Liputan6.com, London - Perdana Menteri Inggris Theresa May selamat dari voting mosi tidak percaya di House of Commons (lower-chamber Parlemen Inggris) pada Rabu 16 Januari 2019 malam waktu lokal.
Hasil akhir voting menunjukkan, 325 anggota Commons menolak PM May lengser, mengalahkan 302 suara yang menghendaki sebaliknya, demikian seperti dikutip dari NDTV, Kamis (17/1/2019).
Voting mosi tidak percaya diajukan pada hari yang sama setelah kesepakatan Brexit yang dirancang PM May ditolak oleh Parlemen Inggris pada Selasa 15 Januari 2019. Melalui sistem pemungutan suara, 432 anggota parlemen menolak rancangan tersebut, sedangkan 202 suara mendukung.
Advertisement
Penolakan Parlemen terhadap kesepakatan Brexit tidak berarti bahwa Britania Raya batal keluar dari Uni Eropa. Itu hanya menunjukkan ketidaksetujuan parlemen terhadap rancangan Brexit yang dirancang sang perdana menteri. Inggris kemungkinan besar tetap pada jadwal untuk keluar dari Uni Eropa pada 29 Maret 2019, BBC melaporkan.
Baca Juga
Selepas kekalahan itu, Pemimpin Partai Buruh Jeremy Corbyn --yang beroposisi dengan Partai Konservatif perdana menteri May-- mengajukan mosi tidak percaya pada pemerintah, yang dapat memicu pemilihan umum untuk menggeser May. Namun, sang perdana menteri selamat.
Biasanya, seorang pemimpin Inggris yang kalah dalam voting undang-undang terpenting pemerintahannya dengan selisih besar mungkin diharapkan untuk mengundurkan diri atau dilengserkan lewat mosi tidak percaya. Tetapi, kini bukan waktu yang normal di Britania Raya.
Brexit membelah masyarakat Inggris dan politisinya, membagi mereka ke dalam dua kubu pro-Brexit (Leavers) dan yang menentangnya (Remainers), namun dengan masing-masing pihak tak memiliki posisi yang kuat untuk saling mengalahkan.
PM May kini sekarang harus kembali ke Parlemen pada pekan depan untuk memberikan semacam 'rencana B' seputar rancangan Brexit-nya --yang umumnya berisi tentang 'kepergian teratur' Inggris dari Uni Eropa pada 29 Maret nanti.
Kesepakatan tersebut mencakup menyiapkan periode transisi 21 bulan untuk menegosiasikan kesepakatan keimigrasian hingga perdagangan bebas dalam skema bilateral antara Inggris dengan per negara Eropa yang masih menjadi anggota UE.
Hal itu juga termasuk menyelesaikan salah satu isu panas Brexit, yakni seputar regulasi perbatasan dan perlintasan komoditas di Irlandia (yang memisahkan Republik Irlandia yang merupakan anggota Uni Eropa; dengan Irlandia Utara yang merupakan anggota persemakmuran Inggris) --atau populer dikenal dengan istilah "The Irish Backstop".
Simak video pilihan berikut:
Brexit Tanpa Kesepakatan?
Jika PM Theresa May tak mampu membuat Parlemen satu suara atas rancangan Brexit-nya yang baru hingga 29 Maret, ada kemungkinan Inggris akan keluar dari Uni Eropa tanpa 'membungkus' kesepakatan bilateral dengan negara-negara anggota organisasi itu --meninggalkan London untuk kembali membangun berbagai kerja sama dari 'nol' atau meneken kesepakatan di luar skema Uni Eropa, situasi yang populer dikenal dengan istilah "No Deal Brexit".
Kekalahan May ini mungkin akan membuka peluang bagi Parlemen untuk menunda jadwal Brexit, atau mundur dari tanggal 29 Maret. Beberapa anggota parlemen bahkan dikabarkan ingin melakukan referendum nasional ulang perihal Brexit.
Dalam sambutan singkat di luar kediaman resminya di 10 Downing Street, May mengatakan dia mengerti jika orang-orang di luar Parlemen menilai 24 jam terakhir --yang mencakup kekalahan Brexit dan mosi tidak percaya-- sangat mengkhawatirkan. Namun, May merasa telah mengambil hikmah.
"Sekarang anggota Parlemen telah memperjelas apa yang tidak mereka inginkan, kita semua harus bekerja bersama secara konstruktif untuk menetapkan apa yang diinginkan Parlemen," katanya, seraya menambahkan bahwa dia telah mengundang para pemimpin semua pihak partai untuk bertemu dengannya untuk mencoba menuntaskan kesepakatan yang bisa disetujui oleh House of Commons yang terpecah belah.
Pemimpin oposisi Jeremy Corbyn, yang memprakarsai mosi tidak percaya terhadap pemerintah, sejauh ini menolak tawarannya, kata May.
Para pemimpin buruh bersikeras May harus terlebih dahulu menemukan solusi atas "No Deal Brexit", yang mereka katakan akan mendatangkan malapetaka pada pekerja Inggris.
"Sebelum ada diskusi positif tentang jalan ke depan, pemerintah harus menghapus, sekali dan untuk semua, prospek bencana Brexit tanpa kesepakatan dan semua kekacauan yang akan terjadi sebagai akibatnya," kata Corbyn
Sementara di Brussels, markas Uni Eropa, para diplomat organisasi itu mengatakan bahwa tanggung jawab ada pada anggota parlemen Inggris untuk datang dengan proposal --proposal apa pun-- yang bisa memenangkan mayoritas di Westminster, sehingga bisa ada dasar untuk melanjutkan pembicaraan antara London dengan Brussels.
Para pemimpin Eropa juga menyatakan ketidaksabaran namun khawatir bahwa Inggris akan semakin bergegas menuju tepi tebing Brexit pada 29 Maret tanpa jaring pengaman alias "No Deal Brexit".
Advertisement