Liputan6.com, Jakarta - Tiga kapal Angkatan Laut Jepang (Japan Maritime-Self Defense Force) berlabuh di Jakarta pada Selasa 18 September 2018, dalam bagian misi pelayarannya ke Asia Tenggara dan Asia Selatan. Misi itu sekaligus menegaskan kembali prinsip kebebasan bernavigasi di Indo Pasifik, termasuk, wilayah maritim yang disengketakan, Laut China Selatan.
JS Kaga (helicopter-carrier), serta JS Suzutsuki dan JS Inazuma (destroyer-class) melakukan port-call di Tanjung Priok, dengan disambut langsung oleh Komandan Lantamal III, Laksamana Deni Hendrata, yang menyebut lawatan itu sebagai "sebuah bukti kedekatan JMSDF dan TNI-AL, serta hubungan bilateral Jepang-Indonesia" yang memasuki usia hubungan diplomatik ke-60 tahun ini.
Pada kesempatan yang sama, Laksamana Tatsuyaka Fukuda, Komandan Escort Flotilla 4 (nama regu ketiga kapal), menambahkan bahwa "JMSDF akan memanfaatkan kesempatan ini untuk berlatih bersama dengan rekan TNI-AL," ujarnya di Tanjung Priok pada Selasa (18/9/2018), tanpa merinci mengenai jenis latihan yang akan dilakukan oleh kedua militer.
Advertisement
Baca Juga
Mengomentari keseluruhan misi pelayaran --yang berlangsung selama dua bulan dengan singgah di Filipina, Indonesia, Singapura, Sri Lanka, dan India-- Laksamana Fukuda mengatakan, "ini bertujuan untuk menguatkan hubungan antara Tokyo dengan negara rekan di Indo Pasifik."
"Misi ini juga meningkatkan kapasitas strategis dan interoperabilitas JMSDF dan Angkatan Laut rekan Jepang di Indo Pasifik, termasuk Laut China Selatan, yang bebas dan terbuka."
"Keterlibatan kami juga untuk menegaskan kembali ketertiban maritim berdasarkan supremasi hukum internasional, yang sangat penting untuk perdamaian dan stabilitas," tambahnya.
Mengafirmasi, Laksamana Deni mengatakan bahwa "lawatan dan rencana latihan TNI-AL dengan JMSDF ini diharapkan mampu menciptakan stabilitas dan keamanan di kawasan."
Sebelum berlabuh di Jakarta, JS Kaga, JS Inazuma, dan JS Suzutsuki mendukung latihan kapal selam JS Kuroshio di Laut China Selatan pada 13 September 2018. Kemudian, tiga kapal itu singgah di Filipina, kemudian di Indonesia. Mereka akan berlabuh di Jakarta hingga 22 September untuk kemudian beranjak menuju Singapura.
Selama di Jakarta, sejumlah awak dari ketiga kapal akan melaksanakan engagement dengan masyarakat Jakarta dan sekitarnya, dengan menyambangi Sekolah Insan Cendekia Serpong, serta mengundang warga untuk mengunjungi JS Suzutsuki dan JS Inazuma pada 20-21 September 2018 di JICT Terminal 2 Tanjung Priok.
Â
Simak video pilihan berikut:
Misi Pelayaran Jepang
Misi pelayaran tiga kapal Jepang itu menambah jumlah negara yang melakukan penegasan kembali atas prinsip kebebasan bernavigasi (freedom of navigation) berdasarkan hukum internasional di wilayah Laut China Selatan --yang belakangan terakhir dipersengketakan oleh China, Taiwan, dan sejumlah negara Asia Tenggara seperti Filipina, Vietnam, dan Malaysia.
Tahun lalu, Tiongkok mengklaim bahwa mereka memiliki hak kedaulatan yang tak terbantahkan atas kawasan Laut China Selatan dan pulau-pulau yang ada di dalamnya.
Tiongkok melandasi klaim kedaulatan sepihak itu dengan menggunakan konsep demarkasi semu 'the nine-dash line' atau sembilan garis putus, mencakup seluruh kawasan gugus kepulauan Spratly, Paracel, Pratas, Macclesfield Bank, dan Scarborough Shoal --yang secara akumulatif membentuk hampir sebagian besar kawasan Laut China Selatan.
Klaim itu menarik kritik dari negara yang terlibat sengketa, yang keberatan dengan pembangunan fasilitas militer China di pulau serta daratan reklamasi di kawasan. Mereka juga menyebut, infrastruktur itu akan membatasi juga membahayakan navigasi perairan internasional.
Negara-negara yang mengkritik klaim Beijing atas Laut China Selatan kemudian mulai rutin melaksanakan misi pelayaran dan misi terbang di kawasan itu, mengatasnamakan penegasan terhadap prinsip kebebasan bernavigasi di wilayah yang mereka anggap sebagai teritori internasional.Â
Pada 13 September 2018Â misalnya, kapal selam Jepang JS Kuroshio (Oyashio-class submarine), bergabung dengan JS Kaga, JS Inazuma, dan JS Suzutsuki melakukan latihan di perairan barat daya dari Scarborough Shoal yang dikuasai China, Asahi Shimbun melaporkan, seperti dilansir Channel News Asia, Senin 17 September 2018.
Scarborough merupakan wilayah yang dipersengketakan oleh Filipina dan China. Wilayah itu kemudian berakhir di bawah kekuasaan Beijing.
Meski tak muncul laporan mengenai aksi respons China atas latihan kapal Jepang pekan lalu, namun, terdapat beberapa insiden mengenai langkah tanggapan Tiongkok atas gelaran latihan militer negara asing di Laut China Selatan.
Pada Juni lalu, kapal AL India dibuntuti oleh kapal AL China, saat tengah dalam perjalanan menuju latihan maritim gabungan Malabar (AS, India, dan Jepang) pada Juni 2018.
Tanggapan Pemerintah Jepang dan China
Pemerintah Jepang mengafirmasi adanya latihan kapal selam pada Kamis 13 September lalu, namun, membantah bahwa perhelatan itu sengaja ditujukan untuk 'membalas aktivitas Tiongkok di Laut China Selatan'.
Kepala Sekretaris Kabinet Yoshihide Suga mengatakan latihan di Laut China Selatan itu "bertujuan untuk meningkatkan strategi dan kemampuan Japan Defense Forces" dan menambahkan bahwa "kami tidak berniat mengusik negara tertentu dalam pelaksanaannya."
Menteri Pertahanan Jepang, Hisunori Onodera juga mengatakan pada Selasa 18 September, "JMSDF telah melakukan latihan yang melibatkan kapal selam di Laut China Selatan selama lebih dari 15 tahun," seperti dikutip dari The South China Morning Post (SCMP).
Menambahkan, seorang narasumber pemerintah Jepang mengatakan bahwa latihan itu "dilakukan secara sah di perairan netral, dengan hak akses yang dijamin berdasarkan hukum internasional," seperti dikutip dari Asahi Shimbun.
Pengungkapan itu mendorong teguran langsung dari Beijing, dengan juru bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang mengatakan, "sebuah negara di luar kawasan tidak boleh merusak perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan."
Jepang memang tidak terlibat langsung dalam prahara Laut China Selatan, namun, Tokyo tetap merasa memiliki kepentingan di kawasan maritim itu, dengan memandangnya sebagai kawasan strategis penting bagi jalur pelayaran internasional, demikian seperti dikutip dari SCMP.
Advertisement