Pemimpin Kelompok Bersenjata Libya dan Yaman Minta Sokongan dari Rusia

Pemimpin kelompok bersenjata di Libya dan Yaman tengah meminta Rusia untuk mengintervensi menyelesaikan konflik yang melanda kedua negara tersebut.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 10 Agu 2018, 14:00 WIB
Diterbitkan 10 Agu 2018, 14:00 WIB
Jelang Pawai Hari Kemenangan, Kendaraan Militer Rusia Penuhi Jalanan
(ilustrasi) Sejumlah tentara Rusia berada di dekat tank saat melakukan latihan untuk parade militer Hari Kemenangan di Moskow, Rusia (3/5). Pawai akan berlangsung pada 9 Mei di Lapangan Merah Moskow. (AP Photo / Pavel Golovkin)

Liputan6.com, Moskow - Pemimpin kelompok bersenjata di Libya dan Yaman dilaporkan tengah meminta Rusia untuk melakukan intervensi, demi menyelesaikan konflik berkepanjangan yang melanda kedua negara tersebut.

Jenderal Ahmed Al Mesmari, juru bicara Libyan National Army yang dipimpin Jenderal Khalifa Haftar --satu dari dua faksi yang tengah memperebutkan kekuasaan di Libya-- mengatakan pada Rabu 8 Agustus bahwa dukungan Rusia diperlukan untuk "melengkapi pasukannya dan membantu membentuk pemerintah nasional yang bersatu." Demikian seperti dikutip dari Newsweek, Jumat (10/8/2018).

Di bawah pemimpin lama Moammar Khaddafi, Libya dan Rusia menikmati hubungan militer yang kuat, tetapi hubungan itu jatuh setelah pemberontakan tahun 2011 yang didukung Barat dan larangan internasional untuk Rusia dalam menjual senjata kepada pasukan bersenjata Libya.

Mesmari menambahkan, "hubungan militer Rusia-Libya sudah terjalin sejak lama," ujarnya kepada media Rusia Sputnik, seperti dikutip dari Newsweek.

"Saat ini, kami sepenuhnya sudah dipersenjatai dengan senjata Rusia dan indoktrinasi militer blok Timur, oleh karena itu kebutuhan Libya akan bantuan Rusia semakin meningkat seiring perang melawan teror terus berlanjut."

Libyan National Army terafiliasi dengan kelompok politik Haftar yang menguasai Libyan National Congress yang berkedudukan di Libya timur. Mereka berkomposisi dari pejabat militer pengikuti Khaddafi.

Haftar saat ini tengah bersaing memperebutkan kekuasaan Libya dengan faksi politik Government of National Accord Libya yang berkedudukan di Tripoli dan didukung oleh PBB dan Barat.

Komunitas internasional telah berusaha untuk mendamaikan kedua faksi tersebut dan Rusia telah bersumpah untuk memainkan peran utama dalam mencapai resolusi.

Bercermin pada bagaimana Rusia membantu Presiden Suriah Bashar Al Assad dan angkatan bersenjatanya mengatasi pemberontakan yang didukung Barat, Mesmari mengatakan dukungan Moskow akan berguna bagi Tentara Nasional Libya.

Rusia sendiri telah mempertahankan kontak dengan pemerintah Tobruk dan Tripoli. Tetapi, beberapa tahun terakhir, Moskow secara khusus telah sedikit condong ke Haftar, dalam upaya untuk mendorong pengaruh Barat di Tripoli.

 

Simak video pilihan berikut:

Pemberontak Yaman Minta Bantuan Rusia

Ilustrasi tentara Rusia
Ilustrasi tentara Rusia (AP)

Lebih dari 2.000 mil jauhnya, pemimpin faksi politik di Yaman yang pro-Houthi turut meminta bantuan Rusia.

Bulan lalu, pemimpin Supreme Political Council Mahdi Al Mashat yang pro-Houthi menulis surat kepada Presiden Rusia Vladimir Putin, menurut laporan kantor berita Yaman Saba News Agency, serta surat kabar Saudi Asharq Al Awsat.

Di dalam surat itu, Mashat menyatakan keinginannya untuk memperkuat hubungan dengan Rusia dan menyatakan harapan bahwa Moskow akan memainkan peran utama dalam memblokir serangan koalisi pimpinan Saudi dan mengakhiri apa yang disebut oleh PBB sebagai krisis kemanusiaan terburuk di dunia.

Surat itu dikirim di tengah pertempuran yang sedang berlangsung antara koalisi Saudi dengan Houthi untuk memperebutkan kota pelabuhan Hodeidah di Yaman barat.

Sementara Moskow menyatakan tidak berniat melakukan campur tangan di Yaman dan bahkan telah membela Arab Saudi, namun Kementerian Luar Negeri Rusia memperingatkan pada bulan Juni bahwa "pertempuran di Hodeidah akan membawa konsekuensi bencana ke seluruh Yaman," menurut media Tass yang dikelola Kremlin.

Rusia juga telah memblokir prakarsa-prakarsa PBB yang ditujukan untuk menghukum sekutunya, Suriah dan Iran karena dituduh mempersenjatai kaum Houthi --meski hal itu disangkal banyak pihak, termasuk Iran, Suriah, Rusia, dan Houthi sekalipun.

Demonstrasi Arab Springs 2011 telah mendorong Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh untuk mengundurkan diri pada tahun 2012.

Dia digantikan oleh Presiden Abed Rabbo Mansour Hadi, yang pemerintahannya diguncang oleh ketidakpuasan rakyat dan kemunculan kelompok pemberontak saingan yang dilancarkan oleh Houthi, serta kelompok militan Muslim Sunni Al Qaeda.

Kaum Houthi berhasil sepenuhnya mengambil alih ibukota Sana'a pada 2015, dan Arab Saudi mulai membom para pemberontak dengan bantuan koalisi regional yang didukung AS untuk mengembalikan Hadi ke pucuk kekuasaan.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya