Liputan6.com, Beirut - Pasukan Israel di selatan Lebanon pada Minggu melepaskan tembakan ke arah para pengunjuk rasa, yang menuntut penarikan pasukan mereka sesuai dengan kesepakatan gencatan senjata. Setidaknya 22 orang tewas dan 124 lainnya terluka dalam tragedi tersebut.
Kementerian Kesehatan Lebanon mengonfirmasi jumlah itu dan menjelaskan bahwa korban tewas termasuk enam perempuan dan seorang tentara Lebanon.Â
Advertisement
Baca Juga
Tentara Israel menyalahkan Hizbullah atas terjadinya protes pada Minggu. Dalam pernyataannya, tentara Israel mengklaim pasukan mereka menembakkan tembakan peringatan untuk "mengatasi ancaman di sejumlah area tempat tersangka teridentifikasi mendekat". Mereka menambahkan sejumlah tersangka yang berada di dekat pasukan Israel telah ditangkap dan sedang diinterogasi.
Advertisement
Beberapa jam kemudian, masih pada Minggu, Gedung Putih bahwa Israel dan Lebanon telah sepakat memperpanjang batas waktu bagi pasukan Israel untuk menarik diri dari selatan Lebanon hingga 18 Februari. Israel sebelumnya meminta lebih banyak waktu untuk mundur melampaui batas waktu 60 hari yang tercantum dalam kesepakatan gencatan senjata yang menghentikan perang Israel-Hizbullah pada akhir November 2024. Demikian seperti dikutip dari AP, Senin (27/1).
Israel menyatakan mereka perlu tinggal lebih lama karena tentara Lebanon belum dikerahkan di semua wilayah selatan Lebanon untuk memastikan Hizbullah tidak kembali menguasai wilayah tersebut. Namun, tentara Lebanon mengungkapkan mereka tidak bisa dikerahkan sampai pasukan Israel mundur.
Gedung Putih dalam pernyataannya menyebutkan bahwa "pengaturan antara Lebanon dan Israel, yang dipantau oleh Amerika Serikat, akan terus berlaku hingga 18 Februari 2025". Pernyataan yang sama menambahkan bahwa pemerintah terkait akan memulai negosiasi untuk pengembalian tahanan Lebanon yang ditangkap setelah 7 Oktober 2023.
Belum ada komentar langsung dari pemerintah Israel, namun Perdana Menteri Lebanon Najib Mikati mengonfirmasi perpanjangan batas waktu.
Desakan PBB terhadap Israel dan Lebanon
Koordinator Khusus PBB untuk Lebanon Jeanine Hennis-Plasschaert dan kepala misi pasukan penjaga perdamaian PBB di Lebanon (UNIFIL) Jenderal Aroldo Lazaro mengeluarkan pernyataan bersama yang mendesak baik Israel maupun Lebanon untuk memenuhi kewajiban mereka berdasarkan kesepakatan gencatan senjata.
"Faktanya, garis waktu yang diharapkan dalam Pemahaman November belum terpenuhi," sebut pernyataan bersama. "Seperti yang terlihat dengan tragis pada pagi ini, kondisi belum memungkinkan untuk kembalinya warga ke desa mereka di sepanjang Garis Biru."
UNIFIL mengatakan bahwa kekerasan lebih lanjut berisiko merusak situasi keamanan yang rapuh di wilayah tersebut dan prospek stabilitas yang terwujud oleh penghentian permusuhan dan pembentukan pemerintahan di Lebanon.
Pernyataan bersama mendorong pula penarikan penuh pasukan Israel, penghapusan senjata dan aset ilegal di selatan Sungai Litani, penempatan kembali tentara Lebanon di seluruh selatan Lebanon, dan memastikan kembalinya warga yang mengungsi secara aman dan bermartabat di kedua sisi Garis Biru.
Garis Biru pertama kali ditetapkan oleh PBB pada tahun 2000 setelah pasukan Israel mundur dari Lebanon selatan, sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 425. Garis ini bertujuan untuk menandai perbatasan antara Lebanon dan Israel setelah penarikan pasukan Israel dan untuk memastikan bahwa Israel telah memenuhi kewajibannya sesuai dengan resolusi tersebut. PBB kemudian menggunakan Garis Biru untuk memantau implementasi gencatan senjata dan menjaga stabilitas di daerah perbatasan.
Sekitar 112.000 warga Lebanon masih mengungsi dari lebih dari 1 juta yang melarikan diri selama perang Hizbullah-Israel sejak lebih dari setahun lalu.
Â
Advertisement