Liputan6.com, Dhaka - Mengabaikan seruan dunia internasional, Bangladesh bersikeras menutup perbatasannya kepada warga muslim Rohingya yang melarikan diri dari permukiman mereka di negara bagian Rakhine, Myanmar.
Saat ini memasuki bulan kedua, di mana warga muslim Rohingya berbondong-bondong berusaha menyeberang ke Bangladesh.
Baca Juga
Pekan lalu, PBB mengatakan setidaknya terdapat 30.000 ribu orang dan kebanyakan dari mereka adalah muslim Rohingya telah mengungsi akibat kekerasan yang tak kunjung reda.
Advertisement
Sementara menurut pemantau hak asasi manusia (HAM), setidaknya 80 orang tewas akibat kekerasan di Rakhine.
Badan PBB untuk urusan pengungsi, UNHCR mendesak Myanmar untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan demi melindungi warga sipil.
"Kami juga memohon kepada Pemerintah Bangladesh untuk membuka perbatasannya dengan Myanmar dan memungkinkan warga sipil Myanmar yang melarikan diri dari kekerasan melintas dengan aman," ujar Juru bicara UNHCR, Adrian Edwards di Jenewa seperti dikutip dari Voice of America, Rabu (23/11/2016).
Di lain sisi, pasukan penjaga perbatasan Bangladesh mengatakan, mereka telah diperintahkan agar menghalangi setiap warga Rohingya untuk masuk ke negaranya.
"Dalam waktu enam pekan terakhir kami telah memukul mundur puluhan warga Rohingya yang menumpangi perahu sebelum mereka berhasil mencapai wilayah Bangladesh. Kami mencegat dua atau tiga perahu setiap harinya. Mereka semua dipulangkan kembali ke Myanmar," ujar Komandan pasukan Penjaga Perbatasan Bangladesh (BGB), Letnan Kolonel Abuzar Al-Zahid.
Namun beberapa warga lokal di kota yang terdapat di Kota Teknaf mengatakan, mereka melihat ratusan warga Rohingya berhasil menyelinap melintasi perbatasan.
Pelanggaran HAM
Penyerangan tiga pos perbatasan Myanmar oleh kelompok bersenjata pada 9 Oktober lalu menjadi pemicu diberlakukannya operasi militer di utara Rakhine. Sejak berabad-abad silam, wilayah itu telah menjadi rumah bagi warga muslim Rohingya.
Militer menuding kelompok militan Rohingya mendalangi penyerangan tersebut. Lantas, selama operasi militer berlangsung, tentara dituduh melakukan pelanggaran HAM berupa pemerkosaan, pembakaran rumah-rumah warga, serta pembunuhan.
Bahkan dalam menjalankan aksinya, militer Myanmar disebut-sebut menggunakan helikopter tempur. Sebagian kelompok pemantau HAM menyebut korban tewas akibat operasi militer mencapai 150 hingga 300 jiwa.
Sementara itu, kelompok Human Right Watch (HRW) yang berbasis di Amerika Serikat (AS) merilis foto satelit. Foto tersebut menunjukkan hancurnya kurang lebih 1.250 rumah atau bangunan di Rakhine. Lagi-lagi informasi ini tak dapat dikonfirmasi mengingat relawan dan wartawan tidak diberikan akses masuk ke wilayah tersebut.
Pemandu wisata di Teknaf, Foizullah mengaku, ia melihat api dan asap di kawasan permukiman Rohingya di Maungdaw, di seberang Sungai Naf.
"Kami bicara dengan beberapa warga Rohingya yang datang dari seberang sungai dan mereka mengatakan bahwa terjadi pembakaran rumah setiap hari yang dilakukan oleh pasukan militer," jelas Foizullah.
Menteri Dalam Negeri Bangladesh, Asaduzzaman Khan Kamal mengatakan, bahwa kekerasan di Myanmar telah memicu "ketidaknyamanan" di negaranya.
"Namun bagaimana pun BGB, penjaga pantai, dan polisi siap menggagalkan setiap upaya infiltrasi warga Rohingya asal Myanmar," ujar Kamal.
Penolakan Bangladesh untuk membuka perbatasannya dan mengizinkan warga Rohingya masuk memicu kritik dari berbagai kelompok pemantau HAM.
Lambannya Respons Internasional
C. R. Abrar, Presiden Odhikar, kelompok pemantau HAM di Dhaka mengatakan, jika Bangladesh menjalankan konstitusi maka tak ada alasan untuk menutup perbatasan bagi warga Rohingya.
"Masyarakat internasional lamban dalam mengambil tindakan untuk menangani isu Rohingya. Dengan tidak adanya tekanan komunitas global di Myanmar, situasi bagi kaum Rohingya semakin memburuk," ungkap Abrar.
Sementara itu, Phil Robertson, Wakil Direktur Asia dari HRW menegaskan, para pengungsi Rohingya menghadapi kekurangan bantuan pangan dan lainnya menyusul blokade oleh otoritas Myanmar.
"Pemerintah Bangladesh harus mengakui urgensi kemanusiaan ini dan mengizinkan Rohingya melewati perbatasan demi menyelamatkan diri. Warga miskin tersebut tidak memiliki tujuan, mereka berada di antara 'setan' dan samudra, Bangladesh adalah satu-satunya jalan keluar," jelas Robertson.
Mark Farmaner, Direktur Burma Campaign UK, mengatakan melalui penolakan untuk membuka perbatasan, maka Bangladesh secara tidak langsung "menghukum mati" warga Rohingya.
"Mereka melarikan diri karena terjadi pelanggaran hukum internasional dan Bangladesh memiliki kewajiban untuk menolong. Masyarakat global harus menekan Bangladesh untuk membuka perbatasannya dan menerima bantuan internasional yang ditawarkan demi disalurkan kepada warga Rohingya," tutur Farmaner.