Liputan6.com, Sabah - Para imigran gelap dari Filipina selatan yang tinggal di Sabah, Malaysia, diyakini telah menjadi kaki tangan dalam kasus penculikan dua orang nelayan WNI baru-baru ini, menurut laporan otoritas keamanan dan mantan militan asal Filipina.
Para kaki tangan itu diduga memberikan informasi tentang kedua korban kepada aktor utama yang diduga terafiliasi dengan Kelompok Abu Sayyaf (ASG), grup teroris dan perompak yang berbasis di Filipina selatan, sumber-sumber itu mengatakan, seperti dilansir Channel News Asia, Selasa (18/9/2018).
Kasus penculikan terbaru terjadi pada tengah malam 11 September 2018, ketika dua pria bertopeng bersenjata senapan M16 menyerbu sebuah kapal ikan di perairan kota Semporna, Sabah dan menangkap kedua nelayan WNI.
Advertisement
Penculikan itu adalah kasus pertama dalam hampir dua tahun sejak koalisi badan keamanan maritim tiga negara (Malaysia, RI, Filipina) mulai meningkatkan patroli di lautan, setelah beberapa dasawarsa diteror oleh perompak dan kelompok militan.
"Ketika muncul peluang, penculik segera melaksanakan aksinya," kata Hazani Ghazali, Komandan Keamanan Sabah Timur (Esscom) kepada Channel News Asia.
Baca Juga
Penculikan terbaru kembali menyoroti kerentanan pantai timur Sabah dan tantangan yang dihadapi badan keamanan dalam mengamankan garis pantai sepanjang 1.400 km yang terletak di sebelah Laut Sulu.
Kaki Tangan Orang Lokal
Perpaduan antara daratan berpori dan perbatasan laut, dan masuknya imigran gelap dari Filipina selatan serta Indonesia, membuat pantai timur Sabah rentan terhadap serangan oleh elemen kriminal dan militan yang bersembunyi di antara para penduduk yang memang berdomisili resmi di sana.
Pemerintah lokal Sabah memperkirakan bahwa ada sekitar 800.000 imigran gelap yang tinggal di negara bagian, beberapa di antaranya diyakini telah memberikan intelijen kepada para penculik dalam insiden terbaru.
"Kami percaya mereka (penculik) menerima bantuan dari orang lokal, kemungkinan besar dari para imigran gelap yang telah tinggal di sini untuk waktu yang lama," kata Hazani Ghazali, Komandan Keamanan Sabah Timur (Esscom) kepada Channel News Asia.
Abdullah Sandakan, yang berbasis di Sabah, mantan anggota Jemaah Islamiyah (JI) yang terafiliasi dengan Al Qaeda, berpendapat senada.
"Abu Sayyaf dan kelompok penculik lainnya dari Filipina selatan memiliki banyak anggota keluarga yang tinggal di sini," katanya kepada Channel News Asia.
"Mereka, (yang berstatus sebagai imigran gelap), bertindak sebagai informan dan sangat setia kepada penculik karena memiliki ikatan keluarga dengan pelaku. Mereka membantu para penculik memilih tempat yang bagus untuk melakukan aksinya.
"Para informan hidup di laut; beberapa dari mereka adalah nelayan, buruh atau pedagang. Beberapa dari mereka bahkan bekerja di kantor pemerintah Sabah dan juga hotel."
Simak video pilihan berikut:
Koneksi Abu Sayyaf
Insiden penculikan terbaru pada 11 September 2018 telah membuat penduduk di daerah itu takut dan membangkitkan kembali memori pahit tentang kasus penculikan-untuk-tebusan yang marak sejak tahun-tahun terakhir.
Pelaku yang paling menonjol adalah Kelompok Abu Sayyaf (ASG) yang terkenal, yang diyakini kuat berbasis di Filipina selatan.
Kelompok itu bertumbuh sejak 1990-an atas pendanaan dari Al Qaeda pimpinan Osama bin Laden. Ketika kelompok tersebut meredup, Abu Sayyaf berpindah afiliasi, dengan mengikrarkan diri kepada ISIS.
Militan Abu Sayyaf telah menculik puluhan penduduk setempat dan orang asing dalam 20 tahun terakhir, dan memenggal korban mereka ketika tuntutan tebusan tidak dipenuhi.
Namun Abu Sayyaf bukan satu-satunya penculik yang beroperasi di perairan lepas pantai Sabah dan di Laut Sulu, yang dikenal sebagai salah satu jalur pelayaran paling berbahaya di dunia.
Menurut Esscom, ada banyak kelompok kecil yang bekerja bersama dengan Abu Sayyaf --salah satunya Kelompok Maute, yang menjadi dalang atas pecahnya pertempuran Marawi 2017.
"Abu Sayyaf membayar kelompok-kelompok ini dan memberi mereka perahu, senjata dan bensin dan mereka (penculik) akan datang ke sini (Sabah) untuk melakukan penculikan," kata komandan Esscom, Hazani Ghazali kepada Channel News Asia.
"Mereka akan menangkap para sandera dan menyerahkannya kepada Abu Sayyaf yang kemudian akan menuntut tebusan."
Uang tebusan kadang-kadang dibagi dengan "seluruh desa" --yang 'berkoalisi dengan Abu Sayyaf-- sebagai hadiah untuk memberikan informasi intel kepada para penculik.
Namun terkadang, Abu Sayyaf melakukan sendiri penculikan dan penyanderaan terhadap orang lokal dan orang asing.
Pada tahun 2000, mereka melakukan serangan berani di sebuah resor di pulau Sipadan dan mengambil 21 sandera, yang kebanyakan turis asal Barat.
Dari 2003 hingga 2014, sandera diambil dari resort di pulau Pandanan (2003), pulau Pom Pom (2013) dan kota Semporna (2014).
Tahun 2016 adalah yang terburuk, dengan 10 insiden penculikan dilaporkan.
Kendati demikian, Esscom mengaku telah memberantas setidaknya sembilan sindikat yang terafiliasi dengan Abu Sayyaf atau kelompok penculik lain.
Patroli Trilateral
Dalam upaya untuk membatasi pembajakan dan penculikan di Laut Sulu, tiga negara Malaysia, Indonesia dan Filipina meluncurkan patroli laut dan udara trilateral sejak 2017.
Upaya itu terbayar karena tidak ada insiden penculikan yang tercatat sepanjang 2017, setelah terjadi pemuncakan kasus secara drastis pada 2016.
Menambahkan, Esscom mengatakan bahwa mereka telah menggagalkan lima usaha penculikan pada tahun lalu, dengan sembilan penculik ditembak mati dalam berbagai operasi penyergapan.
Dari sembilan, tujuh diyakini terkait dengan Abu Sayyaf.
"Patroli trilateral telah sangat membantu dalam mengurangi insiden penculikan," kata ketua Esscom, Hazani.
"Setelah penculikan terakhir, kami melakukan lebih banyak operasi di laut. Kami berharap dapat menghilangkan ancaman ini."
Advertisement