Liputan6.com, Jakarta Ilmuwan memecahkan misteri tentang bencana aneh yang pernah melanda Boston, Amerika Serikat: 'The Great Molasses Flood of 1919'.
Kala itu, pada 15 Januari 1919 sebuah sekitar pukul 12.30 waktu setempat, orang-orang merasakan tanah yang mereka pijak bergetar hebat.
Baca Juga
Gemuruh panjang terdengar keras, mirip bunyi kereta yang melaju kencang. Sejurus kemudian, giliran ledakan memekakkan telinga, diikuti suara mirip rentetan peluru yang dimuntahkan dari senapan otomatis.
Advertisement
Itu bukan gempa. Tak ada yang paham apa sesungguhnya yang terjadi, hingga banjir bandang melanda. Bukan air, tapi sirup gula berwarna gelap.
Ternyata, tanki penyimpanan sirup gula molase di fasilitas pabrik Purity Distilling Company -- di kawasan North End di Boston, Massachusetts, Amerika Serikat -- meledak dan tumpah.
Tangki itu berukuran tinggi 15 meter dan berdiameter 27 meter, berisi 8.700 meter kubik sirup.
Akibatnya tak terbayangkan. Sirup mengalir bak banjir bandang, bahkan tsunami, dengan kecepatan 56 km/jam ke jalanan. Menerjang bangunan, rel yang sedang dibuat, kereta-kereta kuda, juga manusia yang dilewatinya. Sebanyak 21 orang tewas, 150 lainnya luka-luka.
 "Sirup gula setinggi pinggang tumpah ke jalanan, membentuk pusaran dan gelembung di antara puing-puing. Mereka yang terjebak -- manusia maupun hewan -- hanya bisa meronta-ronta tak berdaya. Kondisi mereka tak bisa diwakili oleh kata-kata," demikian ditulis Stephen Puleo, pengarang buku Dark Tide: The Great Boston Molasses Flood of 1919.
"Pria dan wanita, kaki mereka terjebak cairan lengket, terpeleset, jatuh, dan sesak napas tersedak sirup itu," demikian dilaporkan Boston Globe. "Yang kuat menolong sesamanya yang lain. Dan banyak dari mereka justru tewas karenanya."
Proses evakuasi berlangsung sulit dan lama. Tak mudah untuk mengevakuasi korban dari cairan lengket itu. Para petugas yang dibantu tentara lelah bukan main. Sementara, ratusan dokter dikerahkan merawat yang terluka
Korban yang tak berhasil diselamatkan terlapis gula yang kian mengeras. Jasad mereka tak bisa dikenali.
Pertanyaan yang sejak dulu terbesit adalah, apa yang sebenarnya yang membuat peristiwa itu memicu maut?
Faktor Pemicu 'Maut'
Para peneliti dari Harvard University mengumumkan bahwa mereka telah menguak misteri mengapa gelombang sirup lengket itu merenggut banyak nyawa.
Ini jawabannya: udara di musim dingin tersebut secara cepat mendinginkan molase yang mengalir di jalanan. Kian membikin sulit para penyelamat yang berusaha mengevakuasi korban di tengah kepanikan.
Tim ahli yang meneliti bencana tersebut, yang memiliki pemahaman lebih baik tentang dinamika fluida, menyimpulkan bahwa suhu dingin dengan cepat mengeraskan cairan lengket itu. Korban jiwa mungkin lebih sedikit jika insiden itu terjadi pada musim semi, panas, atau gugur.
Ketua tim peneliti Nicole Sharp mengatakan, temuan mereka -- yang dipresentasikan pekan lalu di konferensi American Physical Society -- akan memberikan pencerahan terkait fisika dari sebuah peristiwa sejarah yang menarik sekaligus surealis.
"Saya berasal dari Arkansasa, di mana ada ungkapan lama 'slow as molasses in January' (selambat molase di bulan Januari). Anehnya, itulah yang terjadi, meski molase kala itu sama sekali tak lambat," kata Sharp seperti dikutip dari Boston Herald, Jumat (25/11/2016).
Para peneliti menyisir ratusan halaman catatan sejarah. Mereka juga mempelajari peta tua yang berusia seabad, serta arsip data meteorologi dari National Weather Service.
Â
Sementara, sarjana lulusan Harvard, Jordan Kennedy menganalisis sifat dari sirup gula molase dan bagaimana cairan lengket itu mengalir pada temperatur yang berbeda.
Tim akhirnya menemukan bahwa molase mengental secara dramatis ketika terkena udara dingin.
Pada saat pecah, temperatur dalam tangki penyimpanan kemungkinan itu jauh lebih hangat daripada udara musim dingin di luar.
Apalagi, dua hari sebelum bencana, bagian atas tangki ditambahkan molase kiriman baru dari Karibia yang masih 'hangat'.
Saat tangki pecah dan molase menyembur, cairan itu didinginkan dengan cepat. "Kian membuat rumit upaya untuk menyelamatkan korban," kata tim dalam laporannya.
Sharp mengatakan, pemetaan fisika dari banjir molase bisa membantu para ahli lebih memahami bencana serupa lain seperti tumpahan industri atau tanggul yang pecah.
Atau, setidaknya, ia dan timnya berharap itu akan menarik minat siswa untuk mempelajari fisika.
Â