Pembunuhan Dubes Rusia di Turki Bisa Picu Perang Dunia III?

Sejumlah pihak melihat ada kemiripan antara pemicu Perang Dunia I dengan kasus penembakan Dubes Rusia untuk Turki.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 20 Des 2016, 14:24 WIB
Diterbitkan 20 Des 2016, 14:24 WIB
20161219-Penembakan Dubes Rusia di Turki-Ankara
Dubes Rusia untuk Turki, Andrei Karlov tergeletak di lantai usai ditembak oleh seorang pria (kanan) di galeri seni di Ankara, Senin (19/12). Dubes Rusia ditembak dari belakang saat membuka pameran fotografi. (Depo Photos/Sozcu Newspaper via REUTERS)

Liputan6.com, Ankara - Pembunuhan Duta Besar Rusia untuk Turki, Andrey Karlov disebut-sebut memiliki sejumlah kemiripan dengan pembunuhan Franz Ferdinand von Habsburg, pewaris takhta kekaisaran Austria-Hungaria. Kematian Ferdinand diklaim sebagai salah satu pemicu lahirnya Perang Dunia I.

Ferdinand tewas di Sarajevo pada tanggal 28 Juni 1914. Penembaknya adalah Gavrilo Princip, seorang anggota 'Black Hand', kelompok yang berharap menyatukan negara-negara Yugoslavia di bawah satu pemerintahan.

Kematian Ferdinand dengan cepat memicu krisis diplomatik. Karena belitan aliansi, satu bulan pasca-penembakan, konflik menyebar ke penjuru dunia.

Setelah Austria-Hungaria menyatakan perang terhadap Serbia, Jerman pun melibatkan diri.

Dari sisi Serbia, perang ikut menyeret Triple Entente yang terdiri dari Rusia, Prancis, dan Inggris. Perang Dunia I yang menewaskan 16 juta orang termasuk di antaranya 7 juta warga sipil pun meletus.

Sementara itu, Dubes Karlov ditembak mati oleh Mevlut Mert Altintas ketika tengah menghadiri pembukaan sebuah pameran foto di Ankara, Turki.

Salah satu kemiripan yang mencolok adalah soal pelaku penembakan. Baik Princip mau pun Altintas sama-sama masih berusia muda. Princip disebut berumur 19 tahun saat menjalankan aksinya, sementara Altintas 22 tahun.

Kedua pemuda ini, sama-sama menunjukkan diri sebagai pembunuh profesional. Princip disebut menembak Ferdinand dari jarak dekat dan upayanya ini bukan yang pertama karena sebelumnya, kelompok 'Black Hand' sudah berusaha melempar granat tangan ke iring-iringan Ferdinand, namun gagal.

Pada kasus penembakan Karlov, seorang saksi mata mengatakan, Altintas melepaskan tembakan bak seorang pembunuh berdarah dingin. Ia begitu tenang.

"Dia (Altintas) mengatakan tidak akan meninggalkan tempat ini hidup-hidup," ujar saksi tersebut kepada televisi CNNTurk seperti dikutip dari Express.co.uk, Selasa (20/12/2016).

Princip tercatat sebagai salah satu dari tujuh anggota komplotan militer Serbia yang dipimpin oleh Kepala Intelijen Militer Serbia, Dragutin Dimitrijeviv. Pemuda itu dilatih mengoperasikan bom dan senjata oleh Vojislav Tankosic, tangan kanan Dimitrijeviv.

Menurut Express.co.uk, terdapat laporan yang menunjukkan bahwa Altintas kemungkinan didukung oleh gerakan anti rezim-Suriah. Meski kabar terkait ini belum dikonfirmasi.

Hal lain yang juga mirip dalam kasus keduanya adalah sama seperti Karlov, jelang kematiannya, Ferdinand juga mengunjungi sebuah acara kesenian. Ia bersama sang istri, Sophie diketahui pergi ke Sarajevo untuk menghadiri pembukaan museum negara.

Pasangan ini diketahui menumpangi sebuah mobil atap terbuka sebelum akhirnya di sebuah persimpangan jalan Princip melepas dua tembakan fatal. Satu peluru menghantam Ferdinand sementara satunya lagi mengenai Sophie.

"Saya seorang nasionalis Yugoslavia, bertujuan untuk menyatukan seluruh Yugoslavia, dan aku tidak peduli apa pun bentuk negaranya, namun apa pun itu harus dibebaskan dari Austria," kata Princip selama persidangan seperti dikutip dari Heavy.

Archduke Franz Ferdinand

Princip dijatuhi hukuman 20 tahun penjara, namun ia menderita TBC saat berada di penjara dan dilaporkan meninggal dunia pada usia 23 tahun. Ia meninggal pada April 1918, beberapa bulan sebelum Perang Dunia I berakhir, yakni pada 11 November 1918.

Ada pun Karlov ditembak delapan kali saat memberikan sambutan dalam pembukaan pameran foto bertajuk "Rusia dari Pandangan Orang-Orang Turki" di Gedung Cagdas Senat Merkezi, Ankara, pada Senin 19 Desember 2016 waktu setempat.

Diprediksi Picu Perang Dunia III

Presiden Vladimir Putin sendiri telah bereaksi atas penembakan Karlov. Ia mengatakan bahwa peristiwa tersebut adalah upaya provokasi.

"Pembunuhan tersebut jelas merupakan provokasi yang bertujuan merusak perbaikan dan normalisasi hubungan Rusia dan Turki, serta merusak proses perdamaian di Suriah yang didukung Rusia, Turki, Iran, dan negara-negara lain yang berniat menyelesaikan konflik di sana," kata Putin dalam pernyataannya, seperti dikutip dari situs Russian Today.

Putin menambahkan, satu-satunya respons yang akan diambil pihak Moskow adalah meningkatkan perlawanan terhadap terorisme. Namun seorang analis yang memiliki kedekatan dengan Kremlin justru mengungkap hal berbeda.

"Perang Dunia I diawali dengan sebuah tembakan. Dan tembakan terhadap Dubes Rusia adalah sebuah deklarasi perang," kata dia.

Turki adalah salah satu anggota kunci NATO, sebuah pakta pertahanan yang merupakan musuh Rusia. Belakangan Negeri Beruang Merah murka dengan ekspansi yang dilakukan NATO di negara-negara Baltik.

Menanggapi ekspansi NATO, pada bulan lalu, Rusia dikabarkan telah memindahkan rudal berkemampuan nuklirnya agar lebih dekat ke Eropa. Moskow menempatkan sistem rudal S-400 dan Iskander di Kaliningrad, sebuah kantong Rusia yang terletak di antara Lithuania dan Polandia. Senjata-senjata itu disebut mampu menjangkau Berlin.

Pasal lima dari perjanjian NATO menyebutkan bahwa jika serangan terjadi terhadap salah satu negara anggota, maka itu akan dianggap sebagai serangan terhadap seluruh negara anggota. Dan anggota lainnya akan membantu melakukan serangan balasan bahkan dengan angkatan bersenjata jika dibutuhkan.

Hubungan Turki dan Rusia belum sepenuhnya pulih pasca ditembak jatuhnya jet tempur Moskow di perbatasan Turki-Suriah pada November tahun lalu. Presiden Vladimir Putin mungkin melihat momen ini sebagai kesempatan nyata untuk menguji NATO.

Kematian Karlov ditengarai akan membawa situasi yang sama layaknya pasca-penembakan Ferdinand, pengumuman perang terhadap negara lain. Dan itu akan menimbulkan efek domino, melibatkan sejumlah kekuatan besar dunia.

Sejauh ini Rusia dan Turki tak hanya terlibat ketegangan bilateral, namun juga perseteruan yang lebih luas. Dalam kasus Suriah, Negeri Beruang Merah mendukung rezim Bashar al-Assad sementara Turki mengutuknya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya