Donald Trump Mirip Adolf Hitler?

"Saya sendirilah yang dapat menyelamatkan Amerika dan menyelamatkan dunia."

oleh Alexander Lumbantobing diperbarui 30 Jan 2017, 18:00 WIB
Diterbitkan 30 Jan 2017, 18:00 WIB
Hitler - Trump
(Sumber New York Post dan New York Daily News)

Liputan6.com, Washington DC - Melihat beberapa perintah eksekutif yang ditetapkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, sejumlah pihak mencoba membandingkannya dengan kebijakan Adolf Hitler, diktator Nazi Jerman.

Ternyata, dugaan kemiripan dua tokoh tersebut bukan baru saja dipikirkan. Seorang penulis buku, Peter Ross Range, seperti dikutip Sydney Morning Herald, pada Senin (30/1/2017), pernah mencoba menelisik kemiripan tersebut. Ia menuliskan kemiripan tersebut di sebuah media terkemuka Amerika, Washington Post. 

Paparan Peter Ross Range dalam Washington Post tersebut tidak bisa diabaikan. Range adalah penulis buku "1924: The Year That Made Hitler."

Ia memulai dengan pengamatan saat Donald Trump menjawab pencalonannya sebagai calon presiden dari Partai Republik. Trump mengatakan: "Saya sendirilah yang dapat menyelamatkan Amerika dan menyelamatkan dunia."

Dalam dunia politik modern, jarang ada kandidat yang berani dengan lantang mengaku sebagai kebenaran dengan terang.

Ternyata, dalam sejarah, ada yang pernah melakukan hal tersebut. Ia adalah Adolf Hitler.

Perbandingan memang tidak serta-merta mempersamakan, karena Hitler sungguh keji dan Trump bukanlah pembunuh massal. Trump bukan seorang Nazi dan tidak memulai perang.

Namun, bagi orang yang menyimak kebangkitan mengerikan Hitler kepada kekuasaan di Jerman, maka pidato, wawancara, dan cara berpikir Trump terlihat terang-benderang.

Kemiripan terutama terlihat dari klaim Trump bahwa dia "sendiri" yang dapat menyelamatkan Amerika dari penderitaan. Hitler dikenal memuja suatu model “manusia jenius dan hebat” yang memegang kunci masa depan bangsanya.

Hitler menyebut demokrasi sebagai "guyonan" dan gencar mencela kelompok yang disebutnya "mayoritas yang lembek."

Dalam buku Mein Kampf, ia menuliskan bahwa kemajuan dan peradaban diraih melalui "kecerdasan dan energi dari suatu kepribadian yang kuat," termasuk pribadi seperti Frederick Agung dari Rusia, Napoleon Bonaparte, Otto von Bismarck, dan, secara tidak langsung, dirinya sendiri.

Hitler mendukung gagasan "pimpinan Fuhrer", suatu pandangan ketidakbersalahan seorang pemimpin. Hal itu merupakan versi rumit dari prinsip "saya sendirilah". Dengan pandangan itu, Hitler kemudian meraih kekuasaan di Jerman dan memerintah sebagai despot mutlak.

Analogi dengan Trump adalah "percayai saya" yang menjurus ke saat "saya sendirilah" saat konvensi Partai Republik. Ajakannya adalah untuk percaya kepadanya untuk memecahkan masalah dan menerapkan program ambisius semisal urusan 11 juta imigran gelap. Katanya kepada para reporter di Michigan, "Harus ada rasa percaya."

Terkait terorisme, mengutip salah satu bukunya, Trump menjelaskan bahwa kemampuan unik untuk merasakan terorisme muncul saat orang lain tidak melihatnya, "Saya meramalkan terorisme karena saya dapat merasakannya."

Klaim Trump tentang kekuasaan tunggal terasa dalam wawancara dengan Time sebelum konvensi. Ia menuduh Jerman, Jepang, dan Korea Selatan mempermainkan Amerika Serikat soal urusan biaya pertahanan dan menambahkan bahwa negara-negara itu harus membayar.

Berkelit dari seruan untuk lebih spesifik tentang kemampuan hebat juga menjadi teknik yang dipakai oleh Hitler. Ia semakin mencengkeram pergerakan Nazi pada 1920-an hingga "gagasan" menjadi identik dengan orangnya. Gagasan yang dimaksud adalah nasionalisme sosialisme. Trump juga menyebutkan sepak terjangnya sebagai pergerakan walaupun itu sebenarnya upaya satu orang (one-man show).

Dalam dunia bisnis, Trump menulis memoir "The Art of the Deal" terbitan 1987 bahwa "semua orang di bawah seorang tokoh puncak hanyalah sekadar karyawan." Hal itu dapat terlihat dalam pergerakan politik dan dalam pemerintahannya juga.

Satu-satunya Penyelamat

Hitler memandang dirinya sebagai satu-satunya yang mencegah kiamat dan meraih kehebatan bangsa. Bagi Hitler, tidak ada yang setengah-setengah antara "keruntuhan total" yang mengancam Jerman di tangan konspirasi Yahudi-Bolshevik dengan visinya mengembalikan kejayaan Jerman.

Demikian juga dengan Donald Trump yang mengaku menghindari bencana Amerika melalui pemilihan dirinya, yang kemudian mengarah kepada kehebatan.

Trump bicara seakan dirinya sedang berada di puncak gunung dan mengatakan, "Sayalah suara bagimu." Hitler berada di 'puncak gunung' itu bahkan dalam paragraf pertama Mein Kampf.

Ia menyebut istilah "takdir" guna menjelaskan momen dan tempat kelahirannya. Takdir berulang kali disebutkan dalam bukunya dan menjadi istilahnya untuk menyebut Tuhan. Sementara itu, "kepribadian" merupakan permisalannya untuk ciri-ciri penanda manusia hebat.

Hitler menuliskan, "Kepribadian tidak dapat digantikan. Ia tidak bisa dilatih secara mekanis, tapi muncul karena anugerah Tuhan."

Itulah inti dari kompleks mesianik dan pilar utama mitos sang Fuhrer, yaitu bahwa Hitler terlahir dengan keajaiban itu. Melalui pergeseran menuju kenyataan gaib anugerah Tuhan, mudah bagi Hitler mengajak orang membuang skeptisisme, mengesampingkan tuntutan akan solusi sesungguhnya, dan dalih bagi semua kekasaran yang mereka lihat dalam seorang pemimpin.

Demikian juga dengan Hitler. Ia menawarkan kepada mereka yang masih ragu bahwa mereka bisa membuang rasa tidak percaya karena, "saya sendirilah yang bisa memperbaikinya."

Cara itu berhasil bagi Hitler. Ketika Depresi Besar menerpa pada akhir 1929, cara yang dipakainya mulai menarik suara pemilih kepada Nazi sehingga partai itu menjadi kedua terbesar dalam Parlemen saat pemilu 1930. Pada 1932, raupan suara mencapai 37,4 persen dan Nazi menjadi partai terbesar di Jerman. Pada Januari 1933, mereka menjadi penguasa.

Tentu saja tidak ada orang yang bisa mengatakan bahwa Januari 2017 merupakan perulangan Januari 1933. Tapi hal itu menjelaskan kalimat sakti "Saya sendirilah" seperti pendahulunya dalam sejarah.

Trump sendiri acuh terhadap sejarah. Melalui wawancara dengan New York Times, ia mengaku tidak mengetahui bahwa slogan "America First" dulunya dipakai oleh pergerakan isolasionis yang menarik simpatisan Nazi pada 1930 and awal 1940-an.

Trump boleh saja tidak mengetahui apa pun tentang teknik-teknik yang dipakai Hitler, tapi nalurinya sangat menjurus ke sana. Sebagaimana halnya pada 1930-an, para pemilih diundang memasuki dunia khayal dan mereka yang penasaran bergegas memasukinya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya