Liputan6.com, New Haven - Wanita dan bidang sains tidak selalu sejalan. Seperti di bidang lainnya yang didominasi kaum pria, wanita dalam sains kerap tidak diakui prestasinya, atau didorong untuk 'kembali ke tempat' --Jadi ibu rumah tangga atau bekerja di pekerjaan 'perempuan'.
Sebuah studi dari Yale membuktikan, ahli fisika, ahli kimia, dan biologis cenderung melihat ilmuwan pria lebih handal dari wanitanya, walau kedua individu berbeda gender memiliki kualifikasi yang sama. Studi tersebut melibatkan portfolio buatan yang menunjukkan prestasi yang sama dari dua pelamar. Pria dan wanita.
Baca Juga
Terbukti, profesor dari enam institusi riset mayor, secara signifikan lebih yakin untuk merekrut para pria. Jika ada wanita yang diterima, rata-rata mereka mendapat bayaran lebih kecil $4000 (setara Rp 54 juta) dibanding kaum prianya.
Advertisement
Baru tahun ini, Tim Hunt, pemenang piala Nobel mengungkapkan bahwa kaum wanita dalam sains akan menjadi masalah 'distraksi'. Pernyataan yang mengundang para wanita pekerja sains beramai- ramai menyanggahnya dengan memperlihatkan foto-foto mereka saat bekerja. Dikutip dari BBC, walau Hunt mengaku ia hanya 'main-main', ini hanya mengungkap kebenaran, bahwa kaum wanita yang ingin mengejar karir di bidang sains kerap dipatahkan semangatnya.
Alhasil, sampai tahun 2015 ini, kaum pria lah yang mendominasi bidang STEM (Science, Technology, Engineering, and Math --Sains, Teknologi, Teknik Mesin, dan Matematika), sementara perempuan hanya 14,4 persen, menurut statistik dari kampanye Women in Science and Engineering.
Namun, setiap ada diskriminasi, selalu ada pahlawan. Selain Ada Lovelace, yang menerima penghormatan dalam Ada Lovelace Day, berikut 5 ilmuwan wanita yang penemuannya mengubah sejarah, dikumpulkan oleh Liputan6.com.
Marie Curie
Marie Curie, mendedikasikan hidup pada elemen radioaktif
Marie lahir di Warsawa, Polandia pada 7 November 1867 dengan nama Maria Sklodowska. Ia merupakan anak termuda dari lima bersaudara, dengan kedua orangtuanya berprofesi sebagai guru. Sejak kecil, Curie sudah menunjukkan minat pada matematika dan fisika, yang diturunkan dari bakat ayahnya.
Menurut laman biography.com, pada masa itu, hanya pria yang boleh masuk sekolah sains. Alhasil, ia luntang lantung mengikuti berbagai kursus informal yang digelar secara diam-diam bagi wanita yang ingin belajar. Marie bekerja membanting tulang, sembari belajar di waktu kosong. Mendapat kesempatan belajar di universitas Sorbonne, Paris, ia mendapat gelar Master di jurusan Fisika pada tahun 1893, dan gelar lainnya dalam Matematika di tahun yang sama.
Marie membuat penemuan revolusioner dalam pengembangan zat uranium, dan mempelopori istilah 'radioaktif'. Dalam proyek itu juga ia menemukan dua elemen radioaktif -polonium dan radium. Penemuan itu mengantarkannya menjadi wanita pertama pemenang Piala Nobel pada tahun 1903. Bersama suaminya, Pierre Curie, dan Henri Becquerel.
Bisa dikatakan, hidup Marie didedikasikan untuk zat radioaktif, dan ini jugalah yang mengantarkannya ke ajal. Karena ekspos zat radioaktif, seperti kebiasaannya membawa tube radium, ia didiagnosa dengan aplastic anemia, yang merenggut nyawanya.
Hingga saat ini, nama Marie masih bergaung. Dikenal sebagai 'ilmuwan wanita terkenal', beberapa institusi pendidikan dan riset mengadaptasi namanya, seperti Institute Curie dan Pierre and Marie Curie University, yang keduanya terletak di Paris.
Advertisement
Elizabeth Anderson
Elizabeth Anderson, dokter wanita resmi pertama
Elizabeth lahir dari keluarga berada, salah satu dari 12 anak dari seorang pebisnis sukses. Ia diharapkan menjadi 'wanita seutuhnya', langsung menikah setelah lulus sekolah. Namun, pertemuannya dengan Emily Davis, pejuang hak wanita, dan Elizabeth Garett, ahli fisika, menginspirasinya menjadi dokter.
Dilaporkan dari BBC, pada abad 19, dokter wanita jarang terdengar. Ia pun ditolak menuntut ilmu di berbagai sekolah medis. Namun Elizabeth pantang menyerah. Sembari menjadi murid sekolah perawat di Rumah Sakit Middlesex, ia menyelinap ke kuliah medis. Bahkan setelah dicekal dari kelas karena komplain dari seorang kolega.
Elizabeth pun berhasil mendapatkan kualifikasi Society of Apothecaries di tahun 1865. Bahkan membuat komunitas tersebut mencabut larangan mendaftarkan kaum wanita.
Masuk sekolah kedokteran bukan akhir dari perjuangan Elizabeth. Walau dengan ijazah medis dan kehandalan bicara bahasa Perancis, ia ditolak masuk British Medical Register. Ia pun berbalik, mendirikan New Hospital for Women di St Mary's Dispensary (sekarang menjadi London School of Medicine for Women). Ia bekerja sebagai profesor ginekologi dengan nama Dr Elizabeth Blackwell.
Karena kampanyenya, larangan untuk wanita masuk profesi medis dicabut pada tahun 1876. Elizabeth menjadi dekan dan pensiun di tahun 1902.
Chien-Shiung Wu
Chien-Shiung Wu, penemu bom atom pertama
Wu lahir di Tiongkok pada tahun 1912. Ia dibesarkan dan mengenyam pendidikan di tanah airnya pula. Sampai ia lulus dari National Central University in Nanking, di 1936, dan terbang ke AS untuk mengejar ilmu.
Setelah menerima Ph.D. di 1940, ia mengajari di Smith College dan Universitas Princeton. Pada tahun 1944 ia bekerja dalam deteksi radiasi di Division of War Research, Columbia University, dikutip dari NWHM.
Hasil kerja Wu menarik perhatian pemerintah. Pada Perang Dunia II, ia direkrut untuk bergabung dengan Manhattan Project, Columbia Universitu, yang merupakan proyek rahasia militer dalam mengembangkan bom atom. Ia bekerja mengembangkan bijh besi uranium yang akan digunakan sebagai bahan bakar peledak.
Setelah perang usai, Wu tetap tinggal di Columbia sebagai asisten riset. Ia tidak menerima Piala Nobel, namun ia menjadi wanita pertama yang berhasil masuk ke American Physical Society, juga wanita pertama yang menerima Piala Cyrus B. Comstock dari US National Academy od Science. Juga menerima Medal of Sciende, yang merupakan penghargaan sains tertinggi di negara.
Selain itu, ia menjadi wanita pertama, yang menerima penghargaan honorary doctorate dari Universtiras Princeton.
Advertisement
Gertrude B. Elion
Gertrude B. Elion, ciptakan obat yang bantu penderita HIV dan AIDS
Kedua orangtua Gertrude merupakan imigran dari Lithuania. Ia menghabiskan masa kecilnya di Manhattan, di mana ayahnya memiliki praktek dokter gigi. Keluarganya pindah ke Bronx dan Gertrude bersekolah di kota tersebut. Ia dikenal sebagai murid yang "memiliki kehausan tak terkesudahan atas ilmu pengetahuan."
Gertrude, yang terdorong mengenyam pendidikan tinggi setelah kakeknya meninggal karena kanker, masuk Hunter College dan mengambil jurusan kimia. Usianya masih 15 tahun saat itu, dan ia lulus pada usia 19, dilaporkan dari BNRC.
Walau dengan kecerdasan luar biasa, ia mengalami kesulitan mendapat pekerjaan. Saat itu, banyak laboratorium yang menolak mempekerjakan ahli kimia wanita. Ia bekerja sebagai asisten laboratorium dan kembali bersekolah di New York University. Sembari menjadi guru pengganti di SMA, ia belajar meraih gelar Master, yang diterimanya di tahun 1941.
Pada awal Perang Dunia II, ia bekerja serabutan sebelum direkrut oleh Burroughs-Wellcone (sekarang menjadi GlaxoSmithKline). Bersama Hitchings, rekan kerja setianya, ia bekerja mengembangkan obat-obatan dengan mempelajari komposisi kimia dari sel yang terkena penyakit.
Mereka menghindari pendekatan coba-coba dan gagal, dan menggunakan pembanding kimia biologi di antara sel normal dan pathogen (agen penyebab penyakit). Ini dilakukan untuk mendesain obat yang bisa memblokir infeksi viral (diakibatkan oleh virus) dalam tubuh.
Gertrude dan tim-nya membuat gebrakan dalam penemuan obat-obatan yang mampu melawan leukimia, herpes, dan AIDS. Ia merupakan penemu pengembangan azidothymide, yang menjadi obat pertama yang mampu merawat penderita AIDS.
Gertrude jugalah yang menemukan perawatan yang mampu mengurangi reaksi tubuh dalam menerima jaringan organ dari luar. Ini menjadi tahap keberhasilan transplantasi ginjal.
Secara keseluruhan, Gertrude menemukan 45 paten dalam obat, dan menerima 23 gelar kehormatan.
Caroline Herschel
Caroline Herschel, temukan komet dan jadi wanita pertama yang diakui sebagai ilmuwan
Caroline Herschel lahir di Jerman pada 1750. Saat kecil, Caroline terserang thypus, yang mengakibatkan pertumbuhan tingginya terhambat. Di usia dewasa, tingginya hanya 129 cm. Ini yang membuatnya sempat kecil hati dan patah semangat. Tidak berani mengenyam pendidikan dan bekerja.
Di usianya yang ke 22, Caroline diajak kakak laki-lakinya, William, pindah ke Bath, Inggris. Ia bekerja sebagai asisten rumah tangga William, dilaporkan dari She is an Astronomer.
William juga yang menginspirasi Caroline mengejar karir sebagai astronom. Kakaknya itu merupakan konduktor dan musisi handal, namun meninggalkan karirnya dan mengejar mimpi sebagai pencipta teleskop.
Caroline mendapat pendidikan aljabar, geometri, dan trigonometri. Sembari mengerjakan pekerjaan rumah, ia juga mengamati William dalam pekerjaan observasi, membentuk kaca lensa teleskop, dan kalkulasi. Ketika William menikah, Caroline melakukan observasi secara mandiri. Menggunakan teleskop Newtonian dengan focal length 27 inch, ia mendeteksi beberapa objek astronomi.
Antara tahun 1783 dan 1787, ia menangkap komet M110 (NGC 205) di Galaksi Andromeda, dan antara 1786 - 97, menemukan 8 komet dan menemukan kembali komet Encke. Komet periodik 35P/Herschel-Rigollet dinamakan atas dirinya.
Pada tahun 1797, Caroline mengambil alih pekerjaan observasi William melengkapi indeks komet, yang dirangkum dalam Catalogue of Stars, diterbitkan oleh Royal Society pada 1798.
Setelah William meninggal dunia, Caroline tetap bekerja sebagai astronom, melengkapi penemuannya dan merangkumnya dalam katalog. Ia dinobatkan penghargaan Gold Medal dari Royal Astronomical Society di tahun 1828, dan menjadi anggota kehormatan di tahun 1835. Setelahnya, tidak ada lagi wanita yang mendapat gelar serupa sampai 1996. (Ikr)
Advertisement