Tolak Tuduhan PBB, Myanmar Bantah Telah Membantai Muslim Rohingya

Diterpa tuduhan genosida oleh PBB, pemerintah Myanmar membantah telah melakukan pembantaian pada muslim Rohingya.

oleh Liputan6.com diperbarui 08 Agu 2017, 09:09 WIB
Diterbitkan 08 Agu 2017, 09:09 WIB
Pengungsi Rohingya
Pengungsi Rohingya duduk di dekat rumahnya setelah Topan Mora menghantam di sebuah kamp di distrik Cox's Bazar, Bangladesh (31/5). Ribuan rumah dan tenda-tenda yang beratap jerami di kamp tersebut hancur akibat Topan Mora. (AFP Photo/Str)

Liputan6.com, Naypyidaw - Meski komunitas internasional meyakini bahwa Myanmar dianggap melakukan kekerasan, persekusi, hingga dugaan eksekusi terhadap etnis Rohingya, pemerintah negara beribu kota Naypyidaw itu menolak tudingan tersebut.

Menurut hasil penyelidikan atas kekerasan di negara bagian Rakhine tahun lalu --yang memaksa puluhan ribu Muslim Rohingya melarikan diri ke Bangladesh-- pemerintah Myanmar menyimpulkan bahwa tidak adanya kejahatan kemanusiaan terhadap etnis tersebut.

Klaim atas "penyelidikan' itu juga membantah dugaan PBB, yang justru menyimpulkan bahwa tentara Myanmar telah melakukan kejahatan kemanusiaan dalam peristiwa tersebut. Demikian seperti dilansir VOA Indonesia, Senin (7/8/2017).

"Tidak ada bukti-bukti kejahatan terhadap kemanusiaan dan pembersihan etnis sebagaimana dinyatakan oleh Kantor Komisioner Tinggi untuk Hak-hak Asasi Manusia PBB," kata Wakil Presiden Myint Swe saat memberikan penjelasan pada peluncuran laporan akhir Komisi Investigasi Rakhine, 6 Agustus lalu.

Sang Wapres juga membantah tuduhan bahwa telah terjadi pemerkosaan secara berkelompok oleh militer saat melakukan operasi keamanan di desa-desa yang dihuni etnis Rohingya.

Myint Swe juga berdalih, penggunaan kekuatan militer yang dilakukan oleh tentara Myanmar merupakan bentuk reaksi atas dugaan serangan yang dilancarkan "militan" ke pos polisi di perbatasan di Maungdaw, Rakhine, Oktober 2016.

Akan tetapi, laporan komisi tersebut menerima beberapa hal yang mungkin telah melanggar undang-undang. Laporan tersebut menyebut sejumlah tindakan berlebihan yang dilakukan oleh masing-masing kelompok yang berkonflik, baik pemerintah maupun kubu oposisi.

Sejumlah lembaga penggiat hak asasi manusia meragukan hasil investigasi yang dirilis oleh pemerintah Myanmar. Aktivis HAM menyebut bahwa penyelidikan itu memiliki metodologi penelitian yang buruk, tidak kredibel, tidak melibatkan pihak non-partisan dan non-pemerintah, serta tidak independen.

PBB berniat ingin mengirim tim pencari fakta untuk melakukan penyelidikan di Maungdaw dan sejumlah lokasi lain di Rakhine. Namun, upaya itu terus ditolak oleh pemerintah Naypyidaw yang tidak mengizinkan tim PBB masuk ke wilayah kedaulatan Myanmar.

Sementara itu, anggota senior komisi pemerintah Myanmar, Zaw Myint Pe, menuding bahwa laporan awal PBB dan Kantor Komisioner Tinggi HAM yang sempat dirilis pada Februari lalu, tidaklah 'objektif'.

"Laporan tersebut tidak berisi rekomendasi konstruktif yang mengarah ke depan, namun justru menuduh Myanmar melakukan genosida dan pembersihan etnis dengan membunuh muslim (Rohingya) dan ini sangat mempengaruhi citra negara kita," kata Zaw Myint Pe.

Pemerintah Myanmar telah menutup Rakhine utara untuk didatangi oleh wartawan independen, pakar hak asasi manusia, dan pekerja kemanusiaan selama hampir sembilan bulan. Pasukan keamanan melancarkan operasi pembersihan agresif di Rakhine pada Oktober 2016, setelah kelompok gerilyawan membunuh sembilan petugas polisi penjaga perbatasan.

 

Saksikan juga video berikut ini

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya