Liputan6.com, Jalur Gaza - Ketegangan di perbatasan Jalur Gaza-Israel terus memanas, seiring seruan Friday of Fire atau Pertempuran Jumat yang digaungkan warga Palestina.
Sementara itu, Israel menegaskan tidak akan mengubah aturan mainnya dalam menghadapi demonstrasi enam minggu (Great March of Return) yang dimulai pada 30 Maret dan berakhir pada Mei, tepatnya pada Hari Nakba.
Baca Juga
Unjuk rasa selama enam minggu ini akan mencapai puncaknya pada setiap Jumat mengingat hari ini merupakan hari suci bagi umat muslim. Palestina mengatakan, aksi ini bertujuan untuk merebut kembali tanah kelahiran mereka yang direnggut oleh Israel pada tujuh dekade silam.
Advertisement
Menteri Pertahanan Israel, Avigdor Liberman, memperingatkan para demonstran agar mematuhi aturan. Bagi siapa saja yang melanggar atau berupaya melanggar, maka pasukan yang berjaga di perbatasan akan menembaknya tanpa basa-basi, kata Liberman dalam sebuah sesi wawancara di Israeli Army Radio pada Rabu malam, 4 April 2018.
Selama melakukan unjuk rasa besar-besaran, warga Palestina berpotensi menghadapi kekerasan yang dilakukan militer Israel. Terlebih bila warga mengancam akan melakukan aksi lebih masif tiap Jumat.
"Ini akan menjadi akhir pekan berdarah," ujar mantan kepala kontraterorisme Israel, Brigadir Jenderal (Reserve) Nitzan Nuriel, seperti dikutip dari CNN, Jumat (6/4/2018).
Ia menyebut daerah perbatasan Jalur Gaza-Israel adalah zona merah.
"Mereka yang mencoba mendekati wilayah kami akan kami anggap sebagai target. Mereka boleh berdemo, asal tidak melintasi zona merah itu. Jika demikian, maka ada harga mahal yang harus dibayar," tegas Nuriel.
Penembakan yang dilakukan oleh tentara Israel disebabkan oleh kekhawatiran adanya campur tangan Hamas dan Jihadis Islam dalam aksi demo.
Ribuan ban telah disiapkan untuk dibakar di perbatasan Gaza, tujuannya mengaburkan pandangan penembak jitu tentara Israel.
Warga Gaza yang tinggal di kamp pengungsian Abu Safia menyebut ban-ban itu disiapkan untuk melindungi para demonstran.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Peristiwa Paling Mematikan di Gaza?
Demonstrasi Jumat pekan lalu berakhir dengan konfrontasi penuh kekerasan sekaligus jadi hari paling mematikan di Gaza, sejak peperangan pecah pada 2014. 17 warga Palestina tewas, sedangkan dua lainnya meninggal beberapa hari kemudian, karena menderita luka parah akibat ditembaki tentara Israel.
Secara signifikan, konfrontasi skala lebih kecil terus berlanjut sepanjang minggu ini, mengakibatkan sejumlah insiden berdarah di darat dan meluas ke laut.
Beberapa hari lalu, Angkatan Laut Israel menembaki kapal nelayan Palestina, memaksanya masuk ke "zona memancing yang ditentukan" (6 mil), menurut pernyataan Pasukan Pertahanan Israel (IDF).
"Tiga nelayan mengalami luka ringan", kata otoritas setempat. Jumlah korban tewas dalam satu minggu menjadi 20 orang.
Sedangkan pada Rabu malam, seorang warga Palestina dilaporkan tewas dalam serangan udara Israel. Namun, IDF mengatakan, pihaknya hanya menargetkan teroris bersenjata yang berada di daerah perbatasan di Gaza utara.
Palestina dan organisasi HAM dunia menuduh Israel menggunakan kekuatan berlebihan dan ilegal dalam menghadapi "aksi damai" itu.
Organisasi HAM Israel, B'Tselem, meluncurkan kampanye yang disebut Sorry Commander, I cannot shoot untuk mendesak tentara Israel agar tak menembaki para pengunjuk rasa, pasalnya tak ada satupun demonstran yang membawa senjata api.
Koordinator Khusus PBB untuk Proses Perdamaian Timur Tengah, Nickolay Mladenov, menekan pasukan Israel dan Palestina untuk menahan diri. Ia meminta agar protes dijalankan dengan cara damai. Warga sipil, terutama anak-anak, tidak boleh dilibatkan di dalamnya atau menjadi sasaran penembakan dengan alasan apapun.
Advertisement