Liputan6.com, Newport - Bagi Lucy Taylor asal Wales yang memiliki gangguan syaraf langka yang disebut idiopatik hipersomnia, tidur adalah sebuah momok menakutkan.
Gangguan syaraf itu membuatnya mengantuk secara kronis dan dia membutuhkan banyak alarm hingga obat-obatan untuk membangunkannya dari terlelap.
"Aku seperti di bawah air dan mencoba untuk naik ke permukaan, tetapi itu mendorongku untuk terus tertidur," ujar Lucy.
Advertisement
"Waktu terlama aku tidur adalah pada suatu waktu di hari Jumat, ketika ibuku membawa putriku liburan akhir pekan. Kala itu, aku tidur hari Jumat saat minum teh (sore hari waktu Britania) dan bangun pada hari Minggu sore (dua hari berikutnya)," kata Lucy, seperti dikutip dari BBC, Senin (10/9/2018).
Baca Juga
Lucy (42) dari Marshfield, Newport, berbagi kisahnya sebagai sampel kecil dari data statistik medis yang menunjukkan peningkatan 30 persen jumlah orang yang membutuhkan perawatan rawat inap untuk gangguan tidur di Wales dalam lima tahun terakhir.
Ibu satu anak itu, yang bekerja di bidang properti perumahan sosial, membutuhkan antara 12 hingga 15 obat tablet berbagai rupa dan jenis setiap hari untuk membantunya bangun dan tetap terjaga di siang hari.
Opsi lain; menggunakan alarm yang sangat banyak, termasuk yang memiliki daya getar hingga 120 desibel, atau meminta bantuan ibunya, Sue, untuk memberikan obat yang bekerja membangunkannya dari tidur.
Bagi Lucy, kondisi itu menyiksanya. Disorientasi waktu menjadi momok khusus.
"Saya sering bangun dengan merasa panik serta sulit menentukan apakah sudah jam enam pagi atau enam sore, serta bingung untuk tahu hari apa saat bangun tidur, apakah saya sudah tidur dan melewatkan satu hari penuh," katanya.
"Itu bukan perasaan yang menyenangkan. Meski aku ingin tidur, tapi tidur adalah musuh. Itu membuatku tidak melakukan apa yang ingin kulakukan, tapi hanya itu yang ingin kulakukan."
Ketika Lucy akhirnya bangun setelah tidur panjang, ia merasa seperti berada dalam semacam "kabut tidur" di mana ia bisa merasakan hal-hal di sekitarnya dengan kabur dan tidak bisa berpikir jernih.
Dia mengatakan bahwa gangguan tidur tersebut telah memiliki "dampak besar" pada hidupnya, mempengaruhi kesehatan mentalnya, merusak kariernya dan membuat beberapa orang berpikir dirinya "malas".
"Untungnya ibu, putri, dan keluargaku luar biasa mengerti," katanya.
Â
Simak video pilihan berikut:
Idiopatik Hipersomnia
Setelah menderita gejala mengantuk kronis selama bertahun-tahun, Lucy didiagnosis dengan Idiopatik Hipersomnia pada April 2017, setelah dirujuk ke pusat tidur di Nevill Hall Hospital di Abergavenny, Monmouthshire.
Jose Thomas, konsultan obat tidur dan pernapasan di sana, mengundangnya dalam sebuah sesi riset obeservasi dan terkejut setelah menyaksikan langung Lucy tidur mulai pukul 23.00 pagi hingga pukul 16.00 hari berikutnya.
"Butuh berjam-jam untuk menganalisis penelitian observasi tidur yang berlangsung hampir 18 jam," katanya.
Dr Thomas mengatakan, penderita hipersomnia idiopatik adalah "langka", mempengaruhi sekitar dua orang di setiap 100.000 orang, itu adalah "yang paling menantang untuk didiagnosis dan diobati".
"Sayangnya tidak ada pengobatan kuratif. Pengobatan dengan obat-obatan yang meningkatkan kesadaran dan menjaga pasien untuk tetap terbangun, telah banyak membantu, tetapi gejala tidur panjang sesaat setelah bangun di pagi hari tetap terus berlanjut," tambahnya.
Ibu Lucy, Sue, harus tinggal bersamanya selama sepekan dan bangun jam 05.00 pagi setiap hari untuk memberi Lucy obat, membantunya bangun pukul 07.00 pagi. Tetapi setelah itu adalah "pertempuran" bagi Lucy yang harus melawan kantuknya.
"Orang-orang tidak mengerti," kata Sue.
"Mereka pikir Lucy hanya malas atau tidak ingin bangun. Mereka tidak menyadari itu merupakan perjuangan hidup untuknya."
"Dia begitu bertekad dan itu tekadnya yang membuat dia terus berjalan, karena ini adalah kondisi yang sulit untuk dijalani."
Advertisement