Pria Asing Tewas Terikat di Tempat Tidur RSJ di Jepang

Pria Selandia Baru itu diduga mendapat pengekangan oleh rumah sakit jiwa di Jepang karena mengalami depresi dan bipolar.

oleh Arie Mega Prastiwi diperbarui 14 Jul 2017, 09:36 WIB
Diterbitkan 14 Jul 2017, 09:36 WIB
Diikat di Tempat Tidur oleh RS Jepang, Pria Selandia Baru Tewas
Kelly Savage, diduga korban pengekangan di rumah sakit jiwa di Jepang (Savage Family/Guardian)

Liputan6.com, Tokyo - Seorang pria asal Selandia Baru tewas setelah diduga diikat paksa ke tempat tidur rumah sakit jiwa di Jepang selama 10 hari.

Pria bernama Kelly Savage itu meninggal dunia pada bulan lalu setelah mengalami serangan jantung hebat di rumah sakit daerah Yamato.

Sebelumnya pada 30 April, ia terpaksa dilarikan ke rumah sakit itu ketika mengalami episode maniak atau manic episode. Kondisi ini awam terjadi pada penderita bipolar atau gangguan jiwa di mana kondisi seseorang mengalami perubahan suasana hati secara fluktuatif dan drastis.

Dikutip dari The Guardian, Jumat (13/7/2017), keluarganya percaya bahwa serangan jantung adalah akibat dari deep vein thrombosis atau trombosis vena dalam (DVT), di mana terjadi gumpalan darah (juga disebut trombus) yang terbentuk pada vena dalam tubuh. Keluarga pria 27 tahun itu percaya, kondisi tersebut didapat karena ia tidak dapat bergerak atau berjalan di rumah sakit jiwa selama 10 hari.

Savage -- yang juga memiliki kewarganegaraan AS-- mempunyai sejarah depresi di Selandia Baru namun selama bekerja dua tahun sebagai guru bahasa Inggris di Jepang, kondisinya baik-baik saja -- sampai April tahun ini.

Ibunya, Martha Savage, mengatakan bahwa anaknya telah berubah menjadi lebih baik di negara yang dicintainya, menjalani kehidupan yang penuh dan produktif, dan dicintai oleh murid-muridnya.

Savage berhenti minum obatnya pada bulan April dan gejala bipolarnya muncul kembali. Saudaranya Patrick, yang bersamanya saat dirawat di bangsal akut, mengatakan bahwa Kelly tidak melakukan kekerasan apa pun dan gejalanya tidak cukup parah untuk dikekang secara paksa.

Dia mengatakan, pengekangan di Yamato dilakukan di pergelangan tangan, pergelangan kaki dan pinggang, mengikatnya ke tempat tidur. Itu berarti pemuda malang tersebut tidak dapat memberi makan dirinya sendiri atau menggunakan toilet.

"Saya ada di sana saat pengekangan dilakukan. Dia tidak melawan, dia tidak bergerak, tidak ada kekerasan," kata Patrick Savage kepada Guardian.

"Dia pasti perlu pergi ke rumah sakit karena dia dalam kondisi tidak baik dan dia seharusnya dibiarkan bebas berkeliling, tapi saat saya sampai di sana, dia sudah berada di ruang terkunci, sebuah bangsal yang terkunci," lanjutnya.

Saat Savage berada di RS Yamato, rumah sakit meminta Patrick untuk membeli popok dewasa. Salah satu staf rumah sakit mengatakan, Savage akan dikekang selama waktu yang lama.

Keluarga dilarang mengunjungi pemuda malang itu karena saat itu tengah liburan Golden Week. Saat keluarga menjenguk, kondisinya dalam keadaan tak sadar karena obat-obatan.

Selama kunjungan, beberapa kali Savage sadar. Saat itulah, ia memohon kepada ibu dan ayahnya agar ia dikeluarkan dari rumah sakit.

Pada 10 Mei Kelly Savage mengalami serangan jantung dan dikirim ke rumah sakit lainnya. Setelah koma selama tujuh hari, ia mengembuskan napasnya.

Meski hasil autopsi belum keluar, keluarga yakin pemuda itu tewas karena DVT setelah salah seorang ahli jantung mengemukakan gejala di tubuhnya.

"Mereka mengekangnya, memberi stoking ketat untuk penderita jantung, tapi tak membiarkannya menggerakkan tubuhnya," kata sang ibu.

Juru bicara Rumah Sakit Yamato menolak berkomentar terkait Kelly Savage. Kini keluarga menggelar kampanye untuk memperoleh akses rekaman kesehatan milik Kelly.

Tak hanya itu, mereka membuat petisi agar rumah sakit jiwa di Jepang menghentikan praktik pengekangan yang telah dilarang oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya