The Economist: Kasus Ahok Ujian bagi Toleransi di Indonesia

Indonesia adalah negara demokrasi dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Terkenal dengan toleransi yang kini diuji dalam kasus Ahok.

oleh Arie Mega Prastiwi diperbarui 22 Des 2016, 12:58 WIB
Diterbitkan 22 Des 2016, 12:58 WIB
20161220-Sidang Lanjutan Ahok di PN Jakut-Jakarta
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjalani sidang lanjutan kasus dugaan penistaan agama di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara, Selasa (20/12). Agenda sidang adalah tanggapan dari jaksa penuntut umum atas nota keberatan Ahok (Liputan6.com/Pool/Agung Rajasa)

Liputan6.com, Jakarta - Warga DKI Jakarta berharap banyak ketika memilih Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sebagai wakil gubernur pada tahun 2012 silam. 

Ahok dan pasangannya, Joko Widodo atau Jokowi, berjanji mewujudkan program yang menjawab permasalahan nyata kaum urban, mulai menangani macet hingga mengatasi banjir yang kerap merendam Ibu Kota. 

Dengan terpilihnya Ahok, Indonesia--yang mayoritas penduduknya adalah muslim--pun mendapat predikat baru, yaitu sebagai negara yang toleran. Sesuai dengan semboyannya: Bhinneka Tunggal Ika

Sebab, Ahok adalah keturunan Tionghoa dan beragama Kristen. Sebuah kombinasi langka dalam percaturan politik Indonesia.

Setelah Jokowi memutuskan untuk berlaga dalam Pemilu 2014 dan memenangkan jabatan presiden, Ahok kemudian diangkat jadi gubernur. Ia adalah umat Kristiani kedua yang jadi pemimpin DKI Jakarta setelah Henk Ngantung (1964–1965).

Namun, belakangan tiba-tiba toleransi itu dipertanyakan.

Dikutip dari The Economist, pada Kamis (22/12/2016), tiga bulan lalu, Ahok masih diprediksi menang mudah dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta Februari 2017 mendatang. 

Belakangan, unjuk rasa besar-besaran digelar memprotes Ahok karena komentarnya di hadapan warga di Pulau Seribu beberapa lalu waktu.

Karena protes itulah, Ahok kini duduk di kursi pesakitan karena kasus penistaan agama.

"Ahok disebut arogan, tak sabar dan kerap kali mengucapkan kata kasar yang menyinggung perasaan orang 'Jawa'. Namun, bagi sebagian warga Jakarta, pemerintahannya dianggap efektif dan mampu menyelesaikan masalah antara lain, mampu menguraikan kemacetan, mengurangi banjir, hingga mempermudah fasilitas kesehatan," tulis The Economist dalam artikelnya, The persecution of a Christian mayor in Indonesia.

Kemelut berawal dari September 2016 lalu. Di depan para nelayan, Ahok mengatakan, banyak warga DKI Jakarta yang muslim tidak memilihnya, 'karena mereka dibohongi oleh mereka yang mengklaim bahwa Alquran melarang muslim memilih pemimpin kafir'.

Video pernyataan Ahok, yang didedit dari versi sebenarnya, kemudian beredar luas.

Sebagian muslim pun menuduh Ahok menghina kitab suci. Dan mereka pun menggelar aksi pada 4 November yang diikuti sekitar 200.000 orang--yang awalnya damai namun berakhir rusuh.

Massa kembali menggelar aksi pada 2 Desember. Diklaim, dua kali lebih besar dari sebelumnya. 

"Unjuk rasa itu berakhir damai setelah Jokowi memutuskan untuk ikut salat Jumat bersama massa dan naik panggung mengucapkan terima kasih," lanjut The Economist.

Kemudian, tuntutan para pendemo dikabulkan. Ahok diperkarakan, disidangkan di pengadilan, dan menghadapi kemungkinan dipenjara. 

Hal tersebut, menurut The Economist, sangat disesalkan. Ahok dalam posisi terjepit. Kalaupun benar Ahok bersalah melakukan tindak kriminal, secara hukum, sangat sulit menentukan siapa korbannya.

"Jokowi sempat dituduh enggan melihat mantan koleganya dituntut, tapi belakangan ia membalik anggapan itu. Polisi pun sempat terbelah, melanjutkan penuntutan atau tidak," kata The Economist.

Namun, yang jelas, organisasi muslim terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama menolak terlibat dalam demo Ahok. Sementara, pemimpin organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia (Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir) menyebut, lebih mudah mengajak orang berdemo dibanding ke perpustakaan.

Demonstrasi, menurut The Economist, lebih banyak menampilkan wajah FPI.

Perang Proxy Pilpres 2019?

Kendati ribut-ribut soal Ahok, bukan berarti Indonesia kini menghadapi persoalan kekerasan atas nama agama.

Contohnya, meskipun ISIS dianggap telah masuk ke basis-basis organisasi massa, tapi kelompok teroris itu dan metodenya kerap kali dikecam -- bahkan oleh FPI sendiri.

Memang, ada keinginan kelompok garis keras untuk mengubah Indonesia menjadi negara Islam dan menerapkan hukum Islam, serta menekan hak minoritas.

Namun, itu semua ditentang oleh sebagian besar organisasi Islam di Indonesia, dan juga oleh orang-orang yang datang ke demo Ahok.

"Banyak orang yang datang ke demo 212 bangga dengan aksi yang mereka gelar. Juga penduduk Pasar Ikan, mereka datang bukan karena Ahok (keturunan) China, juga bukan karena Ahok melakukan penistaan. Warga Pasar Ikan datang karena cara Ahok memperlakukan mereka (menggusur)," tulis The Economist.

Imam Besar FPI Habib Riezieq Shihab menaiki mobil komando meninggalkan Kawasan Monas, Jakarta, Jumat (2/12). Habib Riezieq bersama peserta aksi damai 2 Desember mulai meninggalkan lokasi setelah melaksanakan salat Jumat. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Namun, karena dua alasan, implikasi dari kasus Ahok ini akan berlangsung lama.

Pertama, meski para lawan Ahok dalam Pilgub DKI menolak mengakui, mereka menikmati keuntungan dari persidangan yang sedang berlangsung untuk meraup suara.

Dan, pertarungan pilkada Gubernur ini bak 'perang proxy' bagi kampanye presiden 2019 berikutnya.

"Sekarang popularitas Jokowi setinggi langit, satu-satunya cara untuk menjatuhkannya adalah mengkaitkan dengan mantan wakilnya itu," lanjut analisis The Economist.

Percaturan pertarungan kursi gubernur DKI juga ikut berubah pada bulan September.

Saat itu, Agus Harimurti Yudhoyono mundur dari TNI untuk terjun ke politik. Ia mengajukan diri sebagai lawan Ahok untuk meraih kursi nomor satu di DKI.

Lulusan Harvard berusia 38 tahun itu, tak lain tak bukan adalah anak pertama dari Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono.

"Keluarganya memiliki banyak pengaruh secara nasional," tambah The Economist.

Bagi sebagian orang, persidangan Ahok ini merupakan pukulan bagi kelompok minoritas di Indonesia termasuk Ahmadiyah, Kristen, dan kelompok LGBT.

Dan, yang paling mengerikan adalah membayangkan risiko pertumpahan darah seperti dua dekade lalu (Krisis 1997) -- yang kian menguat.

"Dengan demikian, Indonesia harus berhati-hati menjaga reputasi toleransi mereka yang telah susah payah dibangun..." tutup analisis The Economist.

*) Artikel ini diterjemahkan sebagian dari opini The Economist, 'The persecution of a Christian mayor in Indonesia' yang juga akan diterbitkan di edisi cetak media tersebut di bagian Asia dengan judul 'The Politics of taking offence' yang akan terbit pada 24 Desember 2016.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya