5 Kudeta Berdarah di Dunia yang Diduga Didalangi Amerika Serikat

Berikut 5 dugaan upaya intervensi AS untuk melengserkan sebuah rezim pemerintahan negara lain.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 18 Mei 2017, 18:00 WIB
Diterbitkan 18 Mei 2017, 18:00 WIB
Invasi AS ke Irak 2003 (John L. Houghton/US Air Force)
Invasi AS ke Irak 2003 (John L. Houghton/US Air Force)

Liputan6.com, Jakarta - Amerika Serikat terkenal sebagai negara yang menerapkan kebijakan internasional aktif.

Sepanjang sejarah, melalui kebijakan internasional aktif tersebut, Negeri Paman Sam juga giat melakukan intervensi pada sebuah negara yang dianggap oleh AS mengalami 'krisis'.

Negara yang kini dipimpin oleh Presiden Donald Trump itu juga menganggap dirinya seakan-akan sebagai 'The Global Police' -- polisi global. Mereka memiliki tendensi tinggi untuk mencampuri urusan dalam negeri suatu negara dan menegakkan hukum di negara tersebut sesuai dalil kebenaran versi AS.

Terkadang, tindakan 'The Global Police' untuk mengintervensi situasi politik di negara lain dilakukan atas justifikasi 'melindungi keamanan nasional' AS. Akan tetapi, seringkali aksi Negeri Paman Sam justru dibarengi dengan dugaan motif tersembunyi. Seperti mengakuisisi bisnis minyak di Timur Tengah, atau membendung pengaruh Uni Soviet di sejumlah negara pada Perang Dingin.

Cara yang dilakukan AS dalam melakukan intervensi pada suatu negara pun bermacam-macam. Mulai dari cara politik terbuka, politik tersembunyi melalui pendanaan kudeta domestik, militer, pembunuhan politik, hingga intelijen dan spionase.

Tak jarang intervensi AS pada suatu negara menuai keberhasilan. Namun, kadang kala, sebagian yang lain justru mengalami kegagalan.

Berikut 5 upaya intervensi AS untuk melengserkan sebuah rezim pemerintahan negara lain yang terkenal, seperti yang dirangkum oleh Liputan6.com dari Listverse.com, Kamis, (18/5/2017).

1. Intervensi Kudeta Suriah 1949

Husni al-Za'im (Wikimedia Commons)

Pada tahun 1949, empat tahun pasca-Perang Dunia II berakhir, Amerika Serikat melalui Central Intelligence Agency (CIA) melakukan upaya kudeta terhadap pemerintahan Suriah.

Upaya kudeta itu, diduga kuat dilakukan oleh AS untuk menyukseskan proyek pembangunan pipa pendistribusian minyak The Trans-Arabian Pipeline yang melintasi Suriah.

Penggulingan pemerintahan dijadikan cara, sebab, rezim Suriah yang saat itu dipimpin oleh Shukri al-Quwatli, dinilaitidak dapat memberikan keuntungan bagi Negeri Paman Sam. 

AS ada di balik layar kudeta Suriah. Melalui CIA, AS menyiapkan seorang 'boneka politik', yakni pria bernama Husni al-Za'im, untuk memimpin gerakan revolusi.

Dalam waktu singkat, al-Za'im berhasil memimpin kudeta, menggulingkan rezim al-Quwatli, dan naik menjadi Presiden Suriah melalui pemilu. Tak lama kemudian, pembangunan the Trans-Arabian Pipeline berhasil dilaksanakan.

Ironisnya, baru 4 bulan menjabat, Presiden al-Za'im digulingkan dan dibunuh oleh antek mantan presiden al-Quwatli. Terbunuhnya sang boneka AS dari kursi kepresidenan Suriah membuat Negeri Paman Sam kehilangan tajinya dalam proyek Trans-Arabian Pipeline.

2. Penggulingan Rezim Komunis Grenada 1983

Invasi AS ke Grenada 1983 (M.J. Green/US Army)

Grenada merupakan sebuah pulau tropis kecil berpopulasi 91.000 dan berjarak 640 km dari selatan Puerto Rico yang layak menjadi sebuah destinasi wisata.

Namun, bagi Amerika Serikat, pulau tropis itu merupakan sebuah ancaman pengaruh komunis Kuba dan Uni Soviet. Karena letaknya yang dekat dengan Negeri Paman Sam.

Apalagi, pada tahun 1983, Hudson Austin yang berideologi Leninisme-Stalinisme muncul sebagai pemimpin Grenada lewat sebuah revolusi.

Melihat hal itu, Presiden Ronald Reagan memerintahkan 7.000 pasukan AS untuk menginvasi Grenada demi menggulingkan Hudson Austin. Aksi militer itu diberi nama sandi Operation Urgent Fury yang berlangsung dari 25 Oktober hingga 15 Desember 1983.

Dikepung oleh kekuatan militer AS yang mumpuni, tentara Grenada yang hanya berjumlah 1.200 personel pun berhasil ditumpas dan Hudson Austin sukses digulingkan. Dan, Operasi Urgent Fury itu menandai kesuksesan intervensi AS pada Grenada.

3. Penggulingan Saddam Hussein 2003

Penangkapan Saddam Hussein oleh pasukan AS 13 Desember 2003 (US Army)

Didasari atas asumsi kepemilikan senjata pemusnah masal, Saddam Hussein dibuat bertekuk lutut dari invasi militer 'The Global Police' itu pada Perang Irak yang dimulai tahun 2003. Meski PBB melaporkan bahwa Saddam Hussein ternyata tidak memiliki senjata pemusnah masal, namun AS tetap bersikukuh untuk menduduki Negeri 1001 Malam itu.

Lewat sebuah ultimatum, Presiden George W. Bush memaksa Saddam Hussein menyerahkan diri atau menyerahkan senjata pemusnah masal yang disimpannya. Merasa dirinya tidak mempunyai senjata yang dituduh AS itu, Saddam Hussein melarikan diri dari kejaran militer Negeri Paman Sam.

Hingga pada 13 Desember 2003, militer AS berhasil menangkap sang pemimpin Negeri 1001 Malam itu di tempat persembunyiannya di Tikrit, Irak. Dan hal itu menandai tonggak keberhasilan Presiden Bush dalam menggulingkan pemerintahan Baghdad.

Akan tetapi, meski Saddam Hussein telah ditangkap, Amerika Serikat terus melakukan pendudukan di Irak. Hingga kini, Perang Irak 2003 jadi salah satu konflik bersenjata terpanjang --berlangsung hingga tahun 2012-- dan paling menuai kritik masyarakat internasional.

4. Penggulingan Rezim Diktator Panama 1989

Operation Just Cause (Morland/US Army)

Pada 1989, Manuel Noriega, telah menjadi pemimpin Panama (sebuah negara di Amerika Tengah) selama 6 tahun, menandai kepemimpinannya yang diktator. Di sela-sela kesibukannya sebagai diktator, Noriega juga menyibukkan diri melakukan penyelundupan kokain kelas kakap di sejumlah negara di Benua Amerika.

Namun ternyata, beberapa tahun sebelumnya, sang diktator pernah menjadi salah satu aset penting bagi intelijen AS untuk membantu operasi spionase CIA di sejumlah negara di Amerika Selatan.

Akan tetapi, pada 1986, CIA menilai bahwa jasa Noriega tak lagi dibutuhkan. Dan, badan spionase itu merencanakan untuk 'melenyapkan' sang pemimpin Panama demi menghilangkan sejumlah bukti operasi intelijen AS di Amerika Tengah dan Selatan.

Disusunlah sebuah rencana penangkapan Noriega oleh AS pada 1989. Washington membuat dalih penangkapan Noriega yang menjelaskan bahwa dirinya terlibat dalam praktik peredaran narkotika ke Amerika Serikat.

Sementara itu, dalam rentang waktu yang cukup dekat, Manuel Noriega yang kalah dalam Pilpres 1989 menisbatkan dirinya sebagai pemimpin de facto Panama pada 20 Desember 1989, menandai kediktatorannya.

Melihat hal itu, akhirnya Presiden George H.W. Bush mengutus 27.000 pasukan AS untuk menginvasi Panama. Aksi militer itu diberi nama sandi Operation Just Cause dan berlangsung pada 20 Desember 1989 hingga 31 Januari 1990.

Sementara itu pasukan Navy SEALs AS diberi tugas khusus untuk menangkap Noriega dan mencegahnya melarikan diri dari Panama City, ibukota Panama.

Aksi para Navy SEAL itu diberi nama sandi Operation Nifty Package. Terkepung oleh pasukan khusus yang menerapkan metode perang psikis (psy-war) dan perang taktis, Noriega akhirnya menyerahkan diri kepada pasukan Navy SEAL pada 3 Januari 1990.

Operation Just Cause dan Nifty Package jadi salah satu keberhasilan intervensi AS di Panama.

5. Intervensi Kudeta Iran 1953

Kudeta Iran 1953 (Wikimedia Commons)

Pada awal 1950-an, Mohammad Mossaddegh merupakan perdana menteri Iran yang terpilih secara demokratis. Setelah menjabat, Mossaddegh berupaya untuk mendapatkan kontrol nasional atas ladang minyak di Iran.

Dalam upayanya untuk mengontrol kilang minyak nasional Iran, sang perdana menteri mulai mengaudit Perusahaan Minyak Anglo-Iran (AIOC) yang berasal dari Inggris. Hal itu membuat Amerika Serikat was-was.

Ketakutan AS adalah, jika Mossaddegh berhasil mendapat kontrol penuh AIOC, dalam waktu dekat Uni Soviet --seteru AS pada Perang Dingin dan secara geografis dekat ke Iran-- akan melakukan pendekatan dan menanamkan pengaruhnya kepada sang perdana menteri.

Atas alasan itu, CIA mulai berencana untuk menggulingkan Mossaddegh, dengan harapan dapat menegaskan kembali kekuatan Shah Mohammad Reza Pahlavi sebagai raja yang kemudian menisbatkan Jenderal Fazlollah Zahedi sebagai pemimpin baru Iran.

Gugus tugas gabungan intelijen AS - Inggris mulai aktif melakukan pendanaan ke berbagai kelompok oposisi Mossaddegh di Iran. Kelompok itu kemudian melakukan sejumlah plot teror yang dirancang untuk melemahkan kepercayaan publik terhadap pemerintahan Mossaddegh.

Selain itu, Inggris melalui AIOC turut mengucurkan kocek untuk menyuap sejumlah pejabat Iran yang pro-Barat untuk menerapkan Mossadegh sebagai persona-non-grata.

Kudeta terselubung AS - Inggris 1953 itu berhasil. Sekitar 300 orang pro-Mossadegh meninggal dan ratusan lainnya dipenjara dan dijatuhi hukuman mati oleh mahkamah militer kelompok oposisi.

Raja Pahlavi berhasil memimpin selama 26 tahun, sebelum sentimen anti-AS di Iran muncul. Sentimen itu muncul akibat persepsi negatif warga Iran terhadap keterlibatan AS dalam politik Timur Tengah. Yang akhirnya menghasilkan Revolusi Iran 1979 dan menggulingkan Reza Pahlavi dari pucuk kekuasaan.

Saksikan juga video menarik berikut ini:  

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya