Liputan6.com, Honiara - Makin banyaknya serangan buaya memaksa polisi di Kepulauan Solomon untuk menembak reptil itu. Pemerintah negara tersebut juga mempertimbangkan mencabut larangan mengekspor kulit buaya yang telah berjalan selama 30 tahun.
Pada tahun 2017, terdapat lebih dari 10 serangan buaya terhadap manusia, serta puluhan serangan terhadap ternak dan hewan peliharaan di negara yang merupakan rumah bagi 600.000 orang.
Baca Juga
Namun, jumlah serangan sebenarnya mungkin jauh lebih besar. Pasalnya, serangan tersebut sering terjadi di daerah terpencil, di mana penduduk desa biasanya tidak melaporkannya ke pihak berwenang.
Advertisement
Menurut Direktur Departemen Respon Nasional Stanley Riolo, kematian terakhir terjadi pada bulan April. Saat itu, seorang bocah perempuan berusia delapan tahun tewas oleh seekor buaya.
Unit polisi khusus untuk menangani buaya saat ini telah dibentuk untuk mengatasi meningkatnya jumlah serangan. Tahun ini, tim tersebut telah membunuh 40 buaya--termasuk yang panjangnya 6,4 meter.
Para penduduk di sana tak memiliki senjata untuk menembak buaya air asin raksasa yang bisa tumbuh hingga 7 meter. Hal tersebut disebabkan karena penggunaan senjata api di sana telah dilarang dalam kesepakatan internasional tahun 2003.
Regional Assistance Mission to Solomon Islands (RAMSI) yang misinya berakhir pada Juni--setelah 14 tahun bertugas, melihat warga Kepulauan Solomon melepaskan semua persenjataan dalam upaya untuk mengendalikan kekerasan di antara faksi-faksi etnis yang berperang.
"Serangan buaya mulai meningkat pada tahun-tahun setelah RMASI tiba, dan kami percaya itu karena penduduk desa tidak lagi memiliki senjata untuk melindungi diri mereka sendiri dan menembak buaya," kata Riolo seperti dikutip dari The Guardian, Selasa (25/7/2017).
"Kami sedang dalam diskusi untuk merencanakan program kontrol buaya pasca-Ramsi, namun saat ini satu-satunya pilihan kami adalah menembak mereka. Ada begitu banyak serangan: populasi buaya berada di luar kendali," imbuh dia.
Wakil direktur konservasi, Joseph Hurutarau, mengatakan bahwa timnya sedang merencanakan survei nasional populasi buaya. Hal tersebut bertujuan agar dapat secara akurat mengukur dan mengeksplorasi alasan di balik meningkatnya jumlah serangan.
Tim Hurutarau meyakini bahwa populasi buaya mulai meningkat sekitar 30 tahun yang lalu, yakni ketika ekspor kulit buaya dilarang. Padahal, industri tersebut sangat menguntungkan bagi penduduk setempat.
Namun, seorang profesor zoologi dan ahli buaya dari University of Queensland, Craig Franklin, memberikan pandangan berbeda atas fenomena tersebut.
"Ketika kita mengatakan bahwa populasi meledak, apa yang juga tumbuh tidak terkendali adalah populasi manusia, dan keduanya sering tercampur aduk. Semakin banyak manusia yang tinggal di negara buaya, semakin besar kemungkinan Anda akan mengalami interaksi negatif dengan buaya ini," ujar Franklin.
Menurut Franklin, jika seekor buaya memang memakan manusia, hewan itu memang perlu ditangkap. Pasalnya, hewan itu akan kembali menguntit manusia begitu ia telah mengidentifikasi mereka sebagai sumber makanan.
Namun, menembak buaya sebagai alat kontrol populasi disebut sebagai hal buruk. Franklin berpendapat, pertumbuhan populasi buaya perlu diperiksa secara hati-hati.
Hurutarau mengatakan, timnya sangat ingin meminta bantuan dari pakar buaya internasional. Tujuannya agar mereka dapat membuat laporan dengan data ilmiah dan informasi yang akan membuktikan bahwa populasi reptil secara perlahan meningkat--seperti yang selama ini diyakini menjadi penyebab meningkatnya serangan buaya.
"Rencana jangka panjangnya adalah mengenalkan kembali ekspor kulit buaya, tapi hanya untuk mengelola populasi dan jumlah serangan. Buaya masih merupakan satwa yang dilindungi dan kita harus menemukan keseimbangan untuk mempertahankan populasi yang sehat tetapi juga untuk melindungi orang-orang yang tinggal di daerah pesisir yang bergantung pada lautan untuk penghidupan mereka," ujar Hurutaru.
Â
Simak juga video berikut ini: