Liputan6.com, New York - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyorot kejadian di negara bagian Rakhine, Myanmar. Di wilayah tersebut militer negara tersebut melakukan pembunuhan terhadap etnis Muslim Rohingya.
Menurut salah seorang Pejabat Senior dari Badan Pengungsi PBB (UNHCR), John McKissick, otoritas Myanmar telah melalukan kejahatan.
"Myanmar sedang mencari cara melakukan pembersihan etnis Muslim Rohingya dari wilayah itu," sebut McKissick, seperti dikutip dari BBC, Jumat (25/11/2016).
Advertisement
"Militer melakukan pembunuhan warga Rohingya di Rakhine, mereka memaksa mereka keluar ke negara tetangganya, Bangladesh," kata dia.
Dia menambahkan, dalam upaya pembersihan etnis, militer Myanmar dibantu polisi penjaga perbatasan.
Baca Juga
"Aparat keamanan telah membunuh dan menembaki serta membantai anak-anak, memperkosa perempuan, membakar rumah, dan mengusir mereka secara paksa untuk melewati sebuah sungai (untuk menyeberang ke Bangladesh)," jelas dia.
Apa yang dilakukan Myanmar pun berimbas pada Bangladesh. Pasalnya, negara tersebut harus berpikir ulang untuk menampung warga Rohingya di negaranya.
"Sulit bagi pemerintah Bangladesh untuk terus membuka perbatasannya. Jika terus dilakukan, ini akan mendorong pemerintah Myanmar melakukan penyiksaan serta mengusir etnis Rohingya. Dengan begitu, tujuan mereka melakukan pembersihan etnis bisa terwujud," paparnya.
Pernyataan McKissick ditanggapi oleh pemerintah Myanmar. Juru Bicara Kepresidenan mereka, Zaw Htay, menegaskan tak pantas tuduhan macam itu keluar dari mulut pejabat PBB.
"Dia harus memelihara profesionalismenya dan etika sebagai pejabat PBB karena semua komentarnya cuma berdasar tuduhan," tutur dia.
"Seharusnya dia berbicara didasari bukti yang kuat dan konkret yang ada di lapangan," ucap Zaw Htay.
Peristiwa berdarah di Rakhine bermula pada 2012. Kala itu, bentrok berdarah di antara aparat keamanan dan etnis minoritas Rohingya menewaskan lebih 200 orang,
Setelah itu, terjadi penyerangan ke tiga pos perbatasan pada 9 Oktober 2016 yang memicu dilaksanakannya operasi militer di Rakhine, tepatnya di wilayah yang menjadi permukiman warga muslim Rohingya.
Versi otoritas setempat, kebijakan ini merupakan langkah pembersihan terhadap segelintir orang yang mereka sebut sebagai kelompok militan dari kalangan Rohingya.
Rohingya disebut telah berdiam di Rakhine sejak abad ke-7, sebagian lainnya menyebut sejak abad ke-16. Nenek moyang Rohingya merupakan campuran dari Arab, Turki, Persia, Afghanistan, Bengali, dan Indi-Mongoloid.
Populasi mereka di Rakhine mencapai lebih dari 1 juta jiwa. Sebagian besar hidup di Kota Maungdaw dan Buthidaung di mana di sana mereka adalah mayoritas.
Pemerintah Myanmar mengklaim bahwa Rohingya tidak memenuhi syarat untuk mendapat kewarganegaraan di bawah UU Kewarganegaraan yang disusun militer pada 1982. Dokumen tersebut mendefinisikan bahwa warga negara adalah kelompok etnis yang secara permanen telah menetap dalam batas-batas modern Myanmar sebelum tahun 1823. Itu adalah tahun sebelum perang pertama antara Inggris-Myanmar.
Pemerintahan Jenderal Ne Win memasukkan 135 kelompok etnis yang telah memenuhi persyaratan. Daftar inilah yang masih digunakan pemerintah sipil Myanmar hingga saat ini.