Liputan6.com, Jakarta Anlita Gizelle adalah korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sekaligus ibu dari korban parental abduction.
Parental abduction adalah tindak melarikan, membawa, menyembunyikan anak yang dilakukan oleh salah satu orangtua kandung dari orangtua satunya selaku pemilik hak asuh.
Baca Juga
“Saya ini korban KDRT dari tahun 2022 yang mana saya sudah melapor tetapi kemudian kasusnya tenggelam. Lalu pada tahun 2023 anak saya diambil (oleh mantan suami) dan sempat dilarikan ke luar negeri dengan dokumen palsu yang mana juga sudah saya laporkan tapi sampai detik ini kasusnya mandek,” ungkap Anlita dalam temu media di Jakarta, Selasa (11/2/2025).
Advertisement
Tak tanggung-tanggung, kekerasan yang diterima Anlita dari mantan suami bahkan sempat dialaminya di tempat umum yakni di mal. Akibat kekerasan ini, Anlita dilarikan ke rumah sakit, menjalani operasi, bahkan hingga sandang disabilitas fisik.
“Saya juga dipukul di tempat umum. Saya digebukin di mal sampai masuk rumah sakit, saya sampai operasi, tangan saya cacat permanen,” kenang Anlita.
Sayangnya, meski sudah melapor kasus ini ke pihak berwajib, tapi kasus ini seakan tenggelam begitu saja. Sebaliknya, mantan suami malah melaporkan balik Anlita.
“Saya juga sudah lapor tapi kasus (KDRT) saya mandek. Anak saya puji Tuhannya sudah kembali ke saya tapi saya dan anak saya masih terus-terusan diganggu dengan laporan-laporan polisi yang entah bagaimana caranya laporan itu naik sedangkan laporan saya tenggelam,” jelas Anlita.
Niat Bela Diri Malah Dilaporkan Balik
Anlita dilaporkan mantan suami karena tindak kekerasan. Ia sempat menggigit tangan sang mantan untuk melepaskan cengkeramannya sebagai bentuk pembelaan diri.
“Waktu (melaporkan kasus) saya dipukulin di mal itu saya ada sempat membela diri, kejadiannya di dalam polsek lengkap dengan semua bukti yang ada. Saya ada menggigit tangan dia untuk melepaskan cengkraman tangan dia. Itu saya dilaporkan dan sekarang statusnya saya udah naik sidang. Padahal sedang di dalam polsek dan semua muka-muka polisinya terekam CCTV.”
Tak henti di situ, Anlita bahkan dilaporkan atas pelanggaran UU ITE.
“Saya tidak ada posting apa-apa karena saya waktu itu dipanggil podcast, bukan saya yang posting tapi media yang posting tapi saya yang justru dilaporkan.”
“Pesan saya di sini, ya saya cuma mau menekankan, kenapa negara ini masih membela orang-orang yang seperti ini, yang jelas-jelas dia melakukan kesalahan bahkan statusnya sudah tersangka tapi sampai detik ini dia masih belum ditahan, entah kenapa itu,” ucap Anlita.
Advertisement
Perempuan Kerap Jadi Korban Penundaan Keadilan
Kisah Anlita adalah salah satu dari banyak kasus ketidakadilan terhadap perempuan di Indonesia.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Moeldoko Center Trisya Suherman memaparkan bagaimana ketidakadilan masih banyak dialami perempuan Indonesia, khususnya mereka yang mengalami parental abduction.
“Berdasarkan data laporan yang diterima Komnas Perempuan di tahun 2019-2023, ada sepertiga atau 93 dari total 309 kasus kekerasan yang dilakukan oleh mantan suami (KMS) terkait pengasuhan anak. Kekerasan yang dilakukan oleh mantan suami sepertiganya terkait langsung perebutan pengasuhan anak,” papar Trisya.
“Jika kita lihat lebih jauh dalam menuntut hak atas pengasuhan anak, perempuan kerap menjadi korban penundaan keadilan (delay in justice) tentu ini menjadi fenomena yang perlu menjadi perhatian kita bersama khususnya pemerintah dan penegak Hukum.”
Hak Asuh Perempuan Kerap Diabaikan
Sayangnya, sambung Trisya, yang melakukan parental abduction biasanya adalah pihak yang sering melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan mereka bahkan tidak mempedulikan bahwa pihak korban justru adalah yang memiliki hak asuh secara hukum.
“Bagaimana orang yang seperti ini, jelas-jelas sering melakukan kekerasan bahkan pada orang terdekatnya, dan tidak peduli hukum bisa dibiarkan merebut, mengasuh dan membesarkan anak-anak yang suci murni? Dan bagaimana Ibu menjadi tidak sangat khawatir?” jelas Trisya.
Advertisement