Liputan6.com, Pyongyang - Sebagai negara yang dikendalikan oleh rezim otoriter, kuat dugaan Korea Utara memiliki sejumlah kamp penahanan.
Isinya, berbagai individu pelanggar hukum hingga mereka yang diketahui berpotensi atau sudah melakukan pembangkangan terhadap rezim Korea Utara yang berkuasa, mulai yang dipimpin oleh Kim Il-sung, Kim Jong-il, hingga kini Kim Jong-un.
Di dalam kamp penahanan itu, menurut berbagai kesaksian, para penghuni mengalami berbagai penderitaan dan segala nestapa yang sangat perih.
Advertisement
Baca Juga
Dewan Keamanan PBB, yang telah mendengar sejumlah kesaksian para penghuni kamp penahanan di Korut pun menyebut, sistem pemenjaraan rezim Kim Jong-un jelas-jelas mempraktikkan kejahatan kemanusiaan kepada para tahanan.
Tindakan kejahatan kemanusiaan di dalam kamp tahanan Korea Utara beragam, mulai dari pemukulan, kerja paksa, pemaksaan kelaparan, aborsi paksa, pembunuhan hingga mengumpan jasad tahanan ke anjing.
Demi membuka mata dunia tentang salah satu praktik kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh 'rezim para Kim', berikut kesaksian 4 tahanan -- dari berbagai contoh -- tentang kekejaman penjara Korea Utara. Seperti Liputan6.com kutip dari berbagai sumber (19/12/2017).Â
1. Tahanan Dipaksa Aborsi, Jasad Jadi Makanan Anjing
Seorang perempuan pembelot Korea Utara mendeskripsikan pengalaman mengerikan yang ia rasakan semasa menjalani hukuman di kamp penahanan di negaranya sendiri.
Sang pembelot memaparkan pengalamannya di dalam pertemuan khusus Dewan Keamanan PBB yang membahas tentang nasib nahas perempuan Korea Utara yang menjalani hukuman di kamp penahanan akibat melakukan pembelotan.
Forum berjudul "The Terrifying Experience of Forcibly Repatriated North Korean Women" yang digelar pada Senin 11 Desember 2017 itu dihadiri oleh perwakilan sejumlah negara anggota DK PBB.
Ji Hyeon-a memaparkan, dirinya pernah menyaksikan jasad salah satu penghuni kamp tahanan yang diumpan ke anjing oleh penjaga Korea Utara.
Ia juga mendeskripsikan pengalaman sejumlah perempuan hamil yang dipaksa untuk aborsi oleh pengawas kamp tahanan tersebut.
"Perempuan hamil juga dipaksa melakukan kerja paksa sepanjang hari. Malamnya, kami mendengar para ibu hamil berteriak dan bayi-bayi tewas sebelum mampu melihat ibu mereka sendiri," kata Ji Hyeon-a seperti dikutip Foxnews.com, Selasa 12 Desember 2017.
Ji Hyeon-a melanjutkan, perempuan pembelot yang hamil yang mengandung bayi usai berhubungan seks dengan warga asing non-Korut, akan dipaksa untuk menggugurkan kandungannya.
"Karena Korea Utara tak mengizinkan bayi ber-ras campuran," paparnya.
Ia sendiri sempat menjadi korban aborsi paksa, karena mengandung bayi saat membelot ke China beberapa tahun silam.
Setelah otoritas Tiongkok melakukan re-patriasi terhadapnya, Ji Hyeon-a kemudian ditangkap dan menjalani hukuman di salah satu kamp kerja paksa di Korea Utara.
Saat menjalani hukuman di kamp tersebut, Ji Hyeon-a dipaksa untuk menggugurkan kandungannya yang masih berusia tiga bulan.
"Anak pertama saya tewas saat masih belum bisa melihat dunia, saat saya belum sempat mengucapkan maaf kepadanya," kenang Ji.
Perempuan malang itu pun akhirnya berhasil membelot kembali ke Korea Selatan pada 2007. Dan hingga kini, Ji Hyeo-a merasa sangat bebas ketimbang menjalani hari-hari di Korea Utara.
Advertisement
2. Kerja Paksa
Kenneth Bae menghabiskan nyaris dua tahun bekerja paksa di penjara Korea Utara. Lantas, ia terancam 10 tahun penjara lagi.
Beruntung, ia akhirnya dibebaskan oleh rezim Kim Jong-un pada akhir 2014 lalu. Setelah dua tahun, Bae akhirnya bersaksi mengenai hari-hari yang ia habiskan di dalam penjara di negeri paling mengisolasi diri di muka Bumi itu.
Bae adalah warga AS yang paling lama ditahan Korut semenjak Perang Korea. Pada 2013, Bae divonis 15 tahun kerja paksa karena dianggap telah melakukan perbuatan tak menyenangkan terhadap negara itu
"Aku bekerja dari pukul 8.00 hingga 18.00, di ladang, mengangkut batu dan mencangkul batu bara," kenang Bae.
Selain tubuhnya yang sakit, ia juga kerap dihina oleh petugas Korut.
Ia ingat, salah seorang petugas tiap saat mengatakan,"'Tak ada orang yang bakal ingat denganmu. Kamu sudah dilupakan orang-orang dan pemerintahmu. Kamu tak akan pulang... kamu akan mendekam 15 tahun di sini. Kalau beruntung, kamu berusia 60 tahun saat pulang nanti,'" kata Bae.
Namun, Bae tetap punya harapan.
Harapannya terkabul pada November 2014 setelah perwira tinggi AS membawa surat dari Presiden Barack Obama tiba di Pyongyang. Tak lama kemudian, pemimpin tertinggi Korut, Kim Jong-un membebaskannya.
Bea lahir di Korsel dan menjadi warga negara Amerika Serikat. Ia pindah ke China pada 2005 dan membuat perusahaan wisata khusus ke Korut.
Ia tengah memimpin grup wisata saat ditahan pada November 2012. Ia divonis pada April 2013 atas perbuatan yang merugikan negara.
Tak jelas mengapa Bae sampai ditahan. Namun, sebuah pernyataan Korut menuliskan, pria itu telah membuat kesalahan fatal dengan membawa hard drive yang berisi materi anti-Korut secara tak sengaja.
Selain itu, Bae adalah seorang Nasrani dan beberapa orang berspekulasi ia ditahan karena dianggap menyebarkan agama. Padahal Korut secara resmi ateis.
Apapun tuduhannya, kepercayaan Bae bahwa suatu hari akan pulang, membuatnya kebal terhadap segala siksaan fisik dan verbal.
Satu tahun setelah Bae divonis penjara, CNN menyamar sebagai turis ke Korut berhasil bertemu dengan Bae dan dua tahanan AS lainny Matthew Todd Miller dan Jeffrey Edward Follew. Pertemuan itu dirancang oleh pemerintah (AS).
Tiap tahanan diperbolehkan berbicara 5 menit kepada CNN di sebuah hotel di Pyongyang meminta untuk dibebaskan.
Selama ditahan, Bae kehilangan bobot tubuhnya sebesar 27 kg.
Dua bulan setelah wawancara itu, pada November 2014, Bae dan Miller dibebaskan. Sementara Fowle lebih dahulu bebas pada Oktober 2014.
Â
3. Tahanan Perempuan Dilecehkan Secara Seksual
Kang Chol Hwan telah menjalani hidup selama lebih dari 10 tahun di Kamp Yodok, salah satu penjara Korea Utara.
Ia ditahan setelah mendiang kakeknya dituduh mengkhianati pemerintahan Kim Jong-il pada tahun 1980. Korea Utara mempunyai banyak kamp yang dikhususkan untuk warga dengan kejahatan tertentu. Kamp Yodok khusus diisi oleh orang-orang yang dituduh mengkhianati negara.
Setelah as dekade, Chol Hwan berhasil lolos dari kamp paling mengerikan di Korea Utara itu. Chol Hwan sempat merekam bagaimana aktivitas tahanan-tahanan lain dan betapa mengerikannya tumbuh di kamp tersebut. "Kami bangun jam 05.00 pagi dan dipaksa bekerja sampai matahari terbenam," kata Chol Hwan, dilansir dari Reddit, Rabu 6 April 2016.
Chol Hwan juga diketahui membawa USB yang berisi data dan rekaman film dokumenter tentang kehidupan orang-orang di sana. "Tak jarang kita dipaksa menonton orang yang disiksa lalu dihukum mati," ujarnya.
Ia mengaku berhasil meloloskan diri karena bantuan dari Pemerintah Korea Selatan. Ia merasa tidak tahan dengan kehidupan yang ia rasakan di sana. "Semuanya serba dikekang. Ketika Anda merencanakan akan liburan ke mana, maka di sana Anda akan serba diawasi," ujarnya.
Bahkan Chol Hwan menyebut seandainya, negara-negara perbatasan mau membuka akses untuk setiap orang yang berada di kamp, tidak menutup kemungkinan akan terjadi pembelotan massal. Oleh karena itu, Chol Hwan berharap pemerintah di negara-negara lain di seluruh dunia bisa membantu 'membebaskan' tahanan di kamp-kamp Korea Utara.
Sebagai pemimpin diktator saat ini, Kim Jong-un sengaja memberikan hukuman yang berat untuk warganya yang membelot. Kim juga getol menutup segala macam informasi dari luar agar warganya tidak terpengaruh. "Harapan cerah di Korea Utara di masa depan tergantung pada, apakah Kim Jong-un masih hidup atau tidak," katanya.
Selama melarikan diri, ia tinggal di Korea Selatan. Sementara keluarga Chol Hwan yang berhasil meloloskan diri sebelum ditangkap, diketahui tinggal di Jepang. Dalam masa itu lah Chol Hwan membandingkan betapa beda kehidupan di Korea Utara dan Korea Selatan.
Chol Hwan mencontohkan tentang perlakuan terhadap perempuan. Di Korea Utara, khususnya di kamp, perempuan diperlakukan amat kasar. Sementara di Korea Selatan, perempuan begitu dihormati bahkan mendapat hak yang sejajar dengan laki-laki. "Di sini (Korea Selatan) saya melihat wanita merokok, yang itu tak bisa dibayangkan terjadi di Utara.
Kendati demikian, Chol Hwan percaya rezim Kim Jong-un tidak akan bertahan selama lima tahun ke depan. Sehingga Korea Utara akan mempunyai harapan yang bagus di masa depan.
Â
Advertisement
4. Menggali Kuburan untuk Diri Sendiri
Ada kamp-kamp konsentrasi yang mengerikan di Korea Utara. Pyongyang selalu membantah keberadaannya, namun, hasil observasi lembaga pegiat HAM dan kesaksian para pembelot berkata lain.
Lembaga aktivis HAM, Amnesty Internasional pada 2011 merilis gambar satelit Kamp Kwanliso nomor 15 dan 16. Di mana penyiksaan merajalela dan eksekusi mati adalah tontonan biasa.
Bukti keberadaan kamp tersebut, lengkap dengan keterangan saksi telah disampaikan kepada Komisi Penyelidikan PBB yang menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia di Korut.
Kamp Kwanliso 15, yang juga dikenal sebagai Yodok, memiliki luas 367 kilometer persegi, terletak di kawasan tengah Korut, sekitar 72 kilometer dari ibukota Pyongyang.
Keterangan saksi menggambarkan kengerian yang terjadi dalam kamp tahanan. Amnesty mewawancarai salah satu mantan pegawai keamanan kamp Kwanliso 16 bulan lalu .
Sebut saja namanya Lee. Ia mengungkap horor tentang bagaimana para tahanan dipaksa menggali kuburnya sendiri sebelum dibunuh dengan hantaman palu di tengkuk.
Lee juga menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana penjaga mencekik tahanan dan memukuli mereka sampai mati dengan tongkat kayu.
Penulis laporan dan peneliti Amnesty untuk isu Korut, Rajiv Narayan, mengatakan kondisi di negara itu makin parah. "Di bawah kepemimpinan baru Kim Jong-un, pelanggaran HAM di Korut melebihi apa yang dibayangkan," kata dia.
"Orang-orang dikirim ke kamp tahanan politik tanpa tuduhan yang jelas, apalagi disidang. Beberapa hanya karena alasan sederhana, sudah tak lagi disukai."
Amnesty mengklaim banyak tahanan yang diduga ditahan atas kesalahan yang tak seberapa seperti menonton opera sabun atau sinetron asing atau memeluk agama tertentu. Sementara yang lain dipenjara hanya karena memiliki anggota keluarga yang secara politis tak lagi dikehendaki .
"Kami mendesak pemerintah Korut mengakui keberadaan kamp-kamp, menutupnya, dan memberikan akses tanpa hambatan ke pemantau hak asasi manusia independen seperti Amnesty International," kata Narayan.