Liputan6.com, Jakarta - Kudeta, baik yang dilakukan secara langsung oleh para jenderal ataupun pemberontakan warga sipil, dirancang untuk mengalihkan kekuasaan secara paksa.
Pada 2016, sejumlah perwira militer Turki melancarkan kudeta gagal yang mengundang pembalasan dari pemerintahan Recep Tayyip Erdogan. Saat pembalasan, korban jiwa jatuh lebih banyak.
Advertisement
Baca Juga
Pada masa seputar Perang Dunia I dan Perang Dunia II, beberapa kudeta juga terjadi di negara-negara utama Poros (Axis), yaitu Jerman, Italia, dan Jepang.
Disarikan dari therichest.com pada Kamis (23/2/2017), berikut ini adalah 5 peristiwa kudeta gagal semasa Perang Dunia I dan Perang Dunia II:
1. Kudeta Kapp (1920)
Jerman sebelum naiknya Hitler pada 1933 bergelimang kekerasan politik. Setelah kekalahan Jerman dalam Perang Dunia I, deklarasi Republik Jerman malah menjerumuskan negara itu dalam kekacauan.
Pemberontakan besar pertama dilakukan oleh Sparticists, sebuah kelompok komunis Jerman, yang pada Januari 1919 mencoba menciptakan Revolusi Bolshevik Oktober 1917.
Sparticist dibasmi secara keji oleh gabungan pemerintah Sosialis Demokratik, angkatan darat, dan Freikorps, yaitu konfederasi longgar paramiliter sayap kanan.
Menjelang musim semi 1920, hubungan antara pemerintahan Presiden Friedrich Ebert dan angkatan darat memburuk. Pemerintah Ebert pun mendepak Jenderal Walther von Luttwitz dari sejumlah posisi.
Von Luttwitz dan beberapa jenderal lain, bersama dengan kaum konservatif Jerman, bersekongkol menggusur pemerintahan SPD dengan junta militer.
Pada 13 Maret, von Luttwitz memimpin 6.000 anggota kesatuan Freikorps yang dikenal dengan Marinebrigade Ehrhardt menuju Berlin dengan alasan untuk meredam revolusi Bolshevik. Seorang pegawai sipil Prusia bernama Wolfgang Kapp menjadi kepala humas gerakan itu.
Setelah 5 hari, kudeta itu gagal karena angkatan darat Weimar terbagi. Walaupun kudeta Kapp itu tidak terlalu mematikan, tapi telah memicu pemberontakan Ruhr pada bulan yang sama.
Para pekerja komunis yang tergabung dalam Pasukan Merah Ruhr menggelar pemogokan di jantung industri Jerman hingga awal bulan April. Revolusi saya kiri itu dibasmi secara berdarah oleh angkatan darat dan Freikorps. Sekitar 1.000 pekerja Ruhr meninggal dunia.
Advertisement
2. Kudeta Balai Bir (1923)
Pihak Nazi bergerak cepat. Sebelum Kudeta Balai Bir (Beer Hall Putsch), NSDAP, partai pekerja nasionalis sosialis Jerman, adalah salah satu partai politik sayap kanan yang lahir karena tidak puas dengan Perjanjian Damai Versailles.
Namun Nazi adalah partai kecil di Bavaria dan tidak memiliki banyak pengikut dibandingkan partai-partai lain di Jerman, tapi semangatnya menyala-nyala dan dipimpin oleh Adolf Hitler, seorang veteran Perang Dunia I.
Nazi mencoba merebut kekuasaan pemerintahan Bavaria di Munich pada 8 dan 9 November 1923. Dengan inspirasi dari "Pawai Roma" oleh Benito Mussolini dan para pengikutnya di Italia pada 1922, Hitler dan para petingginya mencoba menculik Gustav von Kahr, komisioner negara bagian, dan memaksanya menyerahkan kekuasaan.
Tapi, bukannya memilih Hitler, Nazi memilih Jenderal Eirck Ludenhirff, pahlawan Front Timur semasa Perang Dunia I, untuk memimpin kudeta yang dimulai di balai besar minum bir bernama Bürgerbräukeller.
Tapi kudeta itu gagal dan memakan korban 20 jiwa. Hitler dijebloskan dalam penjara selama 5 tahun karena pengkhianatan.
Karena tekanan sayap kanan, Hitler hanya menjalani masa tahanan selama 1 tahun. Selama dalam penjara, ia menulis Mein Kampf.
3. Kudeta Juli (1934)
Ucapan-ucapan Nazi dan kaum fasis terdengar sangat mirip pada masa itu, tapi dua kubu itu sebenarnya tidak terlalu akrab pada 1930-an.
Sebenarnya, di luar Partai Fasis Nasional pimpinan Benito Mussolini, partai-partai fasis lain di Eropa cenderung menjadi gabungan ultranasionalisme, militerisme, dan politik Katolik (atau politik Ortodoks di wilayah Slav di Eropa Timur).
Sayap kanan Austria pada 1930 dipimpin oleh Front Tanah Air, partai politik yang menjadi rumah utama bagi beberapa nasionalisme sayap kanan Austria, mulai dari Partai Sosial Kristen hingga organisasi paramiliter Heimwehr.
Di bawah pimpinan mantan petinggi militer Austro-Hungaria bernama Engelbert Dollfuss, Front itu menggalang kekuatan di Wina pada 1933 yang bertujuan mendirikan negara Katolik konservatif otoriter korporatis yang membatalkan Pencerahan.
Walaupun memiliki sejumlah tujuan politis serupa, Hitler dan Dollfuss tidak saling suka. Terutama karena nasionalisme Austria oleh Dollfuss dan penolakan menerima Jerman tunggal di bawah Nazi. Jadi, Hitler sendirilah yang memimpin upaya kudeta oleh Nazi Austria pada 1934.
Sekilas, kudeta itu dirancang untuk menghentikan kedekatan Dollfuss dengan fasis Italia. Tapi, kudeta yang dimulai oleh 154 anggota SS yang menyamar menjadi tentara Austria, gagal merebut Wina.
Pihak Nazi membunuh Dollfuss dan melarang seorang imam Katolik memberikan ibadah Perminyakan Terakhir, pembalasan terhadap kudeta gagal itu menjadi sangat berdarah. Diduga ada 270 orang meninggal dunia karena kudeta itu dan kekacauan sesudahnya.
Advertisement
4. Insiden 15 Mei (1932)
Selama 1920-an dan 1930-an, pergeseran Jepang ke arah militerisme sayap kanan dipercepat oleh serangkaian upaya kudeta yang dimulai oleh angkatan darat (AD) dan angkatan laut (AL). Mereka tidak sabar melihat destabilisasi perlahan karena liberalisme Jepang yang lahir pada masa Taisho.
Para komandan militer itu memanfaatkan lingkar-lingkar sayap kanan dalam militer untuk menegakan kebijakan-kebijakan yang lebih otoriter di Tokyo.
Pada 15 Mei 1932, kelompok rahasia Persaudaraan Sedarah yang terdiri dari petinggi angkatan laut dan warga sipil Jepang mencoba membunuh para lawan mereka. Mereka juga mencoba membongkar demokrasi Jepang, tapi mereka hanya berhasil membunuh Perdana Menteri Inukai Tsuyoshi.
Setelah pembunuhan, 11 perwira AL, beberapa perwira AD dan warga sipil, diadil dengan dakwaan pembunuhan. Peradilan kematian Tsuyoshi bersamaan dengan peradilan pembunuhan mantan Menteri Keuangan Junnosuke Inoue dan pebisnis Dan Takuma.
Sebanyak 350 ribu warga Jepang membubuhkan tanda tangan darah pada petisi yang menyerukan hukuman ringan pada para terdakwa. Dalam pengadilan militer, para perwira AL menyatakan kesetiaan kepada Kaisar.
Pada akhirnya mereka dihukum ringan dan menjadi bukti kekuatan dan populernya militerisme dalam masyarakat Jepang masa itu.
5. Kudeta Komunis Estonia (1924)
Negara mungil Estonia telah memperjuangkan kemerdakaannya sejak usainya Perang Dunia I pada 1918.
Hanya setahun sebelumnya, negara itu berada di bawah kekuasaan militer Jerman yang berhasil tawar menawar perjanjian damai dengan pemerintahan Soviet di Rusia saat itu. Perjanjian Brest-Litovsk mengakui lingkup pengaruh Jerman di kawasan Baltik.
Tapi, karena kalah perang, AD Jerman dipaksa mundur dari Baltik. Para tuan tanah dan oligarki warga Jerman yang mendapat hak-hak istimewa di Estonia dan Latvia sejak Abad Pertengahan, tidak rela melepas hak-hak itu begitu saja.
Dari November 1919 hingga Februari 1920 berlangsung Perang Kemerdekaan Estonia yang memperhadapkan pemerintahan baru Estonia melawan Uni Soviet, Komunis Estonia, dan milisi bersenjata Baltische Landswehr yang beranggotakan Jerman Baltik.
Walaupun Estonia memenangkan perang, pemberontakan terus terjadi berulang kali. Pada 1924, Komunis Estonia menunjuk Jaan Anvelt untuk mengambil kekuasaan pemerintahan Estonia dengan bantuan perwira intelijen Soviet.
Pada 1 Desember, sekitar 279 pendukung Komunis Estonia dan Rusia mencoba menduduki beberapa bangunan di Tallinn, termasuk Kastil Toompea. Kaum militan bersenjata lengkap itu dihalau oleh sekitar 500 tentara dan kadet. Kebanyakan pelaku yang selamat melarikan diri ke Uni Soviet. Sekitar 125 anggota Komunis tewas dan lebih dari 500 orang ditangkap.
Advertisement