Kegiatan Alam bagi Anak Berkebutuhan Khusus Lebih Baik Dilakukan Berkelompok

Kegiatan alam tak hanya baik untuk masyarakat umum tapi juga bagi anak berkebutuhan khusus (ABK).

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 10 Agu 2022, 18:00 WIB
Diterbitkan 10 Agu 2022, 18:00 WIB
Potret Kegiatan Murid Sekolah Alam di Tengah Pandemi COVID-19
Dua murid SD bermain di atas pohon di sekolah alam Sukawangi, Kabuapaten Bekasi, Jawa Barat, Senin (30/11/2020). Kegiatan bermain di alam terbuka menjadi solusi bagi para murid untuk menghilangkan rasa jenuh usai belajar dimasa pandemi COVID-19. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta Kegiatan alam tak hanya baik untuk masyarakat umum tapi juga bagi anak berkebutuhan khusus (ABK).

Menurut psikolog sosial dari Enlightmind Nirmala Ika, kegiatan alam lebih baik dilakukan secara berkelompok ketimbang hanya berdua apalagi sendiri.

“Kenapa lebih baik? Bagi anak-anak disabilitas termasuk spektrum autisme interaksi itu diperlukan. Dengan adanya orang lain, selain bersentuhan dengan alam dia juga bisa berinteraksi dengan manusia lain selain orangtuanya,” ujar Nirmala kepada Disabilitas Liputan6.com melalui sambungan telepon Selasa (9/8/2022).

Kegiatan alam berkelompok juga membuat mereka lebih sadar bahwa ada orang lain di sekitar mereka. Anak-anak autisme juga memerlukan pemahaman dari konteks sosial. Misalnya dia senang lari-lari tapi jika banyak orang lari-larinya tidak boleh nabrak.

“Anak-anak autisme salah satu yang menonjol dari mereka itu adalah kekurangmampuan mereka untuk melihat konteks sosial. Dengan bersosialisai maka mereka akan terlatih.”

Di sisi lain, jika kegiatan alam dilakukan secara berkelompok maka suasananya akan lebih menyenangkan.

“Kegiatan alam seperti pendakian rutin ini harus dibentuk sebagai kegiatan yang menyenangkan bukan paksaan.”

Maka dari itu, klub-klub pendakian khsus anak disabilitas menjadi penting untuk dikembangkan di Indonesia.

Selain mendaki, kegiatan alam lain yang bisa dilakukan anak disabilitas adalah jalan-jalan di daerah yang berkontur seperti kebun teh.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Tak Harus Ke Hutan

Wisata Alam
Orang yang sedang berwisata alam di Batu Kuda, Bandung. Foto: (Ade Nasihudin/Liputan6.com)

Selain itu, ada pula beberapa olahraga yang cocok dilakukan anak autisme atau Down syndrome. Contohnya seperti berkuda dan berenang. Mereka juga bisa diajak bermain air di sungai.

Namun, jarak dan kesibukan orangtua acap kali menjadi alasan keluarga tak bisa berkegiatan di alam secara rutin. Terkait hal ini, Nirmala mengatakan bahwa kegiatan alam tak harus selalu dilakukan di hutan atau gunung terutama jika anak masih terlalu kecil.

“Kalau anak masih terlalu kecil enggak usah ke hutan atau gunung, bawa saja ke taman, di taman ada kontur naik turun dan berbagai fasilitas yang membantu. Bahkan, kalau di komplek ada taman kecil ajak saja ke sana.”

“Yang penting kita sesuaikan saja dengan usia anak, karena kan kalau terlalu kecil enggak mungkin juga bawa dia mendaki karena bisa terlalu berat untuk dia, ya di sekitar kita saja, misalnya ke Ragunan, taman, pantai Ancol, bahkan ke danau Universitas Indonesia, yang penting dia bisa eksplor.”

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS


Membantu Masalah Sensori

Pemandangan Alam
Pemandangan Alam Gunung Manglayang, Foto: Ade Nasihudin (14/10/2020).

Sebelumnya, Nirmala menjelaskan bahwa umumnya masalah yang dihadapi anak-anak disabilitas terutama autisme dan sindrom Down adalah masalah sensori.

“Sensori mereka tidak berkembang dengan sempurna, sensori itu kan bukan cuman di indera yang kita tahu peraba, pengecap yang begitu-begitu ya, ada juga keseimbangan. Ketika berinteraksi dengan alam, si sensori ini distimulus,” ujar Nirmala.

Sensori anak dapat distimulus misalnya dengan menginjak rumput, bermain tanah, menyentuh pohon, dan bermain air. Itu semua melatih sensori sehingga timbul perkembangan yang lebih baik.

“Mereka menjadi lebih peka dan lebih sensitif. Terutama bagi anak-anak yang tinggal di kota-kota seperti Jakarta sensorinya enggak terasah, dengan bermain di alam mereka bisa tahu bagaimana bedanya tanah lempung dengan tanah biasanya.”

Kegiatan alam seperti mendaki juga memang lebih baik dilakukan secara rutin ketimbang satu kali saja.

Merutinkan kegiatan di alam disebut lebih baik karena dapat membawa manfaat yang lebih besar. Nirmala mengumpamakan rutinnya kegiatan tersebut dengan belajar sepeda.


Bak Belajar Sepeda

Junior Caesar J Noya, penyandang Down syndrome asal Bandung yang pandai bernyanyi. Foto: tangkapan layar Instagram junior_noya.
Junior Caesar J Noya, penyandang Down syndrome asal Bandung yang pandai bernyanyi. Foto: tangkapan layar Instagram junior_noya.

Menurutnya, jika belajar sepeda hanya dilakukan satu kali, maka tidak akan mahir mengendarai sepedanya. Jika latihan dilakukan secara rutin, maka kemampuan mengendarai sepeda akan lebih baik.

“Ini kan melatih sensori, kalau enggak rutin ibaratnya ya tadi sesuatu yang belum kebentuk tapi sudah kembali lagi ke kebiasaan (tidak diasah) ya kita enggak akan terlatih lagi.”

Kegiatan rutin itu membuat anak-anak menjadi terbiasa dan kemampuan sensori pun akan menjadi lebih baik.

“Dan akan lebih baik juga jika dilakukan pada anak-anak di usia awal maksudnya di usia masih anak-anak dibandingkan di usia yang sudah remaja atau dewasa, tetap ada manfaatnya tapi tidak secepat ketika mereka masih kecil.”

Anak-anak lebih cepat menyerap berbagai hal ketika mereka masih kecil. Di samping itu, sensori anak-anak juga belum stabil sehingga ketika dikenalkan dengan sensasi-sensasi baru anak akan lebih bisa beradaptasi dan cepat menyerapnya, pungkas Nirmala.

 

Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas
Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas. (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya