Ribuan Demonstran Protes Kebijakan Trump Tentang Isu Lingkungan

Ribuan masa di sejumlah kota dunia melakukan unjuk rasa untuk mendukung komunitas akademik, isu lingkungan, dan pemanasan global.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 23 Apr 2017, 12:01 WIB
Diterbitkan 23 Apr 2017, 12:01 WIB
Aksi March for Science dan Hari Bumi (AP)
Aksi March for Science dan Hari Bumi (AP)

Liputan6.com, Washington, D. C. - Ribuan masa di Ibukota Amerika Serikat dan ibukota di beberapa negara lain melakukan unjuk rasa sebagai bentuk pernyataan dukungan terhadap komunitas akademik dan ilmu pengetahuan, salah satunya yang bergerak pada isu lingkungan dan pemanasan global. Aksi protes ini turut memprotes rencana kebijakan Presiden AS Donald Trump yang akan memotong anggaran pendanaan untuk lembaga riset dan ilmu pengetahuan.

Aksi tersebut digelar oleh March for Science, sebuah komunitas swadaya yang bergerak pada isu ilmu pengetahuan. Ribuan peserta berkumpul di titik pusat acara di Washington National Mall, Washington, D.C. Mereka berkumpul membawa spanduk berisi slogan pro-ilmu pengetahuan dan lingkungan serta melakukan orasi.

"Hari ini banyak pembuat hukum, tak hanya di AS tapi juga di seluruh dunia, yang dengan sengaja mengabaikan dan menekan perkembangan ilmu pengetahuan...mereka disesatkan oleh agenda politik tertentu," ujar Bill Nye, ilmuwan, pembawa acara TV, dan orator pada aksi tersebut, seperti yang dikutip oleh CNN, Minggu, (23/4/2017).

Selain di Ibukota Negeri Paman Sam, penyelenggara kegiatan menjelaskan bahwa sekitar 600 aksi serupa juga dilakukan di seluruh dunia, seperti di Boston, Los Angeles, New South Wales, Wellington, Miami, Berlin, London, dan beberapa negara seperti Prancis, Irlandia, Finlandia, Portugal, Spanyol, Kanada, dan Belanda. Aksi tersebut sekaligus memperingati perayaan Hari Bumi yang kerap dirayakan pada 21 April dan 22 April.

Penyelenggara aksi March for Science mengaku bahwa kegiatan tersebut memiliki agenda politik, namun tidak berpihak atau non-partisan.

Meski begitu, pada praktiknya, aksi tersebut banyak memprotes kebijakan Presiden Donald Trump dan partai pendukungnya, seperti rencana memotong anggaran pendanaan Departemen Kesehatan dan Pelayanan Manusia sebesar US$ 12,6 miliar serta memotong anggaran National Institutes of Health sebesar US$ 5,8 miliar. Peserta aksi juga mengkritisi usaha administrasi presiden AS ke-45 itu untuk membungkan ilmuwan serta merubah ilmu pengetahuan dengan sejumlah fakta alternatif.

Aksi March for Science dan Hari Bumi (AP)

"Mereka di sana (Gedung Putih), telah mencoba untuk memanipulasi dan menolak percaya pada ilmu pengetahuan serta memaksa kita untuk mempercayai sejumlah fakta alternatif," ujar salah satu orator di Washington National Mall.

Beberapa peserta mengaku bahwa keterlibatan mereka pada aksi tersebut disebabkan karena kekhawatiran terhadap rencana kebijakan administrasi Trump yang menekan komunitas ilmu pengetahuan dan lingkungan.

"Ilmu pengetahuan dan isu perubahan iklim sangat penting dan pemerintah yang sekarang berusaha menekan itu," ujar Joni Wright, mahasiswa University of Florida yang turut berpartisipasi pada aksi.

Meski begitu, pihak penyelenggara berusaha agar aksi tersebut dapat seminimal mungkin tidak bias secara politik.

"Ini mungkin salah satunya dipicu oleh Trump, tapi ini bukan tentang Trump...ini tentang pentingnya ilmu pengetahuan di masyarakat dan melanjutkan dukungan terhadap komunitas sains," ujar dewan pimpinan March for Science, Lydia Villa-Komaroff saat wawancara dengan CNN beberapa hari sebelum pelaksanaan aksi.

Para peserta aksi berharap agar isu ilmu pengetahuan dan lingkungan tak hanya menjadi perhatian komunitas atau lembaga akademik semata, tetapi juga pemerintah. Keterlibatan aktif pemerintah terhadap kedua isu tersebut melalui pendanaan dan prioritas agenda politik, adalah harapan para demonstran March for Science di seluruh dunia.

"Keterlibatan pemerintah melalui pendanaan dan partisipasi publik merupakan hal yang sangat penting...sains tak hanya untuk para ilmuwan, tetapi untuk seluruh manusia, untuk masa depan," ujar Katherine Mathieson, Kepala British Science Association.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya