Penukaran Uang Baru Jelang Lebaran, Apakah Termasuk Riba?

Para ulama berbeda pendapat dalam melihat masalah penukaran uang baru. Pandangan mereka bergantung pada cara bagaimana penukaran tersebut dilakukan dan faktor lain yang menyertainya.

oleh Putry Damayanty Diperbarui 23 Mar 2025, 16:00 WIB
Diterbitkan 23 Mar 2025, 16:00 WIB
Layanan Penukaran Uang Receh untuk Lebaran
Warga menunjukkan uang pecahan kecil usai ditukarkan di mobil Kas Keliling BI, Pasar Rawa Bening, Jatinegara, Jakarta Timur, Senin (18/4/2022). BI menyiapkan 5.013 titik penukaran uang pada 262 bank umum di seluruh Indonesia sejak 4 April 2022 hingga 29 April 2022. (merdeka.com/Iqbal S.Nugroho)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Setiap menjelang Hari Raya Idul Fitri, banyak orang yang melakukan penukaran uang, baik untuk keperluan memberikan THR, membeli kebutuhan Lebaran, atau sekadar mempersiapkan berbagai pengeluaran lain selama perayaan.

Uang baru yang didapatkan dari penukaran tersebut sering kali digunakan sebagai hadiah dalam amplop untuk anak-anak atau sebagai bentuk pemberian kepada keluarga dan kerabat.

Praktik penukaran uang baru ini memang terlihat sederhana, namun jika dilihat dari perspektif hukum Islam, hal tersebut dapat menimbulkan berbagai masalah, termasuk dari segi cara dan tujuan penukarannya.

Apakah dengan adanya tambahan uang yang tidak seimbang termasuk dalam transaksi yang diperbolehkan atau justru tergolong riba? Berikut penjelasannya merangkum dari laman NU Online.

 

Promosi 1

Saksikan Video Pilihan ini:

Hukum Penukaran Uang Menurut Islam

Warga Mulai Berburu Penukaran Uang Baru Lebaran
Namun, Bank Indonesia (BI) dan perbankan membatasi penukaran uang tunai sebesar Rp 3,8 juta per orang menjelang hari raya Idul Fitri atau Lebaran 2023. (Liputan6.com/Angga Yuniar)... Selengkapnya

Ketika yang dilihat dari praktik penukaran uang itu (ma'qud 'alaih) adalah uangnya, maka penukaran uang dengan kelebihan jumlah tertentu jelas haram karena praktik ini terbilang kategori riba.

Namun, kalau yang dilihat dari praktik penukaran uang ini (ma'qud 'alaih) adalah jasa orang yang menyediakan jasa, maka praktik penukaran uang dengan kelebihan tertentu mubah menurut syariat karena praktik ini terbilang kategori ijarah (sewa).

Ijarah yang dimaksud adalah sejenis dengan jual beli sehingga tidak termasuk kategori riba. Hal itu merujuk pada keterangan dalam kitab Fathul Mujibil Qarib, cetakan pertama, halaman 123.

‎والإجارة في الحقيقة بيع إلا أنها قابلة للتأقيت وأن المبيع فيها ليست عينا من الأعيان بل منفعة من المنافع إما منفعة عين وإما منفعة عمل

Artinya: Ijarah (sewa) sebenarnya adalah jual-beli, hanya bedanya ijarah menerima pembatasan tempo. Produk pada ijarah bukan pada barang, tetapi manfaat (jasa) dari sebuah barang atau jasa dari sebuah tenaga (aktivitas).

Perbedaan Pandangan Ulama Mazhab

Bank Indonesia Buka Layanan Penukaran Uang Rupiah Baru Periode III
Sementara, layanan penukaran uang baru periode III dari Bank Indonesia dapat dilakukan hingga Minggu 23 Maret 2025. (Liputan6.com/Angga Yuniar)... Selengkapnya

Sementara menurut pendapat lainnya menyebutkan bahwa jika titik permasalahan dalam konteks penukaran uang ini terletak pada menyamakan uang kertas dengan emas dan perak atau tidak menyamakannya sehingga hal itu menjadi poin ada dan tidaknya hukum riba dalam uang kertas. Pendapat ini diperkuat oleh pandangan ulama mazhab berikut:

1. Boleh, menurut ulama mazhab Syafi'i, Hanafi dan pendapat yang dalam mazhab Hanbali dengan syarat dilakukan secara kontan bukan secara utang.

2. Tidak boleh, menurut pendapat yang kuat dalam mazhab Maliki dan sebagian riwayat dalam mazhab Hanbali.

Sebagai saran, jika memang harus menggunakan jasa pertukaran uang, maka harus diniatkan praktik tersebut sebagai akad ijarah. Sehingga, kelebihan uang yang diberikan bukan termasuk riba, melainkan sebagai bentuk upah atas jasa yang telah diberikan pemilik jasa pertukaran uang tersebut.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Produksi Liputan6.com

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya