Liputan6.com, Islamabad - 22 Juni 2002 merupakan titik balik dalam kehidupan Mukhtar Mai. Pada hari nahas itu, ia diperkosa oleh empat pria setelah sebelumnya diseret ke rumah seorang anggota klan Mastoi di desa asalnya di Meerwala, Distrik Muzaffargarh, Pakistan.
Penyelidikan yang diperintahkan oleh Gubernur Punjab pada Juli 2002 mengungkapkan, pemerkosaan pertama kali menimpa saudara laki-laki Mai, Abdul Shakoor, yang kala itu berusia 12 tahun. Setelah dinodai oleh tiga pria dari klan Mastoi ia pun diancam untuk tutup mulut.
Namun Shakoor menolak bungkam. Salah seorang pemerkosanya pun menyerangnya dengan tuduhan ia telah melakukan hubungan seksual dengan adik pria itu, Salma. Usia Salma lebih tua enam tahun dari Shakoor.
Advertisement
Seperti dikutip dari The Express Tribune, menanggapi tuduhan tersebut, keluarga Shakoor berusaha menyelesaikannya dengan menikahkan Shakoor dan Salma serta seorang anggota klan Mastoi lainnya dengan klan Mukhtaran. Inisiatif tersebut disetujui Mastoi, namun mendapat penolakan dari kakak laki-laki Salma yang juga merupakan pemerkosa Shakoor.
Belakangan, Mastoi mengumumkan bahwa mereka bersedia menerima permintaan maaf klan Mukhtaran jika Mai datang ke rumah itu dan meminta maaf atas nama sang adik. Hal tersebut dituruti Mai.
Tapi ketika ia datang ke salah satu rumah anggota klan Mastoi, Mai justru diseret ke dalam sebuah ruang, diperkosa empat pria, kemudian diarak keliling desa dalam kondisi telanjang.
Laporan yang saat itu simpang siur pada awalnya menyebutkan bahwa pemerkosaan terhadap Mai diperintahkan oleh Jirga--ulama--sebagai hukuman atas 'kejahatan' sang adik. Namun laporan tersebut segera dikoreksi.
Yang menjadi pemicu masalah ini 'mendunia' adalah khutbah imam, Abdul Razzaq ketika salat Jumat. Sang imam mengatakan ia menentang pemerkosaan tersebut. Tak hanya itu, ia juga memfasilitasi seorang wartawan untuk bertemu dengan keluarga Mai dan membujuk mereka untuk membuat laporan ke polisi.
Kabar terkait tragedi yang menimpa Mai pun menyebar dengan cepat di mana pada saat yang bersamaan pers Pakistan mulai mendapat lebih banyak kebebasan. Hanya dalam beberapa hari saja, kisah Mai mewarnai sejumlah media besar dunia seperti BBC dan Time.
Polisi pun bergerak menangkap 14 tersangka. Dan pada pengadilan tingkat rendah, enam orang dihukum termasuk di antaranya empat pelaku pemerkosaan divonis hukuman mati. Sementara delapan orang lainnya dibebaskan.
Atas peristiwa pilu yang menimpanya, pemerintah memberikan santunan sebesar 500 ribu pakistan rupee. Kelak, uang tersebut dipakai Mai untuk mendirikan sekolah di desanya yang menurutnya dapat membantu mengatasi berbagai ketidakadilan sosial di Meerwala.
Tindakan Mai melaporkan pemerkosaan yang dialaminya disebut sangat berani. Karena satu-satunya solusi bagi korban pemerkosaan di Meerwala adalah bunuh diri untuk menghapus malu sekaligus aib keluarga.
Dengan alasan tersebut tak banyak perempuan korban pemerkosaan yang melapor ke polisi. Bukan hanya karena akan mendapat malu, namun juga tak akan mendapat dukungan dari keluarga atau warga desa.
Gugup Berjalan di Catwalk
Pengalaman kelam yang menimpanya tak mematahkan semangat hidup Mai. Sosok kelahiran 1972 itu pun bertransformasi dari perempuan korban pemerkosaan menjadi seorang 'model'.
Mengenakan shalwar kameez--pakaian tradisional Pakistan--berwarna hijau muda dengan selendang warna senada rancangan Rozina Munib, Mai tampil di atas catwalk dalam ajang Pakistan's Fashion Week, Selasa 1 November waktu setempat.
Pakistan's Fashion Week yang berlangsung di Karachi dihadiri oleh kalangan elite pemerhati mode negara itu. Dan bagi Mai, ajang ini merupakan debutnya. Mai berharap, apa yang dilakukannya dapat menjadi contoh keberanian dan harapan bagi kaum perempuan di negaranya.
"Jika satu langkah saya saja bisa membantu satu perempuan, dengan senang hati saya akan melakukannya," kata Mai.
Meski demikian Mai tak dapat menutupi bahwa ia sedikit gugup berjalan di atas catwalk dan menghadapi kilatan blitz kamera.
Sang desainer, Munib mengatakan, melalui penampilan Mai ia ingin mengirimkan pesan ke publik, "Jika Anda mendapat sebuah kemalangan, itu bukan akhir kehidupan".
Setelah berjalan di atas catwalk, perempuan yang kini berusia 44 tahun itu pun membaur dengan kerumunan orang sembari sesekali meladeni permintaan untuk berfoto.
"Saya ingin menjadi suara dari perempuan-perempuan yang menghadapi situasi mirip dengan apa yang saya alami. Pesan saya untuk mereka adalah kita bukan makhluk lemah. Kita punya hati dan otak, kita pun berpikir. Saya harap saudara-saudara saya tidak kehilangan harapan dalam menghadapi ketidakadilan, sebagaimana keyakinan bahwa kita akan mendapatkannya suatu hari nanti," tegas Mai.
Pakistan's Fashion Week merupakan ajang tahunan yang dimulai sejak 2009. Acara diselenggarakan sebagai upaya menentang fundamentalisme agama dan ketatnya pengaturan terhadap perempuan di negara itu.
Mai sendiri saat ini menjalankan profesinya sebagai advokat internasional untuk hak-hak perempuan di samping ia juga mendirikan sebuah badan amal yang mensponsori tempat penampungan perempuan dan sekolah khusus perempuan di desanya, Meerwala.
Advertisement