Kisah di Balik Bir Korea Utara Terakhir di Restoran China

Sejak beberapa bulan lalu, Cui Chengri merasakan bahwa ada yang berubah dari suplai bir untuk restorannya, yang ia pasok dari Korea Utara.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 05 Des 2017, 03:03 WIB
Diterbitkan 05 Des 2017, 03:03 WIB
Bir Korea Utara, Taedonggang Beer (Wikimedia Commons)
Bir Korea Utara, Taedonggang Beer (Wikimedia Commons)

Liputan6.com, Beijing - Salah seorang bos restoran di Beijing, China mencurahkan keluh kesahnya kepada sebuah media Amerika Serikat. Curahan hatinya ternyata berkaitan dengan salah satu isu hangat yang tengah terjadi di Korea Utara, negara yang bertetangga dan memiliki hubungan dekat dengan tanah air si bos restoran.

"Semalam bir Korea Utara terakhir yang restoran saya punya telah terjual kepada salah satu pelanggan," kata Cui Chengri, seorang pemilik restoran di Beijing akhir pekan lalu kepada CNBC, dikutip Senin (4/12/2017).

"Saya perlu menyuplai kembali (bir tersebut), tapi saya tak yakin apakah akan ada lagi," tambahnya.

Sepanjang 2017 ini, China, salah satu sekutu terdekat dan penyumbang 80 persen transaksi perdagangan Korea Utara, telah menerima desakan dari komunitas internasional untuk memutus atau mengetatkan relasi ekonomi dan perdagangannya dengan Pyongyang.

Desakan itu berlandaskan pada sanksi yang dijatuhkan oleh PBB terhadap Korea Utara, sebagai bentuk respons atas program pengembangan rudal dan hulu ledak nuklir Kim Jong-un.

China pun tampak patuh terhadap desakan tersebut -- meski berbagai negara, seperti Amerika Serikat, menganggap Beijing tak melakukan aksi yang optimal dalam mengetatkan relasi dagangnya dengan Korut.

Kendati demikian -- terlepas dari berbagai opini dan komentar politk dari berbagai negara -- China dilaporkan telah merasakan sejumlah dampak dalam beberapa sektor perdagangannya, efek dari pemutusan hubungan dagang dan ekonomi dengan Korea Utara.

Dampak itu turut dirasakan oleh Cui Chengri, si bos restoran yang berada di Beijing tersebut. Rumah makan yang ia kelola adalah satu dari sekian banyak unit bisnis di Tiongkok yang cukup mengandalkan relasi dagang China - Korea Utara.

Namun, sejak beberapa bulan terakhir, Cui merasakan bahwa ada yang berubah dari suplai bir untuk restorannya -- yang ia pasok dari Korea Utara.

"Bir-bir (produksi Korea Utara) tersebut saya beli beberapa bulan lalu. Namun sejak Agustus, rasanya sangat sulit untuk memperoleh bir yang sama," kata Cui.

'Taedonggang Beer', bir yang dimaksud oleh Cui, memiliki botol hijau gelap dengan isi bersih 500 mililiter. Pada label belakang botol itu tertulis, 'Diproduksi dan dikemas di Pyongyang pada 21 Juni 2017'.

Seperti dikutip dari CNBC, bir tersebut diimpor melalui Dandong, sebuah kota perbatasan di China. Dari Dandong, bir tersebut menempuh perjalanan jauh sebelum tiba di restoran Cui yang menyajikan makanan laut dan barbekyu.

Di restoran Cui, Taedonggang Beer dijual dengan harga 30 yuan (setara dengan Rp 61.000). Tak jelas apakah harga tersebut sudah termasuk cukai atau tidak.

Bagi Cui Chengri, si pemilik restoran seafood dan barbekyu di Beijing, bir Korea Utara merk 'Taedonggang Beer' adalah salah satu produk favorit di rumah makannya.

Cui sendiri cukup menikmati minuman beralkohol asal Korea Utara itu, menyebutnya memiliki rasa yang 'manis' ketimbang merk kompetitor.

Seafood Korea Utara Juga Jadi Andalan

Lahir di China dari orang tua beretnis Korea, Cui Chengri sempat mengawali karir sebagai agen wisata bagi turis Tiongkok di Korea Selatan, sebelum akhirnya ia membuka bisnis restoran di Beijing.

Pada bulan-bulan puncak dalam beberapa tahun pertama, restoran Cui menjual sekitar lima ton kerang dan kepiting. Bahan bakunya, sebagian besar bersumber dari Korea Utara yang diduga didistribusi melalui firma pemasok makanan yang berasal dari Korea Selatan.

Tapi kesuksesan tidak bertahan lama. Persediaan makanan laut langsung mendadak dibatasi pada Februari lalu setelah peluncuran rudal Korea Utara.

Beberapa bulan kemudian, suplai tersebut sepenuhnya berhenti, usai sejumlah sanksi baru yang dijatuhkan PBB terhadap Korea Utara pada Agustus 2017.

Kendati demikian, pasokan makanan laut dari Korea Utara dilaporkan masih terus mengalir hingga ke China. Akan tetapi, rute distribusinya haris berjarak lebih jauh dari sebelumnya.

Sekarang, pendistribusian harus menggunakan rute perjalanan Korea Utara - Rusia - China. Dampaknya, harga bahan baku makanan laut itu melonjak 2 - 3 kali lipat.

"Akibatnya, saya kehilangan 90 persen pasokan tersebut," kata Cui Chengri.

Meskipun Beijing mengatakan akan menghentikan penjualan makanan laut Korea Utara di China, tidak mengherankan jika sejumlah di antaranya masih tetap masuk melalui jalur lain, kata Michael Kovrig, penasihat senior untuk Asia Timur Laut di International Crisis Group, sebuah organisasi analisis independen .

"Menghentikan distribusi itu akan mengharuskan China untuk mendedikasikan lebih banyak sumber daya mereka untuk penegakan hukum dan investigasi," kata Kovrig.

"China menerapkan sanksi relatif ketat. Tapi pertanyaannya, apakah mereka bisa berbuat lebih banyak untuk memantau dan menegakkan kepatuhan?" tambahnya.

Akan tetapi, lanjut Kovrig, Beijing khawatir terhadap konsekuensi atas pengimplementasian pembatasan relasi dagang dengan China yang sangat ketat.

"Karena akan dapat membuat Korea Utara tidak stabil dan China tak ingin mengambil risiko itu," tambahnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya