Liputan6.com, Washington DC- Perintah eksekutif (executive order) Presiden Amerika Serikat Donald Trump terkait imigrasi dan pengungsi memicu kekacauan, kebingungan, juga gelombang protes.
Di tengah situasi tersebut, sejumlah sumber kepada CNN mengatakan, direktur kebijakan Gedung Putih, Stephen Miller mengadakan pertemuan dengan sejumlah pejabat dari Departemen Luar Negeri, Patroli Bea Cukai dan Perbatasan (Customs and Border Patrol), dan Departemen Keamanan Dalam Negeri, serta lembaga lainnya.
Kepada para pejabat, ia mengatakan bahwa Donald Trump sangat berkomitmen terhadap perintah eksekutif yang dikeluarkannya. Miller juga meminta pejabat untuk tak terdistraksi dengan apa yang ia deskripsikan sebagai 'suara-suara histeria' di televisi.
Advertisement
Miller juga menyebut, pada hari Sabtu, pejabat pemerintahan Trump membahas kemungkinan meminta pengunjung asing untuk mengungkapkan semua situs web dan situs media sosial yang mereka kunjungi.
Tak sampai di situ, mereka juga diminta mengungkap daftar kontak yang disimpan di ponsel mereka.
Jika pengunjung asing menolak memberikan informasi tersebut, ia bisa saja ditolak masuk Amerika Serikat.
Sejumlah sumber mengatakan bahwa hal itu masih dalam tahapan diskusi awal -- belum akan dilaksanakan.
Postingan media sosial yang berisi ajakan 'jihad' oleh pelaku serangan teror San Bernardino Tashfeen Malik -- yang dibuat dengan nama samaran dan pengaturan privasi yang ketat -- adalah bagian dari diskusi tersebut.
Namun, bagaimana kebijakan tersebut akan diimplementasikan juga masih didiskusikan, demikian seperti dikutip dari CNN, Minggu (29/1/2017).
Masih menurut sumber, Miller memuji langkah Departemen Luar Negeri pada Sabtu 28 Januari 2017, namun ia menambahkan pemerintah masih harus bekerja lebih baik untuk memastikan mereka yang masuk ke AS menganut nilai-nilai yang dimiliki AS.
Juru bicara Gedung Putih, Sean Spicer belum merespons permintaan konfirmasi CNN.
Meski masih wacana, pemeriksaan terhadap akun sosial media para pendatang sudah dilakukan.
Petugas imigrasi dan perbatasan mengecek Facebook para pengunjung dari sejumah negara muslim ya sebelum membolehkan mereka masuk ke AS.
Pengecekan Facebook itu diklaim oleh pengacara dari Houston, Texas, Mana Yegani. Tak hanya para pemegang visa, namun permanent resident pemegang Green Card --yang punya hak untuk kerja dan tinggal di AS-- harus ditahan di sejumlah bandara di AS.
Tak hanya diwawancara tentang riwayat hidup mereka, tapi petugas imigrasi mengecek media sosial Facebook apakah menemukan postingan berbau anti-Trump atau tidak. Demikian seperti dilansir The Independent pada Minggu (29/1/2017).
Larangan itu berdampak pada mereka yang berpaspor Iran, Irak, Libya, Somalia, Sudan, Suriah dan Yaman. Juga pemengang Green Card yang mendapat otorisasi untuk bekerja dan tinggal di AS.
Yegani, yang bekerja untuk American Immigration Lawyers Association (Alia), mengatakan ia dan rekan-rekan pengacaranya telah bekerja sepanjang malam untuk membebaskan orang-orang dengan visa sah yang ditahan sebelum memasuki AS atau memerintahkan kembali penerbangan ke negara-negara mayoritas Muslim yang berada dalam daftar larangan itu.
Dalam satu insiden seorang mahasiswa PhD asal Sudan yang kuliah di Stanford University di California, yang telah tinggal di AS selama 22 tahun, ditahan selama lima jam di New York. Juga warga negara ganda Iran-Kanada tidak diizinkan untuk naik pesawat menuju Ottawa.
Alia mengatakan agen imigrasi itu juga memeriksa akun media sosial mereka yang ditahan dan menginterogasi mereka tentang keyakinan politik mereka sebelum mengizinkan mereka ke AS.
Dia berkata: "Mereka adalah orang yang datang secara legal. Mereka memiliki pekerjaan di sini dan mereka memiliki kendaraan di sini."
"Hanya karena Trump menandatangani sesuatu di pukul 18.00 kemarin, pemeriksaan yang berlebihan pun terjadi. Ini menakutkan," lanjutnya.
Donald Trump Incar Sosial Media dan Daftar Kontak?