Liputan6.com, Jakarta - Media ternama Amerika Serikat, The Economist, telah merilis Indeks Demokrasi Dunia Tahun 2017 pada 30 Januari 2018. Indeks demokrasi itu merupakan proyek salah satu sayap lembaga think-tank media tersebut; The Economist Intelligence Unit.
Indeks itu memaparkan tentang penilaian keberlangsungan demokrasi pada setiap negara dunia, yang diukur dengan menggunakan lima variabel penilaian.
Lima variabel penilaian indeks demokrasi itu meliputi; (1) proses elektoral dan pluralisme, (2) keberfungsian pemerintahan, (3) partisipasi politik, (4) kultur politik, dan (5) kebebasan sipil.
Advertisement
Hasil penilaian yang diukur dari kelima variabel itu akan menghasilkan skor rata-rata yang dijadikan sebagai tolok ukur penetapan peringkat indeks.
Baca Juga
Tiga negara kawasan Eropa Utara meliputi Norwegia, Islandia, dan Swedia berturut-turut menempati posisi tiga teratas dalam indeks tersebut.
Norwegia mencatat skor 9,87, diikuti Islandia dengan skor 9,58, dan Swedia dengan nilai 9,39. Masing-masing negara memiliki penilaian sempurna atau nyaris sempurna pada lima variabel penilaian indeks.
Selandia Baru (4) menjadi negara yang menduduki peringkat tertinggi dari seluruh negara di kawasan Asia Pasifik.
Australia di posisi ke-8, Inggris berada di posisi ke-14, dan Spanyol berada pada posisi ke-19.
Mereka yang duduk di peringkat 1 - 19 dalam indeks tersebut dikategorikan oleh The Economist sebagai negara dengan pemerintahan yang menerapkan sistem demokrasi secara penuh.
Bagaimana dengan posisi Indonesia dalam indeks demokrasi tersebut?
Â
Saksikan juga video pilihan berikut ini:
Negara dengan Sistem 'Demokrasi Cacat'
Korea Selatan dan Amerika Serikat, yang secara berurutan duduk di peringkat 20 dan 21 masuk dalam kategori negara dengan pemerintahan demokrasi yang cacat.
Kategori itu memiliki rentang peringkat 20 - 76, di mana Indonesia bertengger pada posisi 68.
Seperti dikutip dari The Economist, Indonesia memiliki skor rata-rata 6,39.
Media AS itu mencatat, variabel "proses elektoral dan pluralisme" RI memiliki skor 6,92. Sementara, variabel "keberfungsian pemerintahan" Indonesia memiliki skor 7,14 -- skor tertinggi dari total lima variabel penilaian.
Sementara itu, variabel "partisipasi politik", "kultur politik", dan "kebebasan sipil" Indonesia memiliki skor 6,67; 5,63; dan 5,59.
The Economist menyebut bahwa posisi Indonesia dalam indeks tersebut merosot tajam 20 puluh peringkat dari penghitungan tahun 2016 -- menjadi sebuah noktah hitam bagi keberlangsungan demokrasi di Tanah Air.
Penyebab kemerosotan itu, kata The Economist, dipicu oleh "Dinamika politik pada Pilkada DKI Jakarta 2017", isu seputar mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, serta bangkitnya gerakan sosial-masyarakat berbasis keagamaan atau primordialisme.
Advertisement
Secara Keseluruhan, Demokrasi di Asia Mengalami Kemerosotan
Seperti dikutip dari CNBC, Indeks Demokrasi 2017 versi The Economist menjadi cerminan mengenai fenomena kemerosotan demokrasi di kawasan Asia tahun lalu.
Dalam indeks tersebut, Asia -- dengan skor 5,63 -- merupakan salah satu kawasan yang duduk di posisi terbawah, setelah Amerika Utara (8,56), Eropa Barat (8,38), dan Amerika Latin (6,26).
"2017 menjadi tahun kemerosotan demokrasi bagi Asia, dengan performa paling mengecewakan sejak 2010 - 2011," kata Duncan Innes-Ker, Direktur Asia untuk The Economist Intelligence Unit.
"Tren regresif itu disebabkan oleh maraknya konsolidasi kekuasaan di antara pemimpin (meski mengklaim menerapkan pemerintahan yang demokrasi), meningkatnya intolerasi terhadap minoritas, serta ekspresi masyarakat yang terkekang di sejumlah wilayah Asia," tambah Innes-Ker.
Korea Utara, sebagai salah satu negara di Asia, duduk di peringkat bontot dalam indeks tersebut, pada posisi ke-167.