HEADLINE: Muslimah Jadi Presiden, Singapura Membaca Tren?

Di Indonesia, kelompok minoritas juga harus dibuat merasa bagian dari negara. "Bukan sebaliknya, diintimidasi dan direpresi."

oleh Elin Yunita Kristanti diperbarui 14 Sep 2017, 00:01 WIB
Diterbitkan 14 Sep 2017, 00:01 WIB
Halimah Yacob, Presiden Muslimah Pertama Singapura
Halimah Yacob melambaikan tangan saat menyapa pendukungnya usai memberikan pidato di Singapura, Rabu (13/9). Halimah Yacob nantinya akan menggantikan posisi Tony Tan, yang telah 6 tahun menjabat sebagai presiden negara tersebut. (AP Photo/Wong Maye-E)

Liputan6.com, Singapura - Singapura, untuk kali pertama dalam sejarah, mengangkat seorang perempuan sebagai presiden. Halimah Yacob, namanya, berasal dari kalangan minoritas. Ia berlatar belakang etnis Melayu, bergama Islam, dan sehari-hari mengenakan jilbab.

Setelah dilantik pada Kamis, 14 September 2017, Halimah Yacob akan memulai masa jabatannya sebagai presiden selama enam tahun. 

Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong, mengucapkan selamat atas terpilihnya Halimah sebagai presiden ke-8 di Negeri Singa tersebut.

Dalam unggahan Facebook pada Rabu, 13 September 2017, tiga jam setelah Halimah ditetapkan sebagai presiden terpilih, PM Lee memuji rekam jejak perempuan tersebut sebagai anggota serikat, pemimpin masyarakat, anggota parlemen, menteri negara, dan ketua parlemen.

"Dia akan memanfaatkan pengalamannya yang panjang, bekerja dengan orang-orang Singapura dari semua lapisan masyarakat, serta memperjuangkan pekerja, dan kelompok-kelompok yang kurang beruntung," kata PM Lee seperti dikutip dari Straits Times, Rabu (13/9/2017). 

"Presiden adalah puncak dari sistem politik sekaligus simbol negara kita yang multiras dan multiagama. Saya yakin, Halimah akan mampu menjalankan perannya di tengah perbedaan."

Anggota Global Peace Council, Yenny Wahid, berpendapat langkah Singapura memilih presiden muslimah secara tidak langsung menujukkan negeri itu piawai membaca tren. "Bahwa ke depan semua negara harus mencari formulanya sendiri untuk mengelola keberagaman dan perbedaan."

Direktur Wahid Foundation itu menambahkan, Singapura merupakan salah satu negara yang mayoritas penduduknya non-muslim, tapi sudah lama menjalin aliansi dengan kelompok muslim dengan baik. "Presiden pertama Singapura juga muslim."

Indonesia, kata dia, harusnya bisa lebih baik dibanding Singapura dalam mengelola keberagaman. "Indonesia harusnya bisa jadi pelopor utama dalam mengelola keberagaman, karena kebinekaan sudah lama menjadi tradisi."

Artinya, kata dia, di Indonesia kelompok minoritas juga harus dibikin merasa memang bagian dari negara. "Bukan sebaliknya, diintimidasi dan direpresi," ujarnya usai tur bersama Slank, mengampanyekan toleransi dan perdamaian di Ciamis.

Jika bisa secara konsisten menciptakan kondisi tersebut, kata Yenny, Indonesia akan menjadi inspirasi luar biasa bagi dunia.  

Kandidat Tunggal

Jalan Halimah yang lahir tahun 1954 itu ke Istana tak melewati pemilihan seperti seharusnya.  Seperti diketahui, untuk pilpres tahun 2017, hanya calon dari etnis Melayu yang boleh maju jadi capres. Setelah itu, para kandidat akan dipilih secara langsung oleh warga Singapura. 

Dia adalah salah satu calon dalam Pilpres Singapura 2017. Akan tetapi, lewat sebuah mekanisme uji kelayakan yang dilakukan Elections Departments (badan urusan pemilu), hanya dia seorang yang berhasil mendapat sertifikasi layak dari Presidential Election Committee PEC dan Community Committee untuk menjadi presiden Singapura berikutnya.

Seluruh saingan Halimah, menurut Elections Departments, dianggap tidak memenuhi syarat kelayakan, sehingga tidak diperbolehkan untuk ikut bersaing.

Misalnya, Mohamed Salleh Marican, kandidat yang maju dari sektor bisnis, dinilai tak mampu mencapai standar kelayakan. Menurut Konstitusi Singapura, kandidat yang maju dari sektor bisnis harus merupakan individu yang memimpin perusahaan dengan ekuitas saham minimal senilai US$ 500 juta.

Sedangkan, ekuitas saham perusahaan Marican, 2nd Chance Properties yang bergerak di bidang retail, hanya mencapai sekitar US$ 254 juta-263 juta.

Begitu pula kandidat lain yang maju dari sektor bisnis, Farid Khan, seorang pengusaha minyak. Ekuitas saham perusahaannya, Bourbon Offshore Asia Pacific, hanya mencapai sekitar US$ 300 juta.

Adapun untuk dua kandidat lain, Shirwin Eu dan Ooi Boon Ewe, yang maju dari sektor publik juga tak mampu mencapai standar kelayakan.

Menurut konstitusi, kandidat yang maju dari sektor publik harus merupakan individu dengan yang memiliki pengalaman duduk di kursi eselon tinggi pemerintahan selama minimal tiga tahun.

Menurut hasil penilaian Elections Departments, Shirwin dan Boon Ewe belum memenuhi syarat yang diatur dalam Konstitusi.

Gagalnya para saingan menjadikan Halimah sebagai kandidat tunggal.

Karena hanya satu calon seorang, Elections Departments, pada 13 September 2017 menetapkan perempuan berdarah Melayu --yang merupakan kelompok etnis minoritas di Singapura-- itu menjadi presiden untuk periode selanjutnya.

Halimah Yacob adalah warga Melayu pertama yang memegang jabatan presiden dalam kurun waktu 47 tahun. Pendahulunya, adalah Yusof Ishak.

Yusof, yang gambarnya tercantum di uang kertas Singapura, menjadi presiden dari 1965-1970, di tahun-tahun pertama kemerdekaan Singapura.

Meski demikian, kekuatan eksekutif tetap berada di tangan Lee Kuan Yew, perdana menteri pertama Singapura.

Picu Kontroversi

Bagi yang mendukung Halimah, keberhasilannya duduk di kursi kepresidenan merupakan sebuah prestasi. Apalagi mengingat statusnya sebagai kelompok etnis Melayu yang merupakan minoritas.

Tak hanya itu, simpatisannya juga menganggap, perempuan berusia 63 tahun memang sesungguhnya layak menjabat sebagai presiden, terutama ketika menilik sepak terjangnya dunia politik dan pemerintahan. 

Di sisi lain, sejumlah warga Singapura menuding, terpilihnya Halimah Yacob "tak demokratis". Sebab, ia maju tanpa pesaing. 

Sejumlah ekspresi penolakan ditunjukkan. Salah satunya lewat media sosial. Tagar atau hasgtag #NotMyPresident muncul di Twitter. 

"Hanya Halimah yang menerima sertifikat kelayakan. Apakah kalian (pemerintah Singapura) harus sevulgar itu melakukannya? #NotMyPresident," kata pengguna Twitter, Edward C Yong. 

Penolakan juga datang dari etnis Melayu. "Saya warga Singapura. Saya perempuan. Saya Melayu. Namun suara saya bukan untuk pengangkatannya," tulis salah satu warga Nadia Nasser melalui Facebook, seperti dikutip dari BBC. 

Bahkan ada yang menduga, terpilihnya perempuan yang juga memiliki darah India dari sang ayah itu, sudah "diatur". Halimah diduga akan membawa agenda PM Lee Hsien Loong dan kepentingan People's Action Party selama menjalani masa kepresidenannya.

Seperti dikutip dari BBC, aturan baru ditetapkan dalam Pilpres Singapura 2017. Ini adalah kali pertamanya pemilihan presiden hanya boleh diikuti kandidat dari etnis tertentu, dengan alasan inklusivitas. 

Halimah Yacob melambaikan tangan saat tiba untuk menyerahkan berkas pencalonan presiden di Singapura, Rabu (13/9). Halimah menjadi sorotan dunia, karena dia dari etnis Melayu yang selama ini langka jadi pemimpin negeri Merlion. (AP Photo/Wong Maye-E)

Tahun ini, hanya etnis Melayu yang dibolehkan menominasikan diri sebagai kandidat presiden. Oleh warga Singapura, kebijakan itu disebut "reserved presidency".

Karena, sejak Singapura menyelenggarakan pemilu, parlemen hingga pilpres, kelompok etnis berdarah Tiongkok kerap menjadi langganan pemenang.

Hal itu sesuai dengan populasi warga Singapura. Dari 5,7 juta Negeri Singa, 74 persennya adalah etnis China, Melayu (13 persen), India (9 persen), dan sisanya masuk kategori 'lainnya'.

Dan, jika peraturan seperti di atas tidak diterapkan, besar kemungkinan kursi kepresidenan akan kembali diisi oleh Tan Cheng Bock, presiden periode sebelumnya.

Akan tetapi, etnis Melayu di Singapura justru memandang peraturan itu sebagai sebuah bentuk "diskriminasi positif" meski melanggar etika berpolitik negara tersebut yang mengutamakan kemampuan ketimbang latar belakang etnis. Namun, tuduhan itu dibantah pemerintah. 

"Pertanyaan isu rasisme itu muncul. Namun pemerintah tak mau membahas hal tersebut. Padahal, itu adalah isu laten di Singapura," jelas analis politik Bertha Henson dari The Middle Ground, sebuah situs daring independen untuk analisis politik, seperti dikutip dari BBC.

"Singapura mengaku telah 'dewasa' soal isu rasisme. Namun ketika masalah muncul, mereka (pemerintah) tak mau membahasnya, karena dianggap berpotensi menggoyah stabilitas sosial," ia menambahkan.

Seperti yang dikutip dari Channel News Asia, anggota kabinet PM Lee, Chan Chun Sing menganggap bahwa peraturan yang diterapkan terkait pemilu --yang pada akhirnya mengarah pada munculnya "reserved presidency"-- dilakukan demi kebaikan negara di masa depan. 

Kini, warga Singapura memiliki sikap yang campur aduk terkait Presiden baru Halimah Yacob.

Apa pun, terlepas dari kontroversi "reserved presidency" yang dicanangkan pemerintah, perempuan berdarah Melayu-India itu merupakan figur yang sudah lama berkecimpung di dunia politik Singapura.

Sementara, Halimah lebih memilih untuk mengabaikan segala tudingan terkait kontroversi "reserved presidency". "Saya berjanji untuk melakukan segala yang terbaik untuk warga Singapura, dan hal itu pasti akan dilaksanakan, terlepas ada atau tidak adanya pemilu," jelas sang presiden terpilih.

Meski jabatan presiden di Singapura tidak memberikan kewenangan besar dan hanya sebatas simbol negara--mengingat kekuasaan eksekutif dipegang Perdana Menteri--jabatan tersebut tetap dinilai memiliki peranan yang cukup krusial.

Sebab, presiden memiliki kewenangan untuk mencampuri anggaran belanja, dana cadangan negara, dan penunjukan serta pencopotan pejabat pemerintah.

Mantan Penjual Nasi Padang

Sebelum mengajukan diri sebagai kandidat presiden, Halimah telah berkecimpung sebagai aktivis dan politikus selama bertahun-tahun.

Berbekal gelar Sarjana Hukum dari National University of Singapore yang berhasil diraihnya pada 1978, Halimah awalnya mendedikasikan diri sebagai pengacara untuk National Trades Union Congress (NTUC), sebuah serikat raksasa buruh di Singapura.

Setelah giat mengabdi memperjuangkan hak buruh selama bertahun-tahun, pada 1991, ia diangkat sebagai direktur hukum NTUC, dan kemudian sebagai Deputi Sekretaris Jenderal organisasi tersebut.

Sambil menyelam minum air, Halimah juga berhasil meraih gelar Master Hukum di almamaternya pada 2001.

Pada tahun yang sama, setelah makan asam-garam selama bertahun-tahun di dunia hukum dan gerakan buruh, Halimah terpilih sebagai anggota parlemen mewakili konstituen wilayah Jurong, menandai kali pertama bagi perempuan itu terjun ke dunia politik.

Pada 2011, perempuan berdarah Melayu-India itu ditunjuk sebagai menteri yunior (Minister of State) di Kementerian Pemberdayaan Komunitas, Pemuda, dan Olahraga, untuk kabinet Perdana Menteri Lee Hsien Loong.

Ketika terjadi perombakan kabinet pada 2012, ia berpindah jabatan sebagai menteri yunior di Kementerian Sosial dan Pemberdayaan Keluarga.

Sepak terjang Halimah di kementerian itu mendapat pujian dari PM Lee. Maka, sebagai bentuk apresiasi, sang perdana menteri menominasikannya sebagai Kepala Parlemen Singapura pada 2013 dan berhasil menduduki kursi tersebut pada tahun yang sama. Demikian seperti dikutip dari Channel News Asia, Rabu (13/9/2017).

Pada 14 Januari 2013, ia terpilih menjadi Kepala Parlemen Singapura.

Pada Agustus lalu, Halimah kemudian mengumumkan mundur dari jabatan Kepala Parlemen agar bisa menominasikan diri sebagai kandidat presiden untuk Pilpres Singapura 2017.

Banting Tulang

Kerasnya kehidupan mewarnai perjalanan Halimah Yacob ke puncak. Saat usianya delapan tahun, sang ayah, yang berprofesi sebagai penjaga, meninggal dunia.

Sang ibu pun terpaksa banting tulang, mengais nafkah demi membesarkan Halimah dan empat kakak laki-lakinya. Kala itu, mereka tinggal di sebuah flat satu kamar di Hindoo Road.

Setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah, Halimah membantu ibunya berjualan nasi padang dengan sebuah gerobak dorong, sebelum akhirnya sang ibu mendapat lisensi untuk membuka warung makan.

Di samping harus mengerjakan tugas-tugas sekolah, ia juga masih membantu ibunya berjualan. Di lain sisi, uang sekolahnya kerap tak terbayarkan.

Bahkan setelah "jadi orang", Halimah tetap hidup sederhana. Ia dan keluarganya msih tinggal di flat milik negara di Yishun. Ia sudah tinggal di sana sejak 1983.

Halimah bahkan berharap ia dapat terus tinggal di flat murah tersebut, meski sebagai presiden ia berhak menempati Istana.

Dalam sebuah wawancara dengan The Straits Times, dia mengatakan, "Lebih dari 80 persen rakyat kita tinggal di flat milik negara. Jika itu cukup baik bagi mereka, itu cukup baik pula untuk saya".

Saksikan video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya