Duterte Ingin Tinggalkan AS dan Merapat ke Rusia, Ini Alasannya

Sebelum bertolak ke Moskow, Presiden Duterte blakblakan menyangkut kebijakannya yang memilih merapat ke China dan Rusia.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 22 Mei 2017, 16:04 WIB
Diterbitkan 22 Mei 2017, 16:04 WIB
Presiden Filipina Rodrigo Duterte bersalaman dengan Presiden China Xi Jinping
Presiden Filipina Rodrigo Duterte bersalaman dengan Presiden China Xi Jinping (Etienne Oliveau/Pool Photo via AP)

Liputan6.com, Manila - Filipina harus memiliki hubungan yang lebih kuat dengan Rusia dan China. Hal tersebut ditegaskan oleh Presiden Rodrigo Duterte.

Menurut Duterte, negara-negara Barat hanya tertarik dengan politik standar ganda dan mengabaikan kepentingan Filipina. Pernyataan ini disampaikan Duterte di hadapan Rusian Today dan sejumlah media Rusia lainnya sebelum bertolak ke Moskow untuk melaksanakan kunjungan selama lima hari.

Duterte mengatakan, ia tidak punya urusan personal dengan Washington. Namun negaranya membutuhkan perubahan dalam kebijakan luar negeri demi memisahkan diri dari kepentingan Amerika.

"Saya tidak ingin melawan Amerika, Trump adalah teman saya. Tapi kebijakan luar negeri saya telah bergeser. Saya ingin bekerja sama dengan China dan Rusia. Karena di dunia Barat, semuanya hanya omong kosong," terang Duterte seperti dilansir Russian Today, Senin (22/5/2017).

"Anda (Barat) memperlakukan kami seolah-olah kami masih koloni. Anda pasti bercanda! Kami adalah sebuah negara merdeka. Saya ingin negara saya diperlakukan dengan bermartabat," imbuhnya.

Duterte telah berulang kali menyatakan keinginannya menjalin kerja sama terkait peralatan militer dengan negara-negara seperti China dan Rusia. Pekan ini, Menteri Pertahanan Filipina Delfin Lorenzana menandatangani surat persetujuan jual beli senjata dengan produsen asal China Poly Technologies.

Dalam waktu dekat, Duterte disebut-sebut akan menandatangani kesepakatan serupa dalam kunjungannya ke Negeri Beruang Merah. Di hadapan wartawan Rusia Duterte menegaskan, tidak akan membiarkan keamanan nasional Filipina bergantung pada Washington.

"Jika negara saya ambruk, siapa yang akan membangkitkannya? Amerika Serikat? Kami butuh senjata," kata pria yang akrab disapa Digong tersebut.

"Rusia menjual senjata, tanpa syarat. Dengan AS, ceritanya bisa beda. Mereka membuat persyaratan. Tapi saya tidak akan berlutut," ungkapnya.

Filipina adalah eks koloni AS yang sebelumnya masih menjalin aliansi militer dengan mantan "tuan"nya. Selama beberapa dekade, tiga per empat senjata Filipina dipasok oleh produsen AS.

Duterte menekankan, ia tidak ingin negaranya terseret dalam konfrontasi antara AS dengan China.

"Mereka ingin saya melawan China, dengan apa? Apakah saya punya rudal jelajah? Ini akan menjadi sebuah pembantaian! Lalu apa? Kami akan duduk di meja perundingan dan masing-masing mengatakan 'saya mau ini, saya mau itu'. Apakah saya terlihat bodoh?," tutur presiden berusia 72 tahun tersebut.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya