Donald Trump: Korut Negara Pendukung Terorisme

Dalam kebijakan terbarunya terkait Korut, Trump memasukkan negara pimpinan Kim Jong-un tersebut dalam daftar negara sponsor terorisme.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 21 Nov 2017, 07:48 WIB
Diterbitkan 21 Nov 2017, 07:48 WIB
Presiden ke-45 Amerika Serikat Donald Trump
Presiden ke-45 Amerika Serikat Donald Trump (AP Photo/Evan Vucci)

Liputan6.com, Washington, DC - Presiden Amerika Serikat Donald Trump menempatkan Korea Utara dalam daftar negara pendukung terorisme. Hal tersebut ditegaskan Trump pada Senin waktu Washington dalam sebuah pertemuan terbuka dengan kabinetnya di Gedung Putih.

Selain itu, Trump menyatakan Kementerian Keuangan AS akan mengumumkan sanksi terbaru terhadap Korut.

"Hari ini, AS menunjuk Korut sebagai negara sponsor terorisme. Ini seharusnya berlaku sejak lama. Seharusnya sudah bertahun-tahun lalu," ujar Trump seperti dikutip dari CNN pada Selasa (21/11/2017).

Sebelumnya, Korut telah dihapus dari daftar yang sama oleh Presiden George W. Bush pada 2008.

Dalam pernyataannya, Trump mengatakan bahwa Korut telah "berulang kali" mendukung tindakan terorisme, termasuk "pembunuhan di luar negeri.

"Pengumuman ini akan disusul dengan sanksi dan hukuman lebih lanjut bagi Korut... dan mendukung tekanan maksimum kami untuk mengisolasi rezim pembunuh tersebut," ungkap Presiden AS ke-45 itu.

Hal senada diyakini pula oleh Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson yang sebelumnya sempat berseberangan dengan Trump dalam menyikapi krisis nuklir Korut. Sebelumnya, Tillerson berulang kali menekankan akan mengedepankan upaya diplomasi sementara Trump kerap mengumbar retorika perang.

"Sebagai bagian dari strategi tekanan maksimum pemerintah, kami telah meminta seluruh negara di dunia untuk menempatkan tekanan diplomatik dan ekonomi terhadap Korut yang rezimnya mengancam perdamaian dan keamanan internasional dengan perkembangan rudal nuklir dan balistik yang tidak sah, dukungan berbahaya bagi terorisme internasional dan aktivitas mengkhawatirkan lainnya," tutur seorang pejabat di Kementerian Luar Negeri AS.

Pejabat yang sama menambahkan, "Kim Jong-un harus menyadari bahwa satu-satunya jalan menuju masa depan yang aman dan ekonomis adalah meninggalkan pembangunan rudal nuklir dan balistik yang ilegal serta berhenti mendukung terorisme internasional dan bergabung kembali dengan masyarakat global."

Juru Bicara PBB Farhan Haq mengatakan bahwa PBB tidak akan mengeluarkan pernyataan apapun terkait dengan kebijakan Trump. "Itu bukan ranah kami," tutur Haq.

Sanksi Signifikan

Sebelum pengumuman Trump, hanya ada tiga negara yang oleh AS diberi label sponsor terorisme, yaitu Iran, Sudan dan Suriah. Sebuah negara harus "berulang kali menunjukkan dukungannya terhadap terorisme internasional" untuk masuk daftar ini.

Dengan masuknya sebuah negara dalam daftar sponsor terorisme maka kemampuan negara tersebut untuk menerima bantuan luar negeri AS akan berdampak. Larangan ekspor dan impor juga akan berlaku. Selain itu, Washington dimungkinkan untuk menghukum individu atau negara yang berdagang dengan negara yang masuk daftar sponsor terorisme.

Meski demikian daftar tersebut tidak berlaku permanen dan sewaktu-waktu dapat dihapus. Sebuah saja pada 2015, Presiden Barack Obama menghapus Kuba dari daftar sponsor terorisme dan Bush melakukan hal serupa terhadap Korut, Libya dan Irak.

Bush menghapus Korut dari daftar tersebut sebagai bagian dari upaya untuk menyelamatkan kesepakatan nuklir dengan Pyongyang. Namun, perjanjian tersebut tak sesuai harapan dan Korut terus melanjutkan pembangunan nuklir yang mengancam tetangganya dan digadang-gadang mampu menyerang wilayah AS.

Keputusan Trump untuk menempatkan Korut dalam daftar sponsor terorisme didukung oleh mantan pejabat tinggi Korut yang membelot ke Korsel, Thae Yong-ho. Ia menyampaikan hal tersebut di hadapan Komite Urusan Luar Negeri AS pada awal tahun ini.

"Sekali lagi, akan lebih mudah mendorong mereka dari sistem keuangan global dan meyakinkan mitra lainnya untuk mendeteksi saluran yang digunakan Korut demi mendanai pembangunan nuklirnya," jelas Thae.

Ia melanjutkan, "Memasukkan mereka dalam daftar juga akan meningkatkan efektivitas sanksi."

Sebelum membelot, Thae merupakan orang kedua di Kedubes Korut di London, Inggris. Ia melarikan diri bersama istri dan dua anak lelakinya. Keluarga ini tiba di Korea Selatan pada 2016.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya