Liputan6.com, New York - Blok negara-negara berkembang yang tergabung dalam keanggotaan PBB, telah memilih Palestina sebagai pemimpin mereka selanjutnya, dalam upaya perlawanan simbolis terhadap Amerika Serikat (AS) dan Israel.
Komunitas yang berjuluk Kelompok 77 itu --kini anggotanya mencakup 135 negara-- pertama kali dibentuk pada 1964 silam, dengan tujuan mempromosikan ekonomi kolektif dan meningkatkan kapaitas negosiasi antar anggotanya.
Dikutip dari Independent.co.uk pada Kamis (26/7/2018), ruang lingkup pembahasan agenda kolektif Kelompok 77 disebut mewakili total hampir 80 persen populasi dunia.
Advertisement
Terpilihnya Palestina sebagai ketua kelompok untuk kepemimpinan 2019, oleh beberapa pengamat, disebut sebagai kemenangan diplomatik bagi Ramallah.
Di lain pihak, baik Israel maupun AS, menentang penguatan pengaruh politik Palestina, sebelum setidaknya tercapai penyelesaian perdamaian di tengah berbagai konflik di Jazirah Arab.
Â
Baca Juga
Duta Besar Palestina untuk PBB, Riyad Mansour, mengkonfirmasi berita keputusan Kelompok 77 sebagai misi pemenuhan syarat untuk bergabung dengan badan-badan penting dunia, seperti Pengadilan Kriminal Internasional dan Unesco.
Rakyat Palestina menggunakan keanggotaan dari kedua lembaga itu untuk meningkatkan dukungan terhadap cita-cita kemerdekaan, menjadi medium untuk melaporkan keluhan tentang dugaan pelanggaran HAM oleh Israel, serta aksi advokasi untuk protes terhadap perluasan pemukiman di Tepi Barat.
"(AS dan Israel) masih menyangkal kami adalah sebuah negara," kata Mansour kepada The New York Times.
"Kami berjalan seperti sebuah negara. Kami berbicara seperti negara. Karena itu kami adalah sebuah negara berdaulat," lanjutnya percaya diri.
Â
Simak video pilihan berikut:Â
Â
Â
Hambatan Baru Muncul
Langkah untuk memberi Palestina kursi kepemimpinan pada delegasi besar itu muncul ketika ketegangan dengan Israel meningkat, yang dipicu oleh memburuknya kondisi kemanusiaan di Jalur Gaza, dan hambatan baru dalam proses perdamaian akibat kebijakan pemerintahan AS.
Keputusan Donald Trump untuk memenuhi janji kampanye pemilu Desember lalu, yakni mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, memicu kecaman luas di seluruh komunitas muslim dunia.
Hal tersebut juga menyebabkan pemimpin Otorita Palestina memutuskan hubungan diplomatik dengan AS, menyatakan Gedung Putih tidak bisa lagi menjadi "perantara jujur" antara Ramallah dan Tel Aviv.
Buntunya negosiasi konflik Israel-Palestina, disebut oleh beberapa pihak, semakin buruk terkait dengan prioritas kebijakan luar negeri AS.
Advertisement