Dubes Moazzam: Politikus Indonesia Jangan Main-Main dengan Isu SARA

Duta Besar Inggris untuk Indonesia, Moazzam Malik, menuturkan agar politisi di Tanah Air tidak menggunakan isu SARA untuk menjatuhkan lawan.

oleh Afra Augesti diperbarui 19 Sep 2018, 11:30 WIB
Diterbitkan 19 Sep 2018, 11:30 WIB
Duta Besar Inggris untuk Indonesia
Duta Besar Inggris untuk Indonesia dan Timor Leste, Moazzam Malik saat menghadiri forum diskusi yang digelar oleh Kedutaan Besar Inggris "Democracy in the Social Media Age", Selasa (18/9/2018) di Mega Kuningan, Jakarta Selatan. (Liputan6.com/Afra Augesti)

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia adalah negara demokrasi. Menurut KBBI, demokrasi secara harafiah diartikan sebagai bentuk pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya; pemerintahan rakyat.

Selain itu, demokrasi juga disebut sebagai gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban, serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara.

Media ternama Amerika Serikat, The Economist, pernah merilis Indeks Demokrasi Dunia Tahun 2017 pada 30 Januari 2018. Indeks itu merupakan proyek salah satu sayap lembaga think-tank media tersebut: The Economist Intelligence Unit (EIU).

Indeks tersebut memaparkan tentang penilaian keberlangsungan demokrasi pada setiap negara dunia, yang diukur dengan menggunakan lima variabel penilaian.

Lima variabel penilaian indeks demokrasi itu meliputi: (1) proses elektoral dan pluralisme, (2) keberfungsian pemerintahan, (3) partisipasi politik, (4) kultur politik, dan (5) kebebasan sipil. Hasil penilaian yang diukur dari kelima variabel itu akan menghasilkan skor rata-rata yang dijadikan sebagai tolak ukur penetapan peringkat indeks.

Negara yang duduk di peringkat 19 teratas dalam indeks tersebut dikategorikan oleh EIU The Economist sebagai negara dengan pemerintahan yang menerapkan sistem demokrasi secara penuh.

Dari total 167 negara yang tercantum dalam Indeks Demokrasi Dunia 2017 versi The Economist, Indonesia bertengger pada posisi 68 dan tergolong dalam kategori negara dengan "demokrasi yang cacat" atau flawed democracies (rentang 20 - 76). Seperti dikutip dari The Economist, Indonesia memiliki skor rata-rata 6,39.

Media AS itu mencatat, variabel "proses elektoral dan pluralisme" RI memiliki skor 6,92. Sementara, variabel "keberfungsian pemerintahan" Indonesia memiliki skor 7,14 --skor tertinggi dari total lima variabel penilaian. Sementara itu, variabel "partisipasi politik", "kultur politik", dan "kebebasan sipil" Indonesia memiliki skor 6,67; 5,63; dan 5,59.

The Economist menyebut bahwa posisi Indonesia dalam indeks tersebut merosot tajam 20 puluh peringkat dari penghitungan tahun 2016 -- menjadi sebuah noktah hitam bagi keberlangsungan demokrasi di Tanah Air.

Penyebab kemerosotan itu, menurut The Economist, dipicu oleh "Dinamika politik pada Pilkada DKI Jakarta 2017", isu seputar mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, serta bangkitnya gerakan sosial-masyarakat berbasis keagamaan. Terlebih saat ini, rakyat sudah melek informasi dan bisa memafaatkan media sosial (medsos) untuk beropini serta menyampaikan kritik.

Menanggapi hal tersebut, Duta Besar Inggris untuk Indonesia, Moazzam Malik, memuji sistem demokrasi yang diterapkan pemerintah RI dalam era internet, seiring berkembangnya teknologi. Ia pun menggaris bawahi pentingnya untuk memahami hak-hak minoritas yang tinggal di Tanah Air.

"Sebagai negara yang punya jumlah penduduk Muslim paling besar, saya kira Indonesia berpotensi untuk menjadi contoh umat Muslim di seluruh dunia dan negara-negara yang sedang berkembang," ujar Dubes Moazzam ketika dijumpai awak media dalam forum diskusi yang digelar oleh Kedutaan Besar Inggris, "Democracy in the Social Media Age", Selasa 18 September 2018 di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan.

"Tapi ada banyak tantangan, juga perjuangan untuk terus membangun sistem pemerintahan yang demokratis. Salah satu isu terbesar, saya kira, adalah hak-hak minoritas karena dalam sebuah negara --apa pun-- kemajuannya, keberhasialannya, kesuksesannya bisa dihitung dari hak-hak minoritas," imbuh Moazzam yang beragama Islam.

Menjelang pesta rakyat atau pemilu 2019 mendatang, Moazzam pun menyampaikan pesan untuk para politikus Indonesia agar tidak 'menggoreng' isu SARA ketika berkampanye. Sebab menurutnya, isu SARA akan memecah belah bangsa dan merugikan negeri ini sendiri.

"Pesan saya ketika bertemu dengan politisi-politisi Indonesia, partai-partai, adalah agar mereka tidak main-main dengan isu SARA. Kalau ada isu SARA, maka ini akan merusak hak minoritas dan merusak sistem politik Indonesia, serta masa depan Indonesia. Sebagai orang asing dari negara sahabat, isu SARA tidak hanya merugikan Indonesia, tapi juga seluruh dunia yang ingin mengenal Indonesia," tegasnya.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

 

Media Sosial Menjadi Tantangan

Media Sosial
Ilustrasi Media Sosial (iStockphoto)

Sementara itu, Moazzam melanjutkan bahwa medsos menjadi salah satu tantangan besar bagi negara-negara di dunia. "Saya kira tidak ada negara yang punya solusi untuk tantangan terhadap media sosial, karena orang bisa bebas di media sosial. Jadi semua pihak bisa menggunakan medsos sebagai alat baik dan buruk."

Baginya, penggunaan medsos memicu pro dan kontra. Dalam kehidupan bermasyarakat, ada social rules atau aturan sosial yang digunakan untuk mengendalikan hubungan antara masyarakat dan kelompok tertentu. Namun di media sosial, katanya, tidak ada peraturan mengikat sehingga untuk saat ini, aturan tersebut sedang 'digodog'.

"Di medsos, social rules sedang berkembang atau sedang dalam proses pembuatan. Jadi kalau lihat di medsos, ada hoax, ada fake news, ada echo chamber, dan ini semua menciptakan permasalahan untuk demokrasi. Saya kira tidak ada negara yang punya jawaban tepat untuk tantangan itu," tutur Moazzam.

"Tapi di Indonesia, sudah ada beberapa tindakan yang maju, misalnya pemerintah Indonesia sudah berhasil menutupi beberapa sumber hoax news. Juga membangun hubungan baik antara aplikasi-aplikasi seperti telegram dan Facebook untuk menghilangkan pesan-pesan ekstremis atau radikal. Saya kira banyak hal yang bisa dipelajari oleh negara lain dari Indonesia."

Duta besar yang menjadi perwakilan Inggris untuk Timor Leste itu pun menggambarkan cara yang diterapkan Indonesia dan negara asalnya.

"Seperti misal hubungan pemerintah Indonesia dengan Telegram, saya kira jauh lebih berhasil daripada pemerintah Inggris. Maka dari itu, London ingin mempelajari bagaimana Indonesia bisa berhasil dengan Telegram. Tapi saya kira isu-isu seperti ini masih terlalu besar, sehingga perlu waktu untuk mengendalikan resiko-resiko di media sosial," pungkas Moazzam yang tinggal di Indonesia sejak Oktober 2014.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya