Tak Terima Keputusan Brexit, Skotlandia Berniat Merdeka

Hasil referendum Skotlandia menunjukkan kubu 'Remain' unggul 62 persen melawan kubu 'Leave' dengan perolehan 38 persen.

oleh Elin Yunita Kristanti diperbarui 24 Jun 2016, 21:19 WIB
Diterbitkan 24 Jun 2016, 21:19 WIB
PM Baru Skotlandia Nicola Sturgeon
PM Baru Skotlandia Nicola Sturgeon (Reuters)

Liputan6.com, Edinburg - Rakyat Inggris telah mengambil keputusan untuk hengkang dari keanggotaan Uni Eropa. Hasil referendum 52 persen melawan 48 persen juga mendorong Perdana Menteri David Cameron mengumumkan pengunduran dirinya pada Oktober mendatang.  

Tak sampai di situ. Kemenangan kubu Brexit ternyata membuat Skotlandia gerah. Rakyat di sana lebih suka jika Inggris tetap bergabung dengan Uni Eropa.

Hasil refendum di negara bagian Britania Raya itu menunjukkan kubu 'Remain' unggul 62 persen melawan kubu 'Leave' dengan perolehan 38 persen.

Pemimpin Skotlandia Nicola Sturgeon mengatakan, "secara demokratis tidak dapat diterima" bahwa Skotlandia menghadapi dampak lepasnya Inggris dari Uni Eropa, yang bertentangan dengan kehendak rakyatnya
 
Perempuan yang dikenal tangguh itu mengatakan, Pemerintah Skotlandia akan mulai mempersiapkan legislasi yang memungkinkan referendum kemerdekaan kembali digelar.

Sebelumnya, pada September 2014, Skotlandia menggelar referendum kemerdekaan, yang hasilnya mayoritas rakyat memilih tetap bergabung dengan Britania Raya.

Namun, dalam manifesto partai SNP (Scottish National Party‎) disebutkan, parlemen Skotlandia memiliki hak menggelar referendum jika ada perubahan signifikan dengan kondisi yang berlaku pada saat referendum 2014.

"Oleh karena itu,  jelas bahwa referendum kedua harus didiskusikan," kata Sturgeon seperti dikutip dari BBC, Jumat 24 Juni 2016.

Komite ketahanan pemerintah Skotlandia, yang bertemu hanya pada saat darurat, menggelar rapat pada  Jumat sore waktu setempat.

Sturgeon mengatakan, kabinet Skotlandia akan menggelar pertemuan hari berikutnya,  dan dia dijadwalkan akan menyampaikan  pernyataan di depan parlemen Skotlandia pada hari Selasa.

Perempuan yang menjabat sebagai Menteri Pertama itu mengaku menyesalkan perbedaan pendapat yang signifikan antara rakyat Skotlandia dan warga Inggris lainnya.

Berbicara di kediaman resminya, Bute House, Sturgeon mengaku akan mempertimbangkan semua opsi dan mengambil langkah apapun yang mungkin. Tujuannya, "Untuk mengamankan posisi kami yang berkelanjutan di Uni Eropa, dan di pasar tunggal pada khususnya."

Ia menambahkan, referendum kemerdekaan mungkin kembali digelar, namun pihaknya masih membutuhkan waktu untuk mempertimbangkan semua langkah. "Setidaknya untuk menilai respon dari Uni Eropa terhadap suara rakyat Skotlandia yang dinyatakan lewat referendum."

Sturgeon berkomitmen untuk melakukan apapun demi mengamankan kepentingan Skotlandia. "Setelah kampanye di seluruh Inggris yang ditandai oleh rasa takut dan kebencian."

Wanita berambut pendek itu menambahkan, apapun yang terjadi kelak, "Inggris, Wales dan Irlandia Utara akan selalu menjadi tetangga terdekat Skotlandia dan teman-teman terbaik. Tak akan ada yang berubah soal itu."

Hasil referendum di Skotlandia, kata dia, adalah bukti. "Bahwa kami modern, memandang ke depan, dan inklusif. Jelas bahwa kami tidak ingin meninggalkan Uni Eropa."

Di sisi lain, meski kecewa dengan hasil referendum, Pemimpin Konservatif Skotlandia Ruth Davidson berpendapat, tak ada alasan untuk kembali menggelar referendum kemerdekaan.

"Saya tak yakin bahwa referendum kemerdekaan kedua akan membantu Skotlandia mencapai stabilitas," kata dia.

Dia menambahkan, 1,6 juta suara dalam referendum 'Brexit' tak bisa lantas menghapuskan 2 juta orang yang memilih tetap bergabung dengan Inggris dua tahun lalu.

Menteri Skotlandia, David Mundell, mengatakan ia akan bertemu pemerintah Skotlandia pada hari Jumat sore untuk memastikan negara bagian itu 'sepenuhnya terlibat' dalam negosiasi seputar penarikan Inggris dari Uni Eropa.

Menanggapi wacana referendum kemerdekaan kedua, ia mengatakan sekarang adalah "waktu untuk tenang dan mengedepankan dialog, bukan saatnya mendorong agenda pribadi atau politik lainnya".

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya