Liputan6.com, Jakarta - Harum benar nama Dwi Hartanto bagi bangsa Indonesia. Sebagai seorang mahasiswa yang mengenyam pendidikan tinggi di Belanda, pemuda itu mengaku telah mendulang segudang prestasi di bidang aeronautika. Kabar prestasinya itupun banyak dimuat di berbagai media di Tanah Air.
Bahkan kepada Liputan6.com medio Februari lalu, Dwi mengaku telah menamatkan studi doktoralnya di TU-Delft bidang kedirgantaraan, dengan beasiswa dari pemerintah Belanda.
Saat itu, tim Liputan6.com berusaha mewawancarai Dwi lewat Skype. Dia mengaku tengah sibuk berada di Boston, AS dan berjanji akan segera memberi kabar perihal waktu wawancara.
Advertisement
Pemuda itu juga mengaku mengikuti kompetisi riset teknologi kedirgantaraan bergengsi di Jerman pada Juni 2017, yang diikuti oleh ESA (Eropa), NASA (AS), DLR (Jerman), ESTEC (Belanda), JAXA (Jepang), UKSA (Inggris), CSA (Kanada), KARI (Korea), AEB (Brazil), INTA (Spanyol), dan negara-negara maju lain.
Dan ia mengaku berhasil memenangi kompetisi itu.
Dwi mengklaim berhasil 'menyikut' seluruh lawan dan sukses duduk di puncak podium tertinggi dalam bidang bidang kategori riset Spacecraft Technology.
Ia memenangi kompetisi itu dengan mengusung riset yang berjudul "Lethal weapon in the sky" atau senjata yang mematikan di angkasa. Dwi juga mengaku, dari hasil riset tersebut, beberapa teknologi utama sudah berhasil ia patenkan bersama timnya.
"Sesuai dengan judul dalam risetnya, saya dan tim mengembangkan pesawat tempur modern yang disebut sebagai pesawat tempur generasi ke-6," ujar Dwi pada Juni lalu.
"Berawal dari keberhasilan saya dan tim saat diminta untuk membantu mengembangkan pesawat tempur EuroTyphoon di Airbus Space and Defence menjadi EuroTyphoon NG (Next Generation/yang sekarang dalam tahap testing tahap akhir) yang mempunyai kemampuan tempur jauh lebih canggih dari generasi sebelumnya dari segi engine performance, kecepatan, aerodinamik serta teknologi (avionik) tempurnya," lanjutnya menjelaskan segala kegemilangannya.
Alih-alih bisa mewawancarai Dwi karena tarik-ulur dan segala dalih sibuk, sebuah kabar tak enak datang dari Belanda terkait segala pengakuan pemuda itu.
Segala kabar harum semerbak yang Dwi klaim hanyalah sebuah informasi palsu semata. Ia mengaku, sejumlah prestasi ini dan itu yang telah ia klaim hanyalah kebohongan.
"Sebagaimana kita ketahui, di beberapa waktu terakhir ini telah beredar informasi berkaitan dengan diri saya yang tidak benar, baik melalui media massa maupun media sosial. Khususnya perihal kompetensi dan latar belakang saya yang terkait dengan bidang teknologi kedirgantaraan (Aerospace Engineering) seperti teknologi roket, satelit, dan pesawat tempur," jelas pernyataan tertulis bermaterai yang ditandatangani oleh Dwi, seperti yang diperoleh Liputan6.com, Minggu (8/10/2017).
"Melalui dokumen ini, saya bermaksud memberikan klarifikasi dan memohon maaf atas informasi-informasi yang tidak benar tersebut," lanjut Dwi menguak kebohongannya.
Permohonan maaf sebanyak lima lembar yang diparaf oleh Dwi di atas materai itu juga mengklarifikasi seluruh pengakuan palsu dan sesumbar Dwi atas klaim prestasi yang telah ia sebutkan.
Salah satu yang ia klarifikasi dalam surat itu adalah informasi yang diterima Liputan6.com pada Juni 2017 lalu.
Berita itu memuat segudang prestasi yang dicapai Dwi, seperti telah memenangi kompetisi antar space agency di Jerman, memenangi hadiah 15.000 euro, membuat riset dan teknologi 'Lethal weapon in the sky', tengah mengembangkan pesawat tempur generasi ke-6, dan sedang membantu memutakhirkan pesawat tempur varian EuroTyphoon.
Pada akhirnya, dalam surat tersebut, pria yang sempat digadang-gadang sebagai 'the next Habibie' itu mengatakan, "Saya mengakui itu adalah kebohongan semata."
"Teknologi 'Lethal weapon in the sky' dan klaim paten beberapa teknologi adalah tidak benar dan tidak pernah ada," lanjutnya.
"Saya memanipulasi template cek hadiah yang kemudian saya isi dengan nama saya disertai nilai nominal 15.000 euro, kemudian berfoto dengan cek tersebut. Foto tersebut saya publikasikan melalui akun media sosial saya dengan cerita klaim kemenangan saya."
Kemudian ia menambahkan, "Saya tidak pernah memenangkan lomba riset teknologi antar-space agency dunia di Jerman pada tahun 2017."
Dalam surat itu, Dwi juga menjelaskan, proyeknya dalam mengembangkan pesawat tempur EuroTyphoon di Airbus Space and Defence menjadi EuroTyphoon NG juga tidak benar.
Ia bahkan memohon maaf karena telah mengaku sebagai lulusan S3 TU-Delft bidang kedirgantaraan.
Karena sebenarnya Dwi adalah, "(saya) seorang mahasiswa doktoral di TU Delft. Informasi mengenai posisi saya sebagai Post-doctoral apalagi Assistant Professor di TU Delft adalah tidak benar."
Dwi mengklarifikasi, saat ini dirinya masih berstatus mahasiswa doktoral yang tengah menyelesaikan studi S3 di grup riset Interactive Intelligence, Dept. of Intelligent Systems, pada Fakultas yang sama di TU Delft.
Hingga berita ini rilis, Liputan6.com masih menelusuri berbagai informasi dan melakukan klarifikasi mengenai skandal Dwi Hartanto tersebut.