US$ 3 Triliun Dipertaruhkan Jika Perang AS versus Korut Pecah

Sejumlah ilmuwan memprediksi berbagai hal yang akan terjadi jika perang pecah antara AS melawan Korut.

oleh Citra Dewi diperbarui 30 Apr 2017, 11:50 WIB
Diterbitkan 30 Apr 2017, 11:50 WIB
Rudal kapal selam dipamerkan di parade kelahiran Kim Il-sung di Korut
Rudal kapal selam dipamerkan di parade kelahiran Kim Il-sung di Korut (AP Photo)

Liputan6.com, Pyongyang - Ketegangan antara Korea Utara dengan Amerika Serikat yang akhir-akhir ini terjadi kian mengkhawatirkan sejumlah pihak. Terlebih, kedua negara sama-sama memiliki kemampuan nuklir

Jika ketegangan kedua negara pecah, perang termonuklir akan menjadi bencana kemanusiaan dan ekologis bagi seluruh wilayah. Radiasi akibat perang tersebut juga dapat menyebabkan bencana nuklir hingga ke Korea Selatan, China, Rusia, dan Jepang.

Namun jika perang tersebut tak menggunakan senjata nuklir dan rezim Kim Jong-un jatuh, maka alternatif buruk lainnya tetap menghantui.

Konsekuensi pertama adalah, keluarga Kim dan semua pihak yang berhubungan dengan Partai Buruh Korea yang berkuasa harus meninggalkan negaranya.

"Polisi rahasia dan pejabat partai akan mencari perlindungan di negara tetangga China atau Rusia," ujar peneliti dari National University, Leonid Petrov, seperti dikutip dari News.com.au, Minggu (30/4/2017).

Pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un saat memantau pasukan jelang upacara untuk peringatan 85 tahun pembentukan Tentara Rakyat Korea (KPA) di Korea Utara (26/4). (AFP FOTO / KCNA / STR)

"Tidak ada tempat bagi klan Kim jika Korut dan Korsel bergabung, saudara laki-lakinya, sepupu, bibi, dan pamannya, mereka tidak dapat dipisahkan dari rezim dan akan diadili sebagai penjahat."

"Beberapa negara Amerika Selatan mungkin bersedia memberikan perlindungan kepada mereka -- Bolivia, Venezula, Guatemala...negara-negara yang anti-Amerika mungkin mendukung," jelas Petrov.

Jadi, apa yang akan terjadi dengan rakyat Korea Utara tanpa Kim Jong-un sebagai pemimpin tertinggi mereka?

Menurut Petrov, karena kekurangan uang, makanan, dan tempat tinggal, mereka juga mungkin akan mencari perlindungan di China, Rusia, dan Korea Selatan. Namun negara-negara itu tak akan selalu terbuka terhadap masuknya pengungsi Korea Utara.

Masalah bagi 30 Juta Orang

China merupakan rumah bagi sekitar 100.000 pembelot Korea Utara dan sepertinya tak menginginkan lebih banyak warga Korut untuk masuk ke negaranya.

Menurut ilmuwan Rand Corporation, Andrew Scobell, China telah memikirkan skenario semacam itu dalam kurun yang cukup lama dan mungkin akan memperkuat perbatasan dengan pengerahan pasukan.

Menurut Scobell, mungkin sebagian warga Korut akan mencoba berpindah dari satu kota ke kota lain untuk mencari perlindungan, sementara lainnya akan menyeberang ke Korea Selatan. Namun jika pertempuran berlangsung di DMZ -- perbatasan Korut-Korsel, perpindahan warga hampir tak dapat terjadi.

Menurut Petrov, hal yang mungkin terjadi adalah reunifikasi Korea Utara dan Selatan. Meski demikian itu akan berdampak pada masalah ekonomi dan sosial yang mendalam.

Penjagaan ketat di pintu masuk menuju kawasan DMZ atau perbatasan Korea Selatan-Korea Utara. (Liputan6.com/Rinaldo)

"Ekonomi Korea Selatan mencapai puncaknya," ujar Petrov. "Mereka butuh mengakses sumber daya dan tenaga murah."

"Korea Selatan kemungkinan menggunakan kesempatan itu untuk mengeksploitasi Korea Utara yang berpendidikan lebih rendah dan kurangnya pengalaman dalam keahlian. Jutaan pekerja Korut akan menjadi warga kelas dua, akan ada diskriminasi besar-besaran, bahkan perbatasan kemungkinan akan dijaga selama bertahun-tahun untuk menghentikan migrasi massal."

"Akan dibutuhkan setidaknya 10 tahun sebelum angka kesejahteraan seimbang antara Utara dan Selatan. Selama 10 tahun itu, penyatuan kedua negara akan sangat mahal, US$ 3 triliun (sekitar Rp 40.029 triliun) atau lebih. Akan ada ketegangan sosial antara Korea Selatan dan Korea Utara."

"Kedua negara terisolasi satu sama lain, mereka berbicara dengan dialek berbeda, dan memahami dunia dengan berbeda," jelas Petrov.

Reunifikasi Tak Berjalan Mulus

Reunifikasi Korea telah menjadi perdebatan selama bertahun-tahun. Mantan Presiden Korea Selatan, Kim Dae-jung memperoleh Penghargaan Nobel pada 2000 karena mengimplementasi kebijakan Sunshine Policy untuk meningkatkan hubungan politik antara kedua negara.

Namun pada 2008, pemerintah konservatif mengakhiri proses tersebut dan para ahli mengkhwatirkan adanya reunfikasi yang tak berjalan mulus.

Ilustrasi Korea Utara. (AP)

"Unifikasi Jerman Timur dan Barat merupakan hal yang sangat mudah jika dibandingkan dengan apa yang akan terjadi di Korea Utara dan Selatan ketika reunifikasi terjadi secara tak terkontrol," ujar Petrov. "Ini akan menjadi masalah sosiologi dan demografi yang besar," imbuh dia.

"Korea Selatan mungkin tidak akan mendukung Amerika dalam upaya keterbukaan militer melawan Korea Utara. Aliansi Amerika-Korea Selatan akan mencair."

"Pertumbuhan ekonomi di Korea Utara memberi Korea Selatan akses sumber daya alam lebih banyak, tenaga kerja murah, dan transporasi, misalnya menghubungkan jalur kereta api Korea Selatan dengan China."

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya