Anak Tuli Harus Konsisten, Tapi Orangtua Tak Perlu Terlalu Keras pada Diri Sendiri

Mendidik anak penyandang tuli tidak sama dengan mendidik anak non tuli atau non disabilitas. Kendala komunikasi menjadi tantangan tersendiri bagi orangtua dan anak.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 11 Des 2020, 18:00 WIB
Diterbitkan 11 Des 2020, 18:00 WIB
Ilustrasi Bahasa Isyarat
Ilustrasi Bahasa Isyarat untuk tuli Foto oleh Dids dari Pexels

Liputan6.com, Jakarta Mendidik anak penyandang tuli tidak sama dengan mendidik anak non tuli atau non disabilitas. Kendala komunikasi menjadi tantangan tersendiri bagi orangtua dan anak.

Namun, hal tersebut sama sekali tidak menutup keberhasilan jika anak dididik secara konsisten dan tetap pada komitmen.

Seperti disampaikan Pendiri Komunitas Kesetaraan Bagi Anak Tuli (Setuli), Susanti Mayangsari, bahwa mendidik anak tuli itu harus terus menerus dan tidak bisa musiman.

“Kembali kepada kita, kuncinya pada konsistensi dan komitmen, sejauh mana kita mau konsisten dan komit bahwa kita ini bahwa anak kita maju dan mandiri,” ujar Susanti dalam webinar Konekin, ditulis Jumat (11/12/2020).

Walau demikian, orangtua harus tetap ingat bahwa jangan terlalu keras pada diri sendiri. Susanti sendiri mengaku sempat terlalu menuntut diri untuk melakukan yang terbaik untuk anaknya yang juga menyandang tuli.

Ia kemudian tarik napas dan mencoba memikirkannya dengan kepala dingin. Jika usahanya tidak membuahkan hasil, maka ia berpikir di balik tantangan itu ada rencana yang lebih baik.

Simak Video Berikut Ini:

Ada Berkat di Balik Bencana

Salah satu contoh kasus yang pernah dialami Susanti adalah ketika ia membelikan berbagai mainan penunjang untuk anaknya namun sang anak tidak tertarik sama sekali.

“Aku sudah beli mainan atau alat untuk melatih sensoriknya, motoriknya, bahasanya tapi dia belum tertarik, dicuekin aja, kadang malah dilempar sama dia.”

Dari kejadian itu timbul pikiran-pikiran yang membuat tidak semangat namun lama-kelamaan “Ya sudah, jangan terus merasa bahwa semua usaha kita tidak berhasil. Tidak ada usaha yang sia-sia.”

Pada akhirnya, selang beberapa waktu sang anak memainkan alat-alat itu juga dan bisa belajar bersama.

Dalam hal ini, orangtua perlu banyak belajar dan mengambil pelajaran dari segala sesuatu. Misal dari pandemi COVID-19.

Dengan adanya pandemi COVID-19, Susanti jadi memiliki lebih banyak waktu untuk membaca jurnal-jurnal terkait disabilitas tuli dan menghabiskan waktu dengan buah hatinya.

“Jadi selalu ada berkat di balik bencana,” pungkasnya.   

Infografis Tunjangan Khusus Penyandang Disabilitas di Jakarta

Infografis Tunjangan Khusus Penyandang Disabilitas di Jakarta
Infografis Tunjangan Khusus Penyandang Disabilitas di Jakarta. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya